Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 2006, ada pasien lelaki berumur 60 tahun menderita kanker pankreas stadium IV. Pasien di Amerika Serikat itu sudah menjalani operasi untuk mengeluarkan kanker dari pankreasnya, dan diberi obat gemcitabine. Namun, 12 bulan kemudian, kankernya tumbuh lagi. Artinya, pengobatan itu gagal. Ahli kanker David Sidransky dari Champions Oncology tidak bisa menyalahkan gemcitabine karena, untuk pasien yang berbeda, obat itu berhasil menyembuhkan.
Sidransky yakin kegagalan atau keberhasilan pengobatan kanker ini bergantung pada apakah pasien "berjodoh" dengan obatnya atau tidak. Tapi menentukan obat yang cocok itu tak mudah. Mencobakan puluhan obat kepada seorang pasien tentu bukan hal bijak. Sidransky kemudian menggunakan tubuh puluhan tikus untuk "mewakili" tubuh pasien. Dari tikus-tikus yang telah ditanami sel kanker seorang pasien itulah nantinya Sidransky menentukan obat yang tepat. Sidransky, yang memimpin pusat penyembuhan kanker Champions Oncology, menamai metode ini Champions Tumorgraft.
Dalam kasus pasien pertamanya itu, pria 60 tahun, Tumorgraft bisa dianggap berhasil. "Pasiennya mendapat remisi lima tahun, padahal kelangsungan hidup pasien kanker pankreas rata-rata 6-8 bulan," ujar Sidransky saat ditemui Tempo seusai peluncuran Tumorgraft oleh Parkway Cancer Center di Singapura, medio Februari lalu. Parkway Cancer Center adalah institusi pemilik Mount Elizabeth Hospital, Mount Elizabeth Novena Hospital, Gleneagles Hospital, dan Parkway East Hospital di Singapura.
Sidransky memang tidak menawarkan obat baru. Dia hanya mencari obat yang tepat untuk setiap kasus. Proses penyembuhan yang personal adalah kunci metode ini. Dengan personalisasi, peluang pasien untuk sembuh makin besar karena memungkinkan dokter memberikan penanganan sesuai dengan spesifikasi kanker dan gen penderita. "Kita akan tahu pengobatan paling tepat untuk pasien," katanya.
Penyembuhan dengan menggunakan media tikus memerlukan proses bertahap selama sekitar enam bulan. Pada tahap pertama, dokter akan mengambil jaringan tumor hidup pada pasien, melalui operasi atau biopsi. Tumor tersebut lalu dibenamkan pada tubuh 20-30 tikus percobaan. Untuk kasus pasien stadium atas ataupun yang kambuhan, metode ini memerlukan 200-300 tikus. Sisa dari sel tumor akan diawetkan dengan nitrogen cair sebagai sampel hidup untuk digunakan di masa depan-jika terjadi progresi atau kanker muncul kembali di tubuh pasien.
Setelah sel tumor itu tumbuh, tiap tikus dicekoki obat berbeda. Tujuannya untuk mengukur respons dari jaringan tumor hidup terhadap setiap regimen obat. Obat yang paling bisa menghabisi sel kanker di tubuh tikuslah yang nanti bakal diberikan ke pasien. "Personalisasi penting karena efek sebuah metode penyembuhan berbeda, meski pasien mengidap jenis kanker yang sama," ujar Direktur Medis dan Konsultan Senior Onkologi Medis Parkway Cancer Center, Ang Peng Tiam, ketika ditemui seusai acara yang sama. "Jadi uji coba obatnya tidak langsung pada pasien, tapi lewat tikus dulu."
Tahap implementasi itu biasanya memakan waktu paling cepat dua bulan. Kata Sidransky, yang disebut majalah Time sebagai salah satu peneliti paling berpengaruh berkat penelitiannya di bidang deteksi dini kanker, selama menunggu pertumbuhan tumor pada avatarnya, pasien terus menerima terapi dari para onkologis (ahli kanker).
"Efektivitas dari setiap pengobatan yang diujikan ke tikus selalu dilaporkan ke onkologis, sehingga bisa digunakan sebagai referensi pengobatan pasien," ujarnya. Namun, karena memakan waktu lama, metode ini tidak disarankan bagi pasien kanker yang sudah masuk stadium IV. Metode ini bisa diterapkan pada penderita kanker solid seperti kanker jaringan atau sarkoma, payudara, usus besar, paru-paru, dan pankreas.
Menurut Ang, teknik implantasi Tumorgraft lebih baik daripada model tradisional xenograft. Xenograft cuma punya korelasi 20 persen dengan tumor asli, sedangkan korelasi genetis lewat proses tumour grafting diklaim mencapai 94 persen. Dari tingkat kecocokan genetis yang tinggi itu, keberhasilan pengobatan ini juga tinggi. Konon, menurut Sidransky, keberhasilan pengobatan yang memakai prosedur ini 70 persen, bergantung pada beberapa faktor, seperti tingkat keagresifan tumor.
Wakil Presiden Bagian Pemasaran Champions Oncology Jordan Rubinson tak menyangkal kabar bahwa metode ini agak "pilih-pilih orang". Karena apa yang terjadi pada tikus adalah cerminan untuk si pasien, mereka tak mau memaksakan tumor tumbuh pada tikus. "Kalau tikus tak bisa mengembangkan sel tumor, mungkin pasien harus memilih cara penyembuhan lain. Kami tidak bisa menyenangkan semua orang."
Prosedur ini juga tidak murah. Ongkosnya Sin$ 15 ribu atau sekitar Rp 135 juta. Namun jumlah itu hanya untuk proses Champions Tumorgraft, yang memanfaatkan sejumlah tikus. Sedangkan untuk kemoterapi sebelum prosedur itu dilakukan, pasien mesti merogoh kocek lebih dalam.
Onkologis Rumah Sakit Kanker Dharmais, Jakarta Barat, Ramadhan Karsono, meminta pasien kanker bijaksana menentukan model terapinya. Sebab, kata dia, banyak orang mengklaim bisa menyembuhkan kanker, padahal yang dilakukan tidak sesuai dengan standar penyembuhan dalam buku petunjuk yang ditetapkan lembaga National Cancer Comprehensive Network.
Contoh metode standar adalah operasi, kemoterapi, dan terapi radiasi. Jika ada pengobatan kanker yang memenuhi studi tertentu, uji klinis bisa menjadi pilihan. "Banyak yang menyatakan diri bisa mengobati kanker, padahal pertimbangan dia lebih ke bisnis atau komersial," ujar Ramadhan saat ditemui di Rumah Sakit Dharmais, Kamis siang pekan lalu.
Untuk mengecek apakah sebuah metode penyembuhan kanker sesuai dengan standar atau tidak, Ramadhan menyarankan pasien mengecek apakah si onkologis dan rumah sakitnya berafiliasi dengan universitas tertentu. Sebab, kata dia, prosedur pengobatan yang bagus biasanya diteliti bersama oleh dokter dan kampus. Pasien juga sebaiknya mencari tahu apakah obat yang digunakan sudah mengantongi lisensi Badan Pengawas Obat dan Makanan pemerintah, seperti FDA jika di Amerika Serikat.
Penting diketahui juga tingkat evidence based-nya (bukti-bukti ilmiah yang menguatkan). Jika penelitian tersebut baru dilakukan oleh satu-dua orang peneliti, level evidence based-nya rendah. "Kalau levelnya masih rendah, sebaiknya tidak dicoba dulu, karena kan malah kasihan pasiennya," kata Ramadhan. Ia menambahkan, jika memang dasar pengobatannya masih meragukan, sebaiknya penelitian lebih lanjut dilakukan.
Ide memanfaatkan tikus untuk avatar pasien kanker dinilai Ramadhan sebenarnya cemerlang. Sebab, memang sekarang sudah masuk era pengobatan secara personal, untuk menindak heterogenitas pada satu sel kanker seorang pasien. Namun, menurut dia, prosedur Tumorgraft masih belum sesuai dengan standar.
"Yang jadi persoalan di sini adalah etika. Kalau masih coba-coba, semestinya belum boleh dijual ke publik," ujarnya. Seharusnya, menurut Ramadhan, ada uji klinis terhadap metode itu, yakni dengan melakukan validasi terhadap tikus percobaan, dan pengecekan obat yang digunakan ke si pasien. "Butuh standar dulu dengan uji klinis, karena tak semua penemuan di bidang kedokteran bisa langsung diterapkan."
Sidransky tak mengelak ketika disebutkan Tumorgraft tidak dicek FDA. Alasannya, obat pada metode tersebut sudah mendapat lampu hijau dari badan uji klinis Amerika Serikat, Clinical Laboratory Improvement Amendments. Artinya, dia tidak mengeluarkan obat baru. Ia juga mengklaim Tumorgraft sudah dipublikasikan di sejumlah jurnal ilmiah dan mendapat respons positif dari para akademikus.
Isma Savitri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo