KETUA DPP Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI), Agus Sudono,
geleng-geleng kepala. Ngadiran, salah seorang buruh kontraktor
di lingkungan perusahaan minyak PT Stanvac Indonesia (PTSI),
sudah 16 tahun bekerja, masih dengan status pekerja harian. "Itu
tak manusiawi -- tak sesuai dengan asas Hubungan Perburuhan
Pancasila," keluh Agus Sudono.
Keluhan pimpinan FBSI itu dilontarkannya di hadapan Ngadiran
ketika berada di Riau beberapa bulan lalu. Tapi dalam peringatan
Hari Buruh (hari lahir FBSI) 20 Februari lalu, tak seorang pun
lagi menyebut nama Ngadiran -- meskipun berbagai pidato
peringatan tak kurang memuji peranan kaum pekerja di bumi ini.
Dan barangkali juga Ngadiran, 42 tahun, tak mengharap terlalu
banyak pada upacara-upacara peringatan serupa itu. Sebab,
seperti katanya, "saya selalu cemas menghadapi hari besok."
Kecemasan itu memang bukan mustahil. Dengan sekian tahun masa
kerja, di PTSI sekarang ia hanya mendapat upah Rp 650 sehari.
Dan kalau tidak bekerja, entah karena masuk angin atau panas
badan diisap malaria hutan Riau, berarti satu rupiah pun tak
mungkin masuk ke kantungnya.
Ngadiran, lelaki beranak 4 itu, adalah salah seorang dari
sekitar 3.000 buruh yang bekerja pada kontraktor di lingkungan
PTSI. Dengan cuma makan SD dan tak pula tamat, perantau dari
Jawa Tengah itu memang cuma mampu mengandalkan tulangnya untuk
jenis pekerjaan kasar. Menjaga dan memperbaiki pipa yang bocor,
menggali parit, adalah tugasnya sehari-hari.
Sistem kerjanya pun agak ganjil. "Pakai unit-unit," cerita
Ngadiran. Unit itu, misalnya memperbaiki pipa bocor. Kalau
sehari dia bisa menyelesaikan 3 unit, ya "dapatlah Rp 1.000
lebih." Tapi amat jarang ia mampu menyelesaikan pekerjaan itu
lebih dari 3 unit sehari. Walhasil, demi mengejar kebutuhan
hidup, si buruh ini nyaris tak kenal hari libur. "Tiga puluh
satu hari bekerja terus," tambahnya.
Luhut
Dalam 16 tahun itu memang beberapa kali ia menukar jenis
pekerjaan, dan ganti bendera pada beberapa kontraktor. Tapi
seluruh masa kerja itu dihabiskannya di ladang-ladang minyak
Stanvac. Ia tak lagi berniat pindah ke pekerjaan lain. Ia ingin
bekerja tekun. Sebab sampai sekarang ia belum punya rumah. Untuk
ke tempat kerja saja yang dipunyainya hanya sebuah sepeda yang
dikayuhnya saban hari sejauh 4 km.
Upah rendah dan belasan tahun masih sebagai buruh harian, memang
bukan cuma dialami Ngadiran. Tapi semua buruh kontraktor.
Pekerjaan yang dikontrakkan pihak Stanvac ini pun tidak terbatas
pada pekerjaan yang tidak vital atau penunjang saja. Artinya
pekerjaan-pekerjaan penting juga. Seperti untuk Well Service
(pembersih dan pemeliharaan sumur minyak).
Luhut, 32 tahun, pemuda asal Tapanuli, semula melamar sebagai
karyawan tetap Stanvac. Ia tamat STM Medan. Waktu dites,
ternyata paru-parunya kurang baik. Ia dioper ke tangan
perusahaan pemborong dan ditempatkan sebagai pembersih dan
pemelihara sumur minyak. "Sebetulnya well service ini penting
dan berat," cerita Luhut. Untuk pembersih sumur itu, terkadang
mereka harus memasukkan sejenis cairan kimia ke dalam lubang
sumur. Cairan itu sangat berbahaya, terutama jika terkena muka,
apalagi mata. Makanya tiap memulai tugas ia tak pernah lupa
mengenakan pakaian kerja, lengkap dengan helm, dan pengaman.
Tapi selama 4 tahun bekerja, setiap hari gajinya cuma Rp 2.000.
"Karyawan tetap yang cuma di belakang meja sampai Rp 90.000
sebulan. Saya ini cuma kuda beban," keluhnya.
Well Service memang termasuk pekerjaan berat. Selain peralatan
menara pembersih hanya dilayani 4 orang, pun sering harus masuk
jauh ke tengah hutan tempat sumur minyak yang harus diservis.
Berangkat pagi-pagi, sampai pukul 6 sore, masih harus
terbungkuk-bungkuk menyelesaikan peralatan. Itu pun kalau mobil
pemindah datang dan pekerjaan siap. Kalau tidak, "malam-malam
harus tetap menunggu," lanjutnya.
Yang merisaukan Luhut, selain upah yang rendah, dan nyaris sulit
menghidupi 4 orang anaknya, pun perlindungan hak dan jaminan
kerja tak ada. "Salah sedikit bisa dipecat," lanjutnya. Temannya
satu grup, hanya gara-gara terlambat memakai ikat pinggang
pengaman, langsung diskors, dan tak dibayar gajinya. "Tak usah
mikirkan pensiun, saya selalu ragu, apakah besok masih bekerja
atau tidak" keluh Luhut.
Pardede
Agak mendingan bekerja di bagian perbengkelan atau transpor.
Masrun Ilyas, 33 tahun, merasa pekerjaannya memang tak begitu
berat. Terima gaji tiap bulan, meski tetap lebih kecil dibanding
karyawan tetap dengan pangkat terendah.
"Sudah lebih 8 tahun bekerja, baru 2 kali naik gaji," ujar
laki-laki kelahiran Lirik, Indragiri Hulu. Itu pun, setelah
didesak-desak dan main "ancam". Makanya ia masuk organisasi dan
jadi salah seorang pengurus Serikat Buruh Minyak Gas Bumi dan
Pertambangan Umum (SBMGPU) -- basis buruh kontraktor. Dengan
organisasi ini, "buruh tak bisa cuma menunggu belas kasihan"
ujarnya. Waktu mulai bekerja Masrun tak pernah disodori satu
perjanjian kerja. Beberapa kawannya, karena terlalu getol
menuntut, akhirnya didepak.
Masrun pun tahu bahwa jadi buruh kontraktor itu nyaris sulit
punya hari depan. Bukan cuma soal pensiun, perumahan, kesempatan
pendidikan anak-anak yang tak terjamin. Tapi juga karena dalam
program kesejahteraan sosial dianak-tirikan. "Masuk Astek, tapi
cuma setengah" lanjutnya. Maksudnya, dalam program Asuransi
Tenaga Kerja itu, mereka cuma dijamin tentang kecelakaan kerja.
Tapi urusan jaminan hari tua, kematian dll. tak dapat, karena
kontraktor tempat mereka bekerja tak bersedia membayar preminya.
Dulu sebelum Dana Jaminan Sosial dilikuidasikan ke dalam Perum
Astek, mereka masih menerima uang Tunjangan Hari Raya, tunjangan
kematian, dll. Sekarang, "tiap lebaran ya gigit jari" tutur
Masrun.
Nasib buruh kontraktor yang bak sapi perahan di ladang-ladang
minyak itu, bukan cuma di lingkungan PTSI saja. Di ladang-ladang
minyak Caltex pun tak jauh berbeda. Di lingkungan perusahaan
asing dengan produksi sekitar 800 ribu barrel sehari ini, lebih
10 ribu buruh kontraktor bekerja pada sekitar 50 perusahaan
pemborong. Di sini perbandingan upah antara buruh tetap dan
borongan bisa 1:7. Buruh borongan menerima sebulan paling rendah
Rp 25.000, yang tetap sekitar Rp 148.000. "Kalau kudapat kerja
lain, mau pindah saja" kata Pardede, 25 tahun, seorang sopir
truk yang bertugas mengangkut peralatan kerja, dan bahan
bangunan.
Pardede bekerja di bawah kontraktor CV Bumi Langgaan. Menurut
ketetapan Kantor Ditjen Bina Lindung Riau, upah sehari di daerah
ini paling rendah Rp 1.600. Tapi Pardede yang punya 2 anak, dan
mengontrak rumah petak Rp 60.000 setahun di Duri, sebuah distrik
PT Caltex, oleh perusahaan diberi upah borongan per km Rp 10.
Itu pun kalau ada muatan. Kalau tidak, ya nganggur.
Untuk membayar kontrak rumah Pardede mengaku tiap hari harus
bisa menempuh sedikitnya 600 km. Belum dihitung untuk urusan
sekolah anak, atau lainnya. "Belum habis bulan, sudah pinjam
sana sini" katanya.
Celakanya, tempat meminjam itu adalah para rentenir. Ribuan
orang buruh kontraktor di lingkungan PT Caltex, menurut Pardede,
tiap bulan jatuh ke dalam pelukan para lintah darat. Mulai dari
pinjam uang, sampai ke urusan kebutuhan sehari-hari, "karena
memang tak ada jalan lain."
Kalau di perusahaan Caltex, buruhburuh tetapnya punya koperasi,
para buruh kontraktor jangankan koperasi, toko-toko yang
ditunjuk oleh pemborongnya untuk tempat berutang, pun sudah sama
dengan lintah darat. "Pokoknya darah kami diisap semua, lah"
katanya masih dengan lidah Batak.
Yang menyenangkan menurut Pardede, kalau sekali-sekali pulang
kampung, dan ada yang menanyai tempat kerja. "Ya, di Caltex"
Pardede berseloroh sambil tertawa sendiri.
Makanya, Raja Gukguk, 45 tahun, seorang buruh kontraktor Caltex
lainnya menyesal dulu tak bersekolah tinggi dan cuma sampai SD.
"Kalau sekolah cukup, 16 tahun kerja sudah berpangkat staf,"
katanya berkhayal. Nyatanya ia kini tetap sebagai buruh
pelabuhan di terminal pelabuhan Caltex di Rumbai dengan
penghasilan sekitar Rp 39.000 sebulan.
Bagi ayah 7 anak ini, tak ada kebanggaan apa-apa bekerja di
perusahaan minyak ini, kecuali terpaksa ditunggui, karena memang
sulit mendapat pekerjaan lain. Cuma menurutnya, kalau tiap tahun
gaji buruh tetap bisa naik, mestinya buruh kontraktor begitu
juga. Selama ini, hampir tak pernah mengalami perbaikan
pendapatan. Karena itu Raja Gukguk ikut dalam aksi istirahat
kerja di lingkungan PT Caltex Oktober lalu untuk menuntut
kenaikan upah. "Kalau tak ramai-ramai, takut juga," lanjutnya.
Dengan aksi itu memang upah mereka bertambah 50%, karena PT
Caltex akibat istirahat kerja 2 hari itu, kabarnya sempat rugi
sekitar Rp 2 milyar.
Terkatung-katung
Pembayaran uang lembur, dan lain-lain pun tak gampang. Ini
cerita duka Misno, 26 tahun, buruh bagian perkapalan (marine) PT
Caltex di Dumai. Laki-laki bujangan ini memang baru sekitar 5
tahun bekerja di situ. Ia senang. Meski berstatus buruh
borongan. Karena yang mengatur pekerjaan adalah superviser
Caltex. "Sebab seperti bekerja langsung di perusahaan Caltex,"
ujarnya.
Tugas Misno dan kawan-kawannya adalah berlayar, bila ada
perintah, dari Dumai ke lokasi kerja Caltex lainnya, seperti
Sungai Pakning. Atau mengatur penambatan kapal-kapal tanker yang
datang. Untuk itu, jam kerja mereka memang 24 jam. "Harus tetap
di tempat selama 24 jam," katanya -- meskipun tak ada kapal
masuk. Tamatan SLP ini berpenghasilan sekitar Rp 45.000 sebulan.
Karena tetap prihatin pada nasib baru-baru ini Misno dan
teman-temannya mengadu ke DPRD Riau. Tuntutan pokok adalah upah
lembur mereka tak dibayar oleh kontraktor CV. Hutahean Jumlahnya
memang tak sedikit, lebih dari Rp 29 juta. Malang, karena
kontraktornya tak sanggup menembus ke perusahaan pemberi kerja,
tuntutan itu terkatung-katung. Padahal surat putusan Panitia
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) sudah ada dan
mewajibkan kontraktor membayar.
Akhirnya karena jengkel, para buruh perkapalan ini sempat
menurunkan bendera Caltex yang ada di kapal mereka. "Bendera itu
kami ganti dengan periuk nasi," cerita Misno. Protes itu, sampai
kini pun tetap tak selesai dan putusan P4D itu ternyata nyaris
tak berguna. Padahal, siapa pun tahu bahwa buruh-buruh
kontraktor itu merupakan pekerja yang mengerjakan hampir 70%
dari semua kegiatan penambangan minyak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini