Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Demam bayangan dosa

Sutradara : ismail soebardjo produksi: pt garuda film, resensi oleh: yudhistira anm massardi.

7 Maret 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEREMPUAN DALAM PASUNGAN Sutradara/Skenario: Ismail Soebardjo Produksi: PT Garuda Film BERSAMA wartawan yang melacak kejadian itu, Andi dan anak perempuannya, Tini, kembali ke Yogyakarta. Mereka melihat keadaan Fitria, istri Andi, yang dipasung beberapa tahun berselang. Pertemuan itu penuh keharuan. Ketika Tini dengan tangisnya menghambur, hendak memeluk ibunya yang kumal dan mengerikan, Fitria ternyata menolaknya. "Tidak . . . !" jeritnya. Itulah suatu adegan film Perempuan dalam Pasungan, yang paling dramatis. Sutradara Ismail Soebardjo, 37 tahun, sekali ini nampak bertambah matang, terutama bila dibandingkan dengan tiga filmnya terdahulu. Yaitu Remaja '76, Binalnya Anak Muda (1978), dan Anak-anak Buangan (1979). Pasungan makan ongkos Rp 97 juta dan dikerjakan selama 4 bulan. Ia hanya bercerita -- secara kilas balik (flash back) -- dengan nada rendah, tentang kesewenang-wenangan. Fitria (Nungky) -- oleh ayahnya, Prawiro (D. Djajakusuma) -- disangka gila. Perempuan itu memang sedang terguncang jiwanya oleh perasaan berdosa: merasa jadi pembunuh Marni (Rini S. Bono), sahabatnya. Ia dipasung supaya keluarganya tidak malu. Dan ia disembunyikan dalam rumah sang ayah, di sebuah kampung di Yogyakarta. Tapi, rahasia itu akhirnya diketahui seorang wartawan Jakarta (dimainkan secara amatir oleh Dorman Borisman). Sang wartawan membawa Andi (Fran Tumbuan), suami Fitria, untuk meyakinkan bahwa sebenarnya perempuan itu tidak gila. Di sini, Ismail memberi akhir yang menggantung pada filmnya itu. Mungkin ia menyarankan suatu happy ending, namun keruwetan baru bisa saja muncul di belakangnya. Misalnya, pengadilan bagi orang tua Fitria dan juga suaminya --yang membiarkan kekejaman itu berlangsung. Cerita pemasungan itu direka Ismail berdasarkan kebiasaan buruk dalam masyarakat di beberapa daerah. Ia memberikan semacam "latar belakang" wilayah budaya Jawa (Yogyakarta) yang terkenal feodalistis. Itu diwakili Prawiro, sang ayah, lurah desa yang gila hormat. Cerita yang berlokasi Yogya dan Jakarta itu terjadi tahun 60-an. Konon Ismail sangat sibuk menggambarkan suasana masa itu. Tapi penghindaran terekamnya bentuk-betuk fisik masa kini menyebabkan gambar jadi sumpek. Sudut pengambilan kamera sangat terbatas. Yogya atau Jakarta nampak sama saja, tanpa lingkungan yang genah. Apa dan siapa tokoh-tokohnya juga tak jelas benar. Semua hadir dalam suatu garis besar. Agak semberono film ini membiarkan Andi, calon insinyur, menyerahkan istrinya yang sudah beranak 2 orang, untuk dizalimi. Tanpa alasan dan keberatan sedikit pun. Surat cinta dijumpai di saku Andi, yang membakar kecemburuan istrinya terhadap Marni, sehingga Fitria minta jampi-jampi dukun. Cara begini terlalu murah untuk meletupkan konflik. Cacat semacam itu masih merupakan persoalan umum dalam perfilman Indonesia. Namun Ismail masih bisa menjaga perkembangan konflik keseluruhan, sehingga filmnya ini memikat secara dramatik. Seringkali adegannya diganggu oleh musiknya yang agak berlebih-lebihan. Bahkan masuknya lagu Bye Bye Love secara tiba-tiba terasa artifisial. Tapi kelincahan si manis Marni paling menyenangkan dalam film ini. Yudhistira ANM Massardi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus