Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Dari manungkih kayu & hati pisang dari manungkih kayu dan hati pisang

Upacara perkawinan adat banjar, kalimantan selatan, dinamakan bakakawinan yang terdiri dari berbagai upacara selama berhari-hari sebelum perkawinan. (ils)

16 September 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAKAKAWINAN -- upacara menikah - untuk orang Banjar, ditandai oleh serentetan kerepotan yang terdiri dari berbagai upacara yang saling bersambung dan menyita waktu berhari-hari. Sebulan sebelum hari perkawinan tiba, keluarga si pengantin biasanya sudah sibuk dan terlibat dalam upacara-upacara kecil. Untunglah seluruh upacara ini dilakukan oleh segenap keluarga, adakalanya melibatkan juga seluruh warga kampung dan dikerjakan secara gotong royong. Upacara kecil yang dilakukan pertama kali ialah manungkih kayu. Artinya membelah kayu bakar untuk memasak. Ini sebagai pertanda awal, bahwa yang punya rumah akan punya gawe cukup besar sehingga memerlukan bahan bakar banyak karena akan ada ayam, kerbau atau kambing akan dimasak. Gangan Gadang Tujuh hari sebelum pesta perkawinan dimulai, diadakan acara batajak tungku, membikin tungku untuk meletakkan wajan, kuali dan perabot dapur lainnya. Tungku ini biasanya terbuat dari batang pohon kelapa. Tiga hari setelah batajak tungku, dilanjutkan dengan acara batajak sarubung. Yaitu membuat semacam kemah untuk para undangan nantinya. Kalau mengundang orkes atau pertunjukan lain, panggung pun sudah harus dibuat pada saat yang sama. Orang lewat sudah melihat bahwa tak lama lagi, rumah yang sudah diberi kemah, panggung dan teratak itu akan ada perhelatan perkawinan. Batajak sarubung biasanya diiringi pula oleh upacara manabang nyiur. Pohon kelapa mulai ditebang, batangnya untuk tungku (lagi) dan daunnya untuk hiasan janur. Kemudian menyusul upacara ma'injam kawah. Yaitu meminjam belanga dan periuk besar untuk pesta besar. Perabot dapur ini biasa disewa dari orang-orang yang khusus menyewakan perabot beginian, atau dari perkumpulan arisan atau yasinan, yang telah berkembang jadi perusahaan intra-anggota. Tentu saja, pada hari pesta perkawinan itu diadakan, tak bisa diceriterakan bagaimana hebat dan ramainya rumah tersebut. Dari sekian banyak hidangan yang disajikan, ada satu jenis makanan yang tidak boleh ketinggalan dalam perhelatan macam apa saja bagi orang Banjar. Gangan gadang akan muncul pada orang yang baru saja pindah rumah. Juga pada hari tahlilan, setelah misalnya orang meninggal di hari yang ketujuh. Ini adalah sejenis makanan yan dibuat dari hati pohon pisang, yaitu batang pisang bagian dalam. I lati pisang ini kemudian dibelah dan diiris kecil-kecil, nyaris hancur dalam bentuk yang tidak karuan. Rempah-rempah yang bisa membuatnya sedap ialah kemiri, lengkuas, kunyit, jahe, bawang merah dan putih, asam, terasi, garam, yang kesemuanya ditumbuk halus. Kemudian bubuhkan lagi ketumbar dan jintan (yang juga sudah halus) dan kelapa yang sudah diparut dan digoreng sangrai. Semua dijadikan satu dan dibubuhi lagi santan kental. Supaya lebih enak lagi, biasanya ditambah lagi dengan daging sapi (yang telah direbus empuk) atau ikan gabus yang telah ditumbuk halus. Jadi gangan gadang macam nasi tumpengnya orang Jawa atau nasi kuningnya orang Maluku, makanan kebesaran yang harus dicicipi oleh semua orang. Gangan gadang cukup fleksibel untuk hampir semua upacara dan acara. Untuk pesta perkawinan, "membawa hakekat dalam kehidupan berumah-tangga," tutur drs. Syamsiar Seman, tokoh peneliti adat istiadat orang Banjar, Kalimantan Selatan. Yaitu tuan rumah yang menghidangkan makanan khas ini mempunyai maksud agar tirulah tabiat pohon pisang ini. Tambah Seman lagi: "Yaitu agar rumahtangga kedua pengantin nanti selalu ruhui-rahayu, tidak panasan, tidak suka bertengkar dan bisa hidup aman damai sampai puluhan tahun." Diupahkan Gangan gadang untuk selamatan orang meninggal mempunyai hakekat agar keluarga yang ditinggal mempunyai sikap tenang (dingin bagai batang pisang) demikian pula bagi yang mereka akan pindah rumah akan dingin pula temperaturnya, sehingga rezeki akan banyak masuk. Sayangnya, upacara bamumula -- yaitu serangkaian acara muka untuk bakakawinan -- juga makanan gangan gadang jarang lagi dimasak sendiri sekarang ini. "Orang kaya sekarang suka membayar tenaga untuk upahan itu," ujar Sapran, tukang masak gangan gadang dari Hulu Sungai. Tak terkecuali upacara bamumula. Orang-orang yang tak mau repot biasanya mengupah mereka-mereka yang juga memerlul:an upah. Untunglah, di beberapa desa kecil di Banjar, masih tetap setia memegang upacara bakakawinan scperti yang telah diajarkan turun temurun oleh nenek moyang mereka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus