BAKAKAWINAN -- upacara menikah - untuk orang Banjar, ditandai
oleh serentetan kerepotan yang terdiri dari berbagai upacara
yang saling bersambung dan menyita waktu berhari-hari. Sebulan
sebelum hari perkawinan tiba, keluarga si pengantin biasanya
sudah sibuk dan terlibat dalam upacara-upacara kecil. Untunglah
seluruh upacara ini dilakukan oleh segenap keluarga, adakalanya
melibatkan juga seluruh warga kampung dan dikerjakan secara
gotong royong.
Upacara kecil yang dilakukan pertama kali ialah manungkih kayu.
Artinya membelah kayu bakar untuk memasak. Ini sebagai pertanda
awal, bahwa yang punya rumah akan punya gawe cukup besar
sehingga memerlukan bahan bakar banyak karena akan ada ayam,
kerbau atau kambing akan dimasak.
Gangan Gadang
Tujuh hari sebelum pesta perkawinan dimulai, diadakan acara
batajak tungku, membikin tungku untuk meletakkan wajan, kuali
dan perabot dapur lainnya. Tungku ini biasanya terbuat dari
batang pohon kelapa. Tiga hari setelah batajak tungku,
dilanjutkan dengan acara batajak sarubung. Yaitu membuat semacam
kemah untuk para undangan nantinya. Kalau mengundang orkes atau
pertunjukan lain, panggung pun sudah harus dibuat pada saat yang
sama. Orang lewat sudah melihat bahwa tak lama lagi, rumah yang
sudah diberi kemah, panggung dan teratak itu akan ada perhelatan
perkawinan.
Batajak sarubung biasanya diiringi pula oleh upacara manabang
nyiur. Pohon kelapa mulai ditebang, batangnya untuk tungku
(lagi) dan daunnya untuk hiasan janur. Kemudian menyusul upacara
ma'injam kawah. Yaitu meminjam belanga dan periuk besar untuk
pesta besar. Perabot dapur ini biasa disewa dari orang-orang
yang khusus menyewakan perabot beginian, atau dari perkumpulan
arisan atau yasinan, yang telah berkembang jadi perusahaan
intra-anggota.
Tentu saja, pada hari pesta perkawinan itu diadakan, tak bisa
diceriterakan bagaimana hebat dan ramainya rumah tersebut. Dari
sekian banyak hidangan yang disajikan, ada satu jenis makanan
yang tidak boleh ketinggalan dalam perhelatan macam apa saja
bagi orang Banjar. Gangan gadang akan muncul pada orang yang
baru saja pindah rumah. Juga pada hari tahlilan, setelah
misalnya orang meninggal di hari yang ketujuh.
Ini adalah sejenis makanan yan dibuat dari hati pohon pisang,
yaitu batang pisang bagian dalam. I lati pisang ini kemudian
dibelah dan diiris kecil-kecil, nyaris hancur dalam bentuk yang
tidak karuan. Rempah-rempah yang bisa membuatnya sedap ialah
kemiri, lengkuas, kunyit, jahe, bawang merah dan putih, asam,
terasi, garam, yang kesemuanya ditumbuk halus. Kemudian bubuhkan
lagi ketumbar dan jintan (yang juga sudah halus) dan kelapa yang
sudah diparut dan digoreng sangrai. Semua dijadikan satu dan
dibubuhi lagi santan kental. Supaya lebih enak lagi, biasanya
ditambah lagi dengan daging sapi (yang telah direbus empuk) atau
ikan gabus yang telah ditumbuk halus.
Jadi gangan gadang macam nasi tumpengnya orang Jawa atau nasi
kuningnya orang Maluku, makanan kebesaran yang harus dicicipi
oleh semua orang. Gangan gadang cukup fleksibel untuk hampir
semua upacara dan acara. Untuk pesta perkawinan, "membawa
hakekat dalam kehidupan berumah-tangga," tutur drs. Syamsiar
Seman, tokoh peneliti adat istiadat orang Banjar, Kalimantan
Selatan. Yaitu tuan rumah yang menghidangkan makanan khas ini
mempunyai maksud agar tirulah tabiat pohon pisang ini. Tambah
Seman lagi: "Yaitu agar rumahtangga kedua pengantin nanti selalu
ruhui-rahayu, tidak panasan, tidak suka bertengkar dan bisa
hidup aman damai sampai puluhan tahun."
Diupahkan
Gangan gadang untuk selamatan orang meninggal mempunyai hakekat
agar keluarga yang ditinggal mempunyai sikap tenang (dingin
bagai batang pisang) demikian pula bagi yang mereka akan pindah
rumah akan dingin pula temperaturnya, sehingga rezeki akan
banyak masuk.
Sayangnya, upacara bamumula -- yaitu serangkaian acara muka
untuk bakakawinan -- juga makanan gangan gadang jarang lagi
dimasak sendiri sekarang ini. "Orang kaya sekarang suka membayar
tenaga untuk upahan itu," ujar Sapran, tukang masak gangan
gadang dari Hulu Sungai. Tak terkecuali upacara bamumula.
Orang-orang yang tak mau repot biasanya mengupah mereka-mereka
yang juga memerlul:an upah. Untunglah, di beberapa desa kecil di
Banjar, masih tetap setia memegang upacara bakakawinan scperti
yang telah diajarkan turun temurun oleh nenek moyang mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini