MATAPENCAHARIAN utama penduduk Sungairimbang, ternyata menjadi
pembunuh warga desa itu. Mereka yang bekerja menambang batu di
desa itu, banyak yang meninggal dunia karena mengidap penyakit
TBC sebagai akibat setiap hari harus menghirup debu batu.
Desa Sungairimbang, Kecamatan Suliki, Kabupaten Limapuluh Kota
(Sum-Bar), seluas 5 km persegi, memang bukan bumi yang subur
untuk bercocok tanam. Dataran yang ada mengandung batu-batuan,
atau terletak di ketinggian, sehingga sulit diairi. Untunglah
tempat itu dikurniai dua buah bukit batu, bernama Pening-pening
dan Air Tiris.
Tinggi kedua bukit itu hanya 500 meter, tetapi merupakan harta
karun yang tidak habis-habisnya bagi penduduk. Separuh dari
penduduk yang berjumlah 652 jiwa, menambang batu di kedua bukit
itu untuk dijadikan batu asahan. Hasil tambangan ini berguna
untuk mengasah pisau, golok, sabit (arit) dan alat-alat rumah
tangga lainnya. Pasarannya cukup luas: Medan, Jambi, Palembang,
selain kebutuhan lokal Sum-Bar sendiri.
Setiap pagi, sehabis minum kopi di warung, seperti kafilah
penduduk desa itu, dewasa maupun anak-anak, beriringan mendaki
kedua bukit batu itu. Sampai siang, mereka bekerja membelah
batu, kemudian memotong-motongnya dalam ukuran sekitar 12 x 8 x
30 cm, berupa batu asahan kasar.
Di rumah, batu-batu itu diasah lagi hingga licin dengan alat
berupa batu juga. Proses terakhir ini biasanya melibatkan
seluruh anggota keluarga, baik lelaki atau perempuan. Pada waktu
pengasahan inilah beterbangan debu-debu batu, dan langsung
terhirup semua anggota keluarga, karena mereka bekerja tanpa
alat pengaman.
Debu-debu itulah yang kemudian bersarang di paru-paru penduduk,
menyebabkan banyak yang mati setelah menderita batuk darah,
seperti diakui Husni, Wali Jorong (Dukuh) Sialang, Desa
Sungairimbang -- desa ini mempunyai dua Jorong, yaitu Sialang
dan Batu Bauk. Husni pernah menyaksikan, darah yang keluar dari
mulut penderita mengandung pasir batu.
Angka kematian di desa itu memang tinggi. Lebih dari separuh
penduduk, umumnya pekerja tambang batu, meninggal di bawah usia
50 tahun. "Dari 10 kematian tahun yang lalu, 6 di antaranya
terkena batuk darah," kata Husni lagi. Dan kematian semacam itu,
katanya, sudah berlangsung semenjak penambangan batu dilakukan,
lebih dari 100 tahun yang lalu.
Takut Dilarang
Bahaya maut itu, tidak menyebabkan penduduk ingin beralih
pekerjaan. "Mau apa lagi, tidak ada pekerjaan lain," ujar
seorang penambang batu, Amilus, 37 tahun. Kematian bagi mereka
hanyalah soal takdir semata, atau seperti kata pekerja batu
lainnya, Suar (40 tahun), "Mengapa Tuhan melahirkan kami di
sini?"
Jelasnya, penghasilan menambang batu lebih baik dibanding
bertani, seperti diungkapkan Nyonya Rohani, 42 tahun. Bekerja di
ladang atau di sawah di desa tetangga, hanya menghasilkan
sekitar Rp 1000 sehari, sementara menambang batu bisa mencapai
Rp 3000 sampai dengan Rp 4.000 sehari.
Setiap penambang menghasilkan 3 sampai 4 kodi batu asahan
sehari. Sekodinya berharga Rp 1.000. Pemasarannya pun tidak
susah, karena pedagang batu asahan ramai mengunjungi
Sungairimbang yang terletak 30 km dari ibukota kabupaten,
Payakumbuh, atau 150 km dari Padang. Di Padang harga batu asahan
itu mencapai Rp 200 sebuah.
Tidak mengherankan, kalau sebagian penduduk malah takut,
kalau-kalau suatu saat pemerintah melarang mereka menambang
batu. Karena itu, mereka kurang senang jika ancaman penyakit TBC
di kalangan para penambang itu diungkapkan. "Tidak usahlah
berita ini dibesar-besarkan," ujar Ilyas (50 tahun) Wali Jorong
atubauk kepada achrur lasyid dari TEMPO. Seorang pekerja
batu yang lain, Jarimin (45 tahun) khawatir, "nanti kami
dilarang bekerja bukit."
Data-data angka kematian yang tinggi di Sungairimbang bukan
tidak diketahui pejabat dinas kesehatan. Tetapi Dinas Kesehatan
Suliki menolak mengumumkan secara resmi kematian itu sebagai
disebabkan debu batu. "Belum ada penelitian yang ilmiah tentang
itu," kata dr Asri Majid dari Dinas Kesehatan Kecamatan Suliki.
Ia hanya mengakui, debu-debu batu itu memang mempercepat
timbulnya penyakit TBC.
Tapi sementara itu dinas kesehatan sudah melakukan penyuntikan
BCG secara massal. Mereka yang kena TBC diberi pengobatan
gratis. Selain itu, dianjurkan agar pekerja memakai masker
(?enutup muka). Tetapi anjuran itu menurut dr Asri, tidak
mendapat sambutan penduduk. Untuk melarang pekerjaan itu sama
sekali, ia tidak sanggup. "Tidak mungkin, sebab itu sumber
pendapatan mereka," kata dr Asri.
Pihak Pemda Kabupaten Limapuluh Kota juga sudah melihat bahaya
pekerjaan penduduk Sungairimbang. Bupati Burhanuddin Putih
pernah meninjau desa itu dan menganjurkan penduduk
bertransmigrasi lokal ke Pangkalan Koto saru, sekitar 54 km
dari Payakumbuh. "Sayangnya penduduk menolak," kata Sekwilda
Limapuluh Kota, Drs. Juaini Rais. Karena itu, Pemda saat ini
mensurvei kemungkinan pembangunan irigasi di Sungairimbang.
Dengan harapan, kalau ada irigasi penduduk akan tertarik untuk
bertani.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini