Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Tentang sebuah pemerintah yang lupa

Kampung tanjung balai yang terbagi dalam 4 daerah di sumatera utara sudah berulang kali mengalami kebakaran. para korban ditampung di tempat penampungan dan belum mendapat tempat tinggal yang layak. (sd)

16 September 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ASAL ganti walikota, kampung itu terbakar," kata orang banyak kalau membicarakan Kampung Tanjung Balai IV. Kampung di Tanjung Balai itu, Sumatera Utara, sering disebut Kampung Persatuan atau Kampung SS Dengki. Di tengah malam buta, 5 Maret 1970, selama 3 jam api melalap sekitar 575 rumah rakyat. 4 tahun kemudian, 13 Maret 1974, di siang hari bolong selama 2 jam api berkobar mengunyah 255 buah rumah. Sedang tanggal 20 Juli tahun ini, pukul 10 pagi, api berkobar lagi dan sempat menghabiskan 10 rumah. Rata dengan tanah. Tanjung Balai luasnya 1909 KmÿFD. Dihuni oleh 35 ribu jiwa, terbagi dalam 4 daerah. Tanjung Balai I dan Il merupakan tempat bercokol pedagang Cina dengan gedung-gedung bertingkatnya. Dipisahkan oleh Sungai Silau, terlihatlah Tanjung Balai III dan IV. Gerah, sempit, jorok dan sial nasibnya. Di sini berkubang rakyat kecil. Mereka tidak saja merasa bahwa pemerintah kota kurang memperhatikan nasibnya. Mereka juga tidak mengerti mengapa musibah itu tidak diberi penyelesaian yang tepat. Maling Wagimin, seorang warga kampung (50 tahun), bersama isterinya Kasinah (35 tahun), mengeluh: "Nasib kami belum berketentuan, kampung sudah terbakar lagi." Dengan beban 8 anak, mereka sekarang menempati gudang PJKA -- akibat kebakaran 1974. Ada 3 buah gudang di sekitar itu. Masing-masing luasnya sekitar 8 kali 20 meter. Dulu dikontrak oleh seorang dari pihak PJKA untuk digunakan sebagai gudang papan. Atas kebijaksanaan Walikota, gudang tersebut selama 2 tahun dipakai sebagai penampungan sementara para korban. Sekali lagi, sementara. Ternyata lewat 4 tahun, 19 buah keluarga tetap terbenam di situ dengan nasib tak pasti. Kalau Wagimin dkk mulai bingung lagi, ia pun gelagapan tanya. "Ke mana saya harus pergi? " Jawabnya macam-macam. Dan tak ada jawaban yang benar-benar pasti dan melegakam "Dua kali rumah saya terbakar dan dua kali pula tercabut nol," kata Wagimin kepada Amran Nasution dari TEMPO. Yang dimaksud dengan nol adalah undian yang diadakan Pemerintah untuk mendapat persil pertapakan rumah. Setiap korban diberi kesempatan mencabut nomor. Kalau nomor nol yang tercabut, berarti nasib juga nol. Bukan hanya Wagimin. Ratusan korban setiap kali cabut hanya dapat nol. Kenapa persil pertapakan tanah itu tidak diserahkan saja pada pemiliknya semula, setelah kebakaran berlalu? "Ya karena macam kami ini, mana ada yang punya surat tanah," kata Wagimin. Di sinilah sulitnya. 6 bulan setelah menempati rumah penampungan, para korban memang dimaksudkan oleh Pemerintah untuk menerima persil pertapakan rumahnya. Bagi yang punya surat sertifikat, mudah sekali, tinggal mencocokkan dengan gambar. Nah untuk yang tidak memiliki bukti pertapakan itu, pemerintah mengadakan undian tadi. Setelah begitu banyak angka nol yang tercabut, orang memang sempat bertanya: ke mana larinya tanah pertapakan mereka? Jawabnya dengan mulah dapat dilihat pada kompleks baru yang dibangun setelah terjadinya kebakaran. Banyak tanah dipergunakan untuk membuat jalan dan gang -- yang sebelumnya tidak ada. Ini memang baik untuk masa depan kampung - terutama akan memudahkan para petugas kalau sewaktu-waktu ada kebakaran lagi. Sebagai akibatnya, orang seperti Kasinah hanya bisa menambah sesal setiap hari. "Lebih bagus rumah kita dibongkar maling daripada terbakar," ujarnya. Wagimin sejak 1953 adalah tukang beca. Namun ia masih memiliki kebanggaan karena di samping mampu mencetak 4 anak, sampai 1970 merasa punya rumah sendiri. Sebuah gubuk di Gang Sepakat. Biasa, jelek. Tapi aman dan tenteram. Sampai pada suatu tengah malam terdengar suara gaduh dan jeritan minta tolong. Kasinah terpukau. Tapi Wagimin berlari ke lidah api yang hanya 100 meter dari rumahnya la ikut berjuang melawan malapetaka itu. "Tapi, wah, apinya bukan main ganas dan cepat. Sebentar saja semua jadi abu," kata Wagimin mengenang peristiwa 1970 itu. Anak bininya selamat, tapi rumah dan seluruh miliknya ludas. "Habis, bapaknya pergi, apalah yang bisa saya buat selain menyelamatkan anak saja," tukas Kasinah. Benar. Korban-koroan kemudian menyerbu Gedung Kesenian, gudang ikan, gudang papan dan gudang PJKA. "Waktu itu kami bukan di sini, tapi di sana," kata Wagimin menunjuk gudang PJKA di seberang. Selama 2 tahun tinggal di tempat penampungan itu, Wagimin berusaha terus narik beca. Ia menyewa beca Rp 200 sehari dan beroperasi sampai tengah malam. Seluruh daerah Tanjung Balai dijelajahinya. Ketekunan ini membuahkan modal. Dan dengan uang itu ia minggat dari gudang penampungan, kembali ke Kampung Dengki. Ia membeli sebuah gubuk di Beting Seroja, di tepi Sungai Asahan, dengan harga Rp 30 ribu. Lalu mulai lagi melapangkan dadanya, menghirup kehidupan di rumah sendiri. Bismillah 3 Kali Tapi di tahun 1974, di siang hari bolomg, bencana berulang. Wagimin kembali berada entah di mana. Isterinya kembali hanya sempat menyelamatkan anak-anak. Waktu Wagimin pulang, segalanya sudah jadi abu. Persis seperti dulu. Dan persis seperti dulu, ia pun kembali ke udang PJKA bersama 255 keluarga. Tatkala kembali diadakan undian untuk mencabut nomor, Wagimin sempat membaca bismillah 3 kali. "Tapi entah sial apa yang menimpa saya, lagi-lagi nol. Masak dua kali terus nol," kata Wagimin dengan jengkel. Sekarang Wagimin belum berhasil keluar dari tempat penampungan. Bobot keluarganya bertambah berat. Kini ia menanggung 8 orang anak. Untung, Kasmian, anaknya yang paling tua (18 tahun) sudah bekerja sebagai awak kapal pukat harimau. Bisa bantu-bantu sedikit. Namun kecuali Rusli (12 tahun), semua anaknya sudah melenting ke luar sekolahan. "Habis untuk mengasihi makannya saja sudah sulit," kata Wagimin terang-terangan. Yang bikin sulit di antara 30 buah keluarga yang mendiami 3 gudang PJKA itu, 10 keluarga di antaranya bukan korban api. Mereka adalah para tunawisma yang menyerbu dari daerah sekitar. Mula-mula hanya menumpang, lama-lama menjadi penghuni. "Masak kami harus usir. Mereka kan orang susah juga," kata Wagimin. Sementara itu gudang yang tegak dengan dinding papan, dengan atap seng yang rendah, keadaannya sudah menyedihkan. Di samping lapuk, panasnya jangan tanya. Antara keluarga hanya terbatas sekat-sekat papan. Wagimin dapat dunia 3 kali 5 meter, dibagi jadi dapur dan tempat tidur. Untung sekali belum lama ada korban yang pindah, karena mampu beli rumah di Air Joman. Sekarang dunia Wagimin mendapat tambahan 3 kali 2,5 meter. Berak, mandi, mencuci dan minum, ditolong oleh Sungai Silau yang mengalir dengan acuhnya di belakang gudang. Wagimin masih tetap bermimpi punya rumah sendiri. "Tapi kalau seperti sekarang terus, naga-naganya kami tak bakalan pernah lagi punya rumah," ujar Kasinah. Mengapa? "Wah sekarang narik beca sulit. Sudah banyak Daihatsu!" jawab suaminya. Lalu seluruh keluarga itu diserang ketakutan. Belakangan terdengar suara-suara lewat angin, Walikota telah meminta kepada PJKA agar gudang diserahkan kepada Pemda untuk dijadikan bangunan Pemda. Sejak itu setiap terliha beberapa orang tak dikenal masuk melihat-lihat kompleks, seluruh jantung yang menghuni gudang itu memukul dengan getir. "Kami pikir mereka mau mengusir kami," kata Siti, isteri Ali Usman yang berusia 32 tahun. Seperti Kasinah, Siti juga menjadi korban kebakaran dengan menanggung 4 anak. Hanya saja Ali Usman (35 tahun) masih bernasib lebih mujur. Seusai kebakaran pertama di tahun 1970, Ali mula-mula membawa keluarganya ke gudang pabrik sabun milik A Bie. Waktu cabut nomor, Ali mujur: ia tidak dapat nol. Ia mendapatpersil pertapakan rumah. Hanya saja Pemerintah banyak maunya. Ada ketentuan, rumah yang dibangun harus bertiang batu dan beratap seng. Maksudnya agar tidak mudah terbakar, memang. Ali bukan menolak, tapi tak sanggup. Maklum sebagai penangkap ikan pada pukat langgar, gajinya hanya Rp 15 ribu sebulan. "Mana mungkin saya beli seng untuk atap rumah," ujarnya kepada TEMPO. Benar. Ali putar otak. Akhirnya persil pertapakan di Gang Setia itu ia jual dengan harga Rp 12 ribu. Dengan tambahan tabungannya, ia berhasil mengumpulkan Rp 25 ribu. Langsung beli gubuk di pinggiran Beting Seroja. Tapi. seperti Wagimin, di tahun 1974, rumahnya ikut raib. Ia masuk penampungan lagi. Cabut nomor lagi. Aneh, nasibnya mujur lagi. Dia dapat tapak perumahan seluas 4,5 kali 12 meter. Sekali ini tidak dijualnya. Tapi dibangun pun tidak mungkin. Diperkirakan biaya membangun rumah yang memenuhi syarat sekitar Rp 300 ribu. Kepala Lorong, Jalep Tambunan, sudah berkali-kali mengunjunginya agar pertapakan itu segera dibangun. Habis sudah 4 tahun. "Ah, masak nggak ngerti kami sudah 2 kali jadi korban," keluh Siti, setiap kali ditanya. Ada yang menuduh Ali kerasan tinggal di gudang. Tuduhan itu kalau tak salah berembus dari kantor Balai Kota Tanjung Balai. Ali dan Siti tentu saja lemes. "Kerasan bagaimana. Kalau bisa diperiksa, periksa! Semua yang tinggal di sini di dalam hatinya siang malam mimpi punya rumah sendiri seperti dulu ! " Padahal Ali dan Siti agak keliru. Ada yang tidak pernah mimpi punya rumah sendiri, dalam rumah penampungan itu. Namanya Kundur. Ia seorang nenek berusia 70 tahun. Setiap hari selalu kelihatan sakit-sakitan. Ia menempati sebuah kamar ukuran 2 kali 2 meter. Miliknya terdiri dari sebuah kompor, 3 buah piring seng, 5 buah gelas, sebuah tikar sembahyang, selembar tikar pandan yang lusuh, serta tilam dan bantal. Di sanalah ia melewatkan sisa hidupnya. "Asal dada saya nggak sakit lagi, sudah syukur sama Tuhan," ujarnya. Suaminya bernama Yusuf, bekerja sebagai nelayan. Tapi sudah meninggal tahun 1951. Kundur kemudian hidup dari berjualan kacang goreng untuk menyuapi dua orang anak lelakinya. Kedua anaknya itu sekarang sudah berkeluarga. Tapi kedua keluarga itu juga sekarang sama-sama berdesakan di dalam gudang yang sama, akibat korban api. Kundur mendapat sakit dada karena bencana itu. "Kalau mendengar teriakan api, api, saya kontan bisa pingsan, Nak," katanya dengan lemah. Waktu mendengar desas-desus akan ada pengusiran ia tidak ikut ribut. "Terserah Pemerintahlah," katanya nyaris tak terdengar. Pemerintah, dalam hal ini Walikota dan anggota DPRD, memang pernah dilihat oleh Ali Usman melongok gudang penampungan pada saat kebakaran itu barusan berlangsung. Tapi setelah itu, sampai sekarang, ia hanya mendengar rencana-rencana pengusiran. Wajah mereka tak pernah kelihatan lagi. "Asal rumah disediakan, ke mana pun kami bersedia," kata Ali, tentu. Sementara Wagimin hanya mengurut dada. "Ya sudahlah," katanya. "Penderitaan kami di sini, siang kepanasan dan malam kedinginan, tentu tak mungkin dirasakan orang-orang yang tinggal di gedong." Demikianlah sampai sekarang banyak orang menggunjingkan Pemerintah Kota Tanjung Balai, yang agak lupa memperhatikan penghuni gudang penampungan itu. Mungkin mereka terlalu sibuk.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus