ASAL ganti walikota, kampung itu terbakar," kata orang banyak
kalau membicarakan Kampung Tanjung Balai IV. Kampung di Tanjung
Balai itu, Sumatera Utara, sering disebut Kampung Persatuan atau
Kampung SS Dengki. Di tengah malam buta, 5 Maret 1970, selama 3
jam api melalap sekitar 575 rumah rakyat. 4 tahun kemudian, 13
Maret 1974, di siang hari bolong selama 2 jam api berkobar
mengunyah 255 buah rumah. Sedang tanggal 20 Juli tahun ini,
pukul 10 pagi, api berkobar lagi dan sempat menghabiskan 10
rumah. Rata dengan tanah.
Tanjung Balai luasnya 1909 KmÿFD. Dihuni oleh 35 ribu jiwa,
terbagi dalam 4 daerah. Tanjung Balai I dan Il merupakan
tempat bercokol pedagang Cina dengan gedung-gedung
bertingkatnya. Dipisahkan oleh Sungai Silau, terlihatlah
Tanjung Balai III dan IV. Gerah, sempit, jorok dan sial
nasibnya. Di sini berkubang rakyat kecil. Mereka tidak saja
merasa bahwa pemerintah kota kurang memperhatikan nasibnya.
Mereka juga tidak mengerti mengapa musibah itu tidak diberi
penyelesaian yang tepat.
Maling
Wagimin, seorang warga kampung (50 tahun), bersama isterinya
Kasinah (35 tahun), mengeluh: "Nasib kami belum berketentuan,
kampung sudah terbakar lagi." Dengan beban 8 anak, mereka
sekarang menempati gudang PJKA -- akibat kebakaran 1974. Ada 3
buah gudang di sekitar itu. Masing-masing luasnya sekitar 8 kali
20 meter. Dulu dikontrak oleh seorang dari pihak PJKA untuk
digunakan sebagai gudang papan. Atas kebijaksanaan Walikota,
gudang tersebut selama 2 tahun dipakai sebagai penampungan
sementara para korban. Sekali lagi, sementara. Ternyata lewat 4
tahun, 19 buah keluarga tetap terbenam di situ dengan nasib tak
pasti.
Kalau Wagimin dkk mulai bingung lagi, ia pun gelagapan tanya.
"Ke mana saya harus pergi? " Jawabnya macam-macam. Dan tak ada
jawaban yang benar-benar pasti dan melegakam "Dua kali rumah
saya terbakar dan dua kali pula tercabut nol," kata Wagimin
kepada Amran Nasution dari TEMPO. Yang dimaksud dengan nol
adalah undian yang diadakan Pemerintah untuk mendapat persil
pertapakan rumah. Setiap korban diberi kesempatan mencabut
nomor. Kalau nomor nol yang tercabut, berarti nasib juga nol.
Bukan hanya Wagimin. Ratusan korban setiap kali cabut hanya
dapat nol.
Kenapa persil pertapakan tanah itu tidak diserahkan saja pada
pemiliknya semula, setelah kebakaran berlalu? "Ya karena macam
kami ini, mana ada yang punya surat tanah," kata Wagimin. Di
sinilah sulitnya. 6 bulan setelah menempati rumah penampungan,
para korban memang dimaksudkan oleh Pemerintah untuk menerima
persil pertapakan rumahnya. Bagi yang punya surat sertifikat,
mudah sekali, tinggal mencocokkan dengan gambar. Nah untuk yang
tidak memiliki bukti pertapakan itu, pemerintah mengadakan
undian tadi.
Setelah begitu banyak angka nol yang tercabut, orang memang
sempat bertanya: ke mana larinya tanah pertapakan mereka?
Jawabnya dengan mulah dapat dilihat pada kompleks baru yang
dibangun setelah terjadinya kebakaran. Banyak tanah dipergunakan
untuk membuat jalan dan gang -- yang sebelumnya tidak ada. Ini
memang baik untuk masa depan kampung - terutama akan memudahkan
para petugas kalau sewaktu-waktu ada kebakaran lagi. Sebagai
akibatnya, orang seperti Kasinah hanya bisa menambah sesal
setiap hari. "Lebih bagus rumah kita dibongkar maling daripada
terbakar," ujarnya.
Wagimin sejak 1953 adalah tukang beca. Namun ia masih memiliki
kebanggaan karena di samping mampu mencetak 4 anak, sampai 1970
merasa punya rumah sendiri. Sebuah gubuk di Gang Sepakat. Biasa,
jelek. Tapi aman dan tenteram. Sampai pada suatu tengah malam
terdengar suara gaduh dan jeritan minta tolong. Kasinah
terpukau. Tapi Wagimin berlari ke lidah api yang hanya 100 meter
dari rumahnya la ikut berjuang melawan malapetaka itu. "Tapi,
wah, apinya bukan main ganas dan cepat. Sebentar saja semua jadi
abu," kata Wagimin mengenang peristiwa 1970 itu.
Anak bininya selamat, tapi rumah dan seluruh miliknya ludas.
"Habis, bapaknya pergi, apalah yang bisa saya buat selain
menyelamatkan anak saja," tukas Kasinah. Benar.
Korban-koroan kemudian menyerbu Gedung Kesenian, gudang ikan,
gudang papan dan gudang PJKA. "Waktu itu kami bukan di sini,
tapi di sana," kata Wagimin menunjuk gudang PJKA di seberang.
Selama 2 tahun tinggal di tempat penampungan itu, Wagimin
berusaha terus narik beca. Ia menyewa beca Rp 200 sehari dan
beroperasi sampai tengah malam. Seluruh daerah Tanjung Balai
dijelajahinya. Ketekunan ini membuahkan modal. Dan dengan uang
itu ia minggat dari gudang penampungan, kembali ke Kampung
Dengki. Ia membeli sebuah gubuk di Beting Seroja, di tepi Sungai
Asahan, dengan harga Rp 30 ribu. Lalu mulai lagi melapangkan
dadanya, menghirup kehidupan di rumah sendiri.
Bismillah 3 Kali
Tapi di tahun 1974, di siang hari bolomg, bencana berulang.
Wagimin kembali berada entah di mana. Isterinya kembali hanya
sempat menyelamatkan anak-anak. Waktu Wagimin pulang, segalanya
sudah jadi abu. Persis seperti dulu. Dan persis seperti dulu, ia
pun kembali ke udang PJKA bersama 255 keluarga. Tatkala kembali
diadakan undian untuk mencabut nomor, Wagimin sempat membaca
bismillah 3 kali. "Tapi entah sial apa yang menimpa saya,
lagi-lagi nol. Masak dua kali terus nol," kata Wagimin dengan
jengkel.
Sekarang Wagimin belum berhasil keluar dari tempat penampungan.
Bobot keluarganya bertambah berat. Kini ia menanggung 8 orang
anak. Untung, Kasmian, anaknya yang paling tua (18 tahun) sudah
bekerja sebagai awak kapal pukat harimau. Bisa bantu-bantu
sedikit. Namun kecuali Rusli (12 tahun), semua anaknya sudah
melenting ke luar sekolahan. "Habis untuk mengasihi makannya
saja sudah sulit," kata Wagimin terang-terangan.
Yang bikin sulit di antara 30 buah keluarga yang mendiami 3
gudang PJKA itu, 10 keluarga di antaranya bukan korban api.
Mereka adalah para tunawisma yang menyerbu dari daerah sekitar.
Mula-mula hanya menumpang, lama-lama menjadi penghuni. "Masak
kami harus usir. Mereka kan orang susah juga," kata Wagimin.
Sementara itu gudang yang tegak dengan dinding papan, dengan
atap seng yang rendah, keadaannya sudah menyedihkan. Di samping
lapuk, panasnya jangan tanya. Antara keluarga hanya terbatas
sekat-sekat papan.
Wagimin dapat dunia 3 kali 5 meter, dibagi jadi dapur dan tempat
tidur. Untung sekali belum lama ada korban yang pindah, karena
mampu beli rumah di Air Joman. Sekarang dunia Wagimin mendapat
tambahan 3 kali 2,5 meter. Berak, mandi, mencuci dan minum,
ditolong oleh Sungai Silau yang mengalir dengan acuhnya di
belakang gudang.
Wagimin masih tetap bermimpi punya rumah sendiri. "Tapi kalau
seperti sekarang terus, naga-naganya kami tak bakalan pernah
lagi punya rumah," ujar Kasinah. Mengapa? "Wah sekarang narik
beca sulit. Sudah banyak Daihatsu!" jawab suaminya. Lalu seluruh
keluarga itu diserang ketakutan. Belakangan terdengar
suara-suara lewat angin, Walikota telah meminta kepada PJKA agar
gudang diserahkan kepada Pemda untuk dijadikan bangunan Pemda.
Sejak itu setiap terliha beberapa orang tak dikenal masuk
melihat-lihat kompleks, seluruh jantung yang menghuni gudang itu
memukul dengan getir.
"Kami pikir mereka mau mengusir kami," kata Siti, isteri Ali
Usman yang berusia 32 tahun. Seperti Kasinah, Siti juga menjadi
korban kebakaran dengan menanggung 4 anak. Hanya saja Ali Usman
(35 tahun) masih bernasib lebih mujur. Seusai kebakaran pertama
di tahun 1970, Ali mula-mula membawa keluarganya ke gudang
pabrik sabun milik A Bie. Waktu cabut nomor, Ali mujur: ia tidak
dapat nol. Ia mendapatpersil pertapakan rumah.
Hanya saja Pemerintah banyak maunya. Ada ketentuan, rumah yang
dibangun harus bertiang batu dan beratap seng. Maksudnya agar
tidak mudah terbakar, memang. Ali bukan menolak, tapi tak
sanggup. Maklum sebagai penangkap ikan pada pukat langgar,
gajinya hanya Rp 15 ribu sebulan. "Mana mungkin saya beli seng
untuk atap rumah," ujarnya kepada TEMPO. Benar.
Ali putar otak. Akhirnya persil pertapakan di Gang Setia itu ia
jual dengan harga Rp 12 ribu. Dengan tambahan tabungannya, ia
berhasil mengumpulkan Rp 25 ribu. Langsung beli gubuk di
pinggiran Beting Seroja. Tapi. seperti Wagimin, di tahun 1974,
rumahnya ikut raib. Ia masuk penampungan lagi. Cabut nomor lagi.
Aneh, nasibnya mujur lagi. Dia dapat tapak perumahan seluas 4,5
kali 12 meter.
Sekali ini tidak dijualnya. Tapi dibangun pun tidak mungkin.
Diperkirakan biaya membangun rumah yang memenuhi syarat sekitar
Rp 300 ribu. Kepala Lorong, Jalep Tambunan, sudah berkali-kali
mengunjunginya agar pertapakan itu segera dibangun. Habis sudah
4 tahun. "Ah, masak nggak ngerti kami sudah 2 kali jadi korban,"
keluh Siti, setiap kali ditanya.
Ada yang menuduh Ali kerasan tinggal di gudang. Tuduhan itu
kalau tak salah berembus dari kantor Balai Kota Tanjung Balai.
Ali dan Siti tentu saja lemes. "Kerasan bagaimana. Kalau bisa
diperiksa, periksa! Semua yang tinggal di sini di dalam hatinya
siang malam mimpi punya rumah sendiri seperti dulu ! "
Padahal Ali dan Siti agak keliru. Ada yang tidak pernah mimpi
punya rumah sendiri, dalam rumah penampungan itu. Namanya
Kundur. Ia seorang nenek berusia 70 tahun. Setiap hari selalu
kelihatan sakit-sakitan. Ia menempati sebuah kamar ukuran 2 kali
2 meter. Miliknya terdiri dari sebuah kompor, 3 buah piring
seng, 5 buah gelas, sebuah tikar sembahyang, selembar tikar
pandan yang lusuh, serta tilam dan bantal. Di sanalah ia
melewatkan sisa hidupnya. "Asal dada saya nggak sakit lagi,
sudah syukur sama Tuhan," ujarnya.
Suaminya bernama Yusuf, bekerja sebagai nelayan. Tapi sudah
meninggal tahun 1951. Kundur kemudian hidup dari berjualan
kacang goreng untuk menyuapi dua orang anak lelakinya. Kedua
anaknya itu sekarang sudah berkeluarga. Tapi kedua keluarga itu
juga sekarang sama-sama berdesakan di dalam gudang yang sama,
akibat korban api. Kundur mendapat sakit dada karena bencana
itu. "Kalau mendengar teriakan api, api, saya kontan bisa
pingsan, Nak," katanya dengan lemah. Waktu mendengar desas-desus
akan ada pengusiran ia tidak ikut ribut. "Terserah
Pemerintahlah," katanya nyaris tak terdengar.
Pemerintah, dalam hal ini Walikota dan anggota DPRD, memang
pernah dilihat oleh Ali Usman melongok gudang penampungan pada
saat kebakaran itu barusan berlangsung. Tapi setelah itu, sampai
sekarang, ia hanya mendengar rencana-rencana pengusiran. Wajah
mereka tak pernah kelihatan lagi. "Asal rumah disediakan, ke
mana pun kami bersedia," kata Ali, tentu. Sementara Wagimin
hanya mengurut dada. "Ya sudahlah," katanya. "Penderitaan kami
di sini, siang kepanasan dan malam kedinginan, tentu tak mungkin
dirasakan orang-orang yang tinggal di gedong."
Demikianlah sampai sekarang banyak orang menggunjingkan
Pemerintah Kota Tanjung Balai, yang agak lupa memperhatikan
penghuni gudang penampungan itu. Mungkin mereka terlalu sibuk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini