Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Terhenyak di ladang minyak

Nasib buruh-buruh harian di pt caltex, upah rendah tidak ada jaminan masa depan. belasan tahun bekerja masih dengan status pekerja harian, kekhawatiran tetap membayang. (sd)

7 Maret 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETUA DPP Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI), Agus Sudono, geleng-geleng kepala. Ngadiran, salah seorang buruh kontraktor di lingkungan perusahaan minyak PT Stanvac Indonesia (PTSI), sudah 16 tahun bekerja, masih dengan status pekerja harian. "Itu tak manusiawi -- tak sesuai dengan asas Hubungan Perburuhan Pancasila," keluh Agus Sudono. Keluhan pimpinan FBSI itu dilontarkannya di hadapan Ngadiran ketika berada di Riau beberapa bulan lalu. Tapi dalam peringatan Hari Buruh (hari lahir FBSI) 20 Februari lalu, tak seorang pun lagi menyebut nama Ngadiran -- meskipun berbagai pidato peringatan tak kurang memuji peranan kaum pekerja di bumi ini. Dan barangkali juga Ngadiran, 42 tahun, tak mengharap terlalu banyak pada upacara-upacara peringatan serupa itu. Sebab, seperti katanya, "saya selalu cemas menghadapi hari besok." Kecemasan itu memang bukan mustahil. Dengan sekian tahun masa kerja, di PTSI sekarang ia hanya mendapat upah Rp 650 sehari. Dan kalau tidak bekerja, entah karena masuk angin atau panas badan diisap malaria hutan Riau, berarti satu rupiah pun tak mungkin masuk ke kantungnya. Ngadiran, lelaki beranak 4 itu, adalah salah seorang dari sekitar 3.000 buruh yang bekerja pada kontraktor di lingkungan PTSI. Dengan cuma makan SD dan tak pula tamat, perantau dari Jawa Tengah itu memang cuma mampu mengandalkan tulangnya untuk jenis pekerjaan kasar. Menjaga dan memperbaiki pipa yang bocor, menggali parit, adalah tugasnya sehari-hari. Sistem kerjanya pun agak ganjil. "Pakai unit-unit," cerita Ngadiran. Unit itu, misalnya memperbaiki pipa bocor. Kalau sehari dia bisa menyelesaikan 3 unit, ya "dapatlah Rp 1.000 lebih." Tapi amat jarang ia mampu menyelesaikan pekerjaan itu lebih dari 3 unit sehari. Walhasil, demi mengejar kebutuhan hidup, si buruh ini nyaris tak kenal hari libur. "Tiga puluh satu hari bekerja terus," tambahnya. Luhut Dalam 16 tahun itu memang beberapa kali ia menukar jenis pekerjaan, dan ganti bendera pada beberapa kontraktor. Tapi seluruh masa kerja itu dihabiskannya di ladang-ladang minyak Stanvac. Ia tak lagi berniat pindah ke pekerjaan lain. Ia ingin bekerja tekun. Sebab sampai sekarang ia belum punya rumah. Untuk ke tempat kerja saja yang dipunyainya hanya sebuah sepeda yang dikayuhnya saban hari sejauh 4 km. Upah rendah dan belasan tahun masih sebagai buruh harian, memang bukan cuma dialami Ngadiran. Tapi semua buruh kontraktor. Pekerjaan yang dikontrakkan pihak Stanvac ini pun tidak terbatas pada pekerjaan yang tidak vital atau penunjang saja. Artinya pekerjaan-pekerjaan penting juga. Seperti untuk Well Service (pembersih dan pemeliharaan sumur minyak). Luhut, 32 tahun, pemuda asal Tapanuli, semula melamar sebagai karyawan tetap Stanvac. Ia tamat STM Medan. Waktu dites, ternyata paru-parunya kurang baik. Ia dioper ke tangan perusahaan pemborong dan ditempatkan sebagai pembersih dan pemelihara sumur minyak. "Sebetulnya well service ini penting dan berat," cerita Luhut. Untuk pembersih sumur itu, terkadang mereka harus memasukkan sejenis cairan kimia ke dalam lubang sumur. Cairan itu sangat berbahaya, terutama jika terkena muka, apalagi mata. Makanya tiap memulai tugas ia tak pernah lupa mengenakan pakaian kerja, lengkap dengan helm, dan pengaman. Tapi selama 4 tahun bekerja, setiap hari gajinya cuma Rp 2.000. "Karyawan tetap yang cuma di belakang meja sampai Rp 90.000 sebulan. Saya ini cuma kuda beban," keluhnya. Well Service memang termasuk pekerjaan berat. Selain peralatan menara pembersih hanya dilayani 4 orang, pun sering harus masuk jauh ke tengah hutan tempat sumur minyak yang harus diservis. Berangkat pagi-pagi, sampai pukul 6 sore, masih harus terbungkuk-bungkuk menyelesaikan peralatan. Itu pun kalau mobil pemindah datang dan pekerjaan siap. Kalau tidak, "malam-malam harus tetap menunggu," lanjutnya. Yang merisaukan Luhut, selain upah yang rendah, dan nyaris sulit menghidupi 4 orang anaknya, pun perlindungan hak dan jaminan kerja tak ada. "Salah sedikit bisa dipecat," lanjutnya. Temannya satu grup, hanya gara-gara terlambat memakai ikat pinggang pengaman, langsung diskors, dan tak dibayar gajinya. "Tak usah mikirkan pensiun, saya selalu ragu, apakah besok masih bekerja atau tidak" keluh Luhut. Pardede Agak mendingan bekerja di bagian perbengkelan atau transpor. Masrun Ilyas, 33 tahun, merasa pekerjaannya memang tak begitu berat. Terima gaji tiap bulan, meski tetap lebih kecil dibanding karyawan tetap dengan pangkat terendah. "Sudah lebih 8 tahun bekerja, baru 2 kali naik gaji," ujar laki-laki kelahiran Lirik, Indragiri Hulu. Itu pun, setelah didesak-desak dan main "ancam". Makanya ia masuk organisasi dan jadi salah seorang pengurus Serikat Buruh Minyak Gas Bumi dan Pertambangan Umum (SBMGPU) -- basis buruh kontraktor. Dengan organisasi ini, "buruh tak bisa cuma menunggu belas kasihan" ujarnya. Waktu mulai bekerja Masrun tak pernah disodori satu perjanjian kerja. Beberapa kawannya, karena terlalu getol menuntut, akhirnya didepak. Masrun pun tahu bahwa jadi buruh kontraktor itu nyaris sulit punya hari depan. Bukan cuma soal pensiun, perumahan, kesempatan pendidikan anak-anak yang tak terjamin. Tapi juga karena dalam program kesejahteraan sosial dianak-tirikan. "Masuk Astek, tapi cuma setengah" lanjutnya. Maksudnya, dalam program Asuransi Tenaga Kerja itu, mereka cuma dijamin tentang kecelakaan kerja. Tapi urusan jaminan hari tua, kematian dll. tak dapat, karena kontraktor tempat mereka bekerja tak bersedia membayar preminya. Dulu sebelum Dana Jaminan Sosial dilikuidasikan ke dalam Perum Astek, mereka masih menerima uang Tunjangan Hari Raya, tunjangan kematian, dll. Sekarang, "tiap lebaran ya gigit jari" tutur Masrun. Nasib buruh kontraktor yang bak sapi perahan di ladang-ladang minyak itu, bukan cuma di lingkungan PTSI saja. Di ladang-ladang minyak Caltex pun tak jauh berbeda. Di lingkungan perusahaan asing dengan produksi sekitar 800 ribu barrel sehari ini, lebih 10 ribu buruh kontraktor bekerja pada sekitar 50 perusahaan pemborong. Di sini perbandingan upah antara buruh tetap dan borongan bisa 1:7. Buruh borongan menerima sebulan paling rendah Rp 25.000, yang tetap sekitar Rp 148.000. "Kalau kudapat kerja lain, mau pindah saja" kata Pardede, 25 tahun, seorang sopir truk yang bertugas mengangkut peralatan kerja, dan bahan bangunan. Pardede bekerja di bawah kontraktor CV Bumi Langgaan. Menurut ketetapan Kantor Ditjen Bina Lindung Riau, upah sehari di daerah ini paling rendah Rp 1.600. Tapi Pardede yang punya 2 anak, dan mengontrak rumah petak Rp 60.000 setahun di Duri, sebuah distrik PT Caltex, oleh perusahaan diberi upah borongan per km Rp 10. Itu pun kalau ada muatan. Kalau tidak, ya nganggur. Untuk membayar kontrak rumah Pardede mengaku tiap hari harus bisa menempuh sedikitnya 600 km. Belum dihitung untuk urusan sekolah anak, atau lainnya. "Belum habis bulan, sudah pinjam sana sini" katanya. Celakanya, tempat meminjam itu adalah para rentenir. Ribuan orang buruh kontraktor di lingkungan PT Caltex, menurut Pardede, tiap bulan jatuh ke dalam pelukan para lintah darat. Mulai dari pinjam uang, sampai ke urusan kebutuhan sehari-hari, "karena memang tak ada jalan lain." Kalau di perusahaan Caltex, buruhburuh tetapnya punya koperasi, para buruh kontraktor jangankan koperasi, toko-toko yang ditunjuk oleh pemborongnya untuk tempat berutang, pun sudah sama dengan lintah darat. "Pokoknya darah kami diisap semua, lah" katanya masih dengan lidah Batak. Yang menyenangkan menurut Pardede, kalau sekali-sekali pulang kampung, dan ada yang menanyai tempat kerja. "Ya, di Caltex" Pardede berseloroh sambil tertawa sendiri. Makanya, Raja Gukguk, 45 tahun, seorang buruh kontraktor Caltex lainnya menyesal dulu tak bersekolah tinggi dan cuma sampai SD. "Kalau sekolah cukup, 16 tahun kerja sudah berpangkat staf," katanya berkhayal. Nyatanya ia kini tetap sebagai buruh pelabuhan di terminal pelabuhan Caltex di Rumbai dengan penghasilan sekitar Rp 39.000 sebulan. Bagi ayah 7 anak ini, tak ada kebanggaan apa-apa bekerja di perusahaan minyak ini, kecuali terpaksa ditunggui, karena memang sulit mendapat pekerjaan lain. Cuma menurutnya, kalau tiap tahun gaji buruh tetap bisa naik, mestinya buruh kontraktor begitu juga. Selama ini, hampir tak pernah mengalami perbaikan pendapatan. Karena itu Raja Gukguk ikut dalam aksi istirahat kerja di lingkungan PT Caltex Oktober lalu untuk menuntut kenaikan upah. "Kalau tak ramai-ramai, takut juga," lanjutnya. Dengan aksi itu memang upah mereka bertambah 50%, karena PT Caltex akibat istirahat kerja 2 hari itu, kabarnya sempat rugi sekitar Rp 2 milyar. Terkatung-katung Pembayaran uang lembur, dan lain-lain pun tak gampang. Ini cerita duka Misno, 26 tahun, buruh bagian perkapalan (marine) PT Caltex di Dumai. Laki-laki bujangan ini memang baru sekitar 5 tahun bekerja di situ. Ia senang. Meski berstatus buruh borongan. Karena yang mengatur pekerjaan adalah superviser Caltex. "Sebab seperti bekerja langsung di perusahaan Caltex," ujarnya. Tugas Misno dan kawan-kawannya adalah berlayar, bila ada perintah, dari Dumai ke lokasi kerja Caltex lainnya, seperti Sungai Pakning. Atau mengatur penambatan kapal-kapal tanker yang datang. Untuk itu, jam kerja mereka memang 24 jam. "Harus tetap di tempat selama 24 jam," katanya -- meskipun tak ada kapal masuk. Tamatan SLP ini berpenghasilan sekitar Rp 45.000 sebulan. Karena tetap prihatin pada nasib baru-baru ini Misno dan teman-temannya mengadu ke DPRD Riau. Tuntutan pokok adalah upah lembur mereka tak dibayar oleh kontraktor CV. Hutahean Jumlahnya memang tak sedikit, lebih dari Rp 29 juta. Malang, karena kontraktornya tak sanggup menembus ke perusahaan pemberi kerja, tuntutan itu terkatung-katung. Padahal surat putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) sudah ada dan mewajibkan kontraktor membayar. Akhirnya karena jengkel, para buruh perkapalan ini sempat menurunkan bendera Caltex yang ada di kapal mereka. "Bendera itu kami ganti dengan periuk nasi," cerita Misno. Protes itu, sampai kini pun tetap tak selesai dan putusan P4D itu ternyata nyaris tak berguna. Padahal, siapa pun tahu bahwa buruh-buruh kontraktor itu merupakan pekerja yang mengerjakan hampir 70% dari semua kegiatan penambangan minyak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus