PEREMPUAN DALAM PASUNGAN
Sutradara/Skenario: Ismail Soebardjo
Produksi: PT Garuda Film
BERSAMA wartawan yang melacak kejadian itu, Andi dan anak
perempuannya, Tini, kembali ke Yogyakarta. Mereka melihat
keadaan Fitria, istri Andi, yang dipasung beberapa tahun
berselang. Pertemuan itu penuh keharuan. Ketika Tini dengan
tangisnya menghambur, hendak memeluk ibunya yang kumal dan
mengerikan, Fitria ternyata menolaknya. "Tidak . . . !"
jeritnya. Itulah suatu adegan film Perempuan dalam Pasungan,
yang paling dramatis.
Sutradara Ismail Soebardjo, 37 tahun, sekali ini nampak
bertambah matang, terutama bila dibandingkan dengan tiga filmnya
terdahulu. Yaitu Remaja '76, Binalnya Anak Muda (1978), dan
Anak-anak Buangan (1979).
Pasungan makan ongkos Rp 97 juta dan dikerjakan selama 4 bulan.
Ia hanya bercerita -- secara kilas balik (flash back) -- dengan
nada rendah, tentang kesewenang-wenangan.
Fitria (Nungky) -- oleh ayahnya, Prawiro (D. Djajakusuma) --
disangka gila. Perempuan itu memang sedang terguncang jiwanya
oleh perasaan berdosa: merasa jadi pembunuh Marni (Rini S.
Bono), sahabatnya. Ia dipasung supaya keluarganya tidak malu.
Dan ia disembunyikan dalam rumah sang ayah, di sebuah kampung di
Yogyakarta.
Tapi, rahasia itu akhirnya diketahui seorang wartawan Jakarta
(dimainkan secara amatir oleh Dorman Borisman). Sang wartawan
membawa Andi (Fran Tumbuan), suami Fitria, untuk meyakinkan
bahwa sebenarnya perempuan itu tidak gila.
Di sini, Ismail memberi akhir yang menggantung pada filmnya itu.
Mungkin ia menyarankan suatu happy ending, namun keruwetan baru
bisa saja muncul di belakangnya. Misalnya, pengadilan bagi orang
tua Fitria dan juga suaminya --yang membiarkan kekejaman itu
berlangsung.
Cerita pemasungan itu direka Ismail berdasarkan kebiasaan buruk
dalam masyarakat di beberapa daerah. Ia memberikan semacam
"latar belakang" wilayah budaya Jawa (Yogyakarta) yang terkenal
feodalistis. Itu diwakili Prawiro, sang ayah, lurah desa yang
gila hormat.
Cerita yang berlokasi Yogya dan Jakarta itu terjadi tahun 60-an.
Konon Ismail sangat sibuk menggambarkan suasana masa itu. Tapi
penghindaran terekamnya bentuk-betuk fisik masa kini menyebabkan
gambar jadi sumpek. Sudut pengambilan kamera sangat terbatas.
Yogya atau Jakarta nampak sama saja, tanpa lingkungan yang
genah.
Apa dan siapa tokoh-tokohnya juga tak jelas benar. Semua hadir
dalam suatu garis besar. Agak semberono film ini membiarkan
Andi, calon insinyur, menyerahkan istrinya yang sudah beranak 2
orang, untuk dizalimi. Tanpa alasan dan keberatan sedikit pun.
Surat cinta dijumpai di saku Andi, yang membakar kecemburuan
istrinya terhadap Marni, sehingga Fitria minta jampi-jampi
dukun. Cara begini terlalu murah untuk meletupkan konflik.
Cacat semacam itu masih merupakan persoalan umum dalam perfilman
Indonesia. Namun Ismail masih bisa menjaga perkembangan konflik
keseluruhan, sehingga filmnya ini memikat secara dramatik.
Seringkali adegannya diganggu oleh musiknya yang agak
berlebih-lebihan. Bahkan masuknya lagu Bye Bye Love secara
tiba-tiba terasa artifisial. Tapi kelincahan si manis Marni
paling menyenangkan dalam film ini.
Yudhistira ANM Massardi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini