Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Debu batu Sungairimbang

Mata pencaharian utama penduduk sungairimbang, sum-bar, sebagai penambang batu ternyata menjadi pembunuh warga desa itu. banyak yang meninggal dunia karena mengidap penyakit tbc.(ds)

7 Maret 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MATAPENCAHARIAN utama penduduk Sungairimbang, ternyata menjadi pembunuh warga desa itu. Mereka yang bekerja menambang batu di desa itu, banyak yang meninggal dunia karena mengidap penyakit TBC sebagai akibat setiap hari harus menghirup debu batu. Desa Sungairimbang, Kecamatan Suliki, Kabupaten Limapuluh Kota (Sum-Bar), seluas 5 km persegi, memang bukan bumi yang subur untuk bercocok tanam. Dataran yang ada mengandung batu-batuan, atau terletak di ketinggian, sehingga sulit diairi. Untunglah tempat itu dikurniai dua buah bukit batu, bernama Pening-pening dan Air Tiris. Tinggi kedua bukit itu hanya 500 meter, tetapi merupakan harta karun yang tidak habis-habisnya bagi penduduk. Separuh dari penduduk yang berjumlah 652 jiwa, menambang batu di kedua bukit itu untuk dijadikan batu asahan. Hasil tambangan ini berguna untuk mengasah pisau, golok, sabit (arit) dan alat-alat rumah tangga lainnya. Pasarannya cukup luas: Medan, Jambi, Palembang, selain kebutuhan lokal Sum-Bar sendiri. Setiap pagi, sehabis minum kopi di warung, seperti kafilah penduduk desa itu, dewasa maupun anak-anak, beriringan mendaki kedua bukit batu itu. Sampai siang, mereka bekerja membelah batu, kemudian memotong-motongnya dalam ukuran sekitar 12 x 8 x 30 cm, berupa batu asahan kasar. Di rumah, batu-batu itu diasah lagi hingga licin dengan alat berupa batu juga. Proses terakhir ini biasanya melibatkan seluruh anggota keluarga, baik lelaki atau perempuan. Pada waktu pengasahan inilah beterbangan debu-debu batu, dan langsung terhirup semua anggota keluarga, karena mereka bekerja tanpa alat pengaman. Debu-debu itulah yang kemudian bersarang di paru-paru penduduk, menyebabkan banyak yang mati setelah menderita batuk darah, seperti diakui Husni, Wali Jorong (Dukuh) Sialang, Desa Sungairimbang -- desa ini mempunyai dua Jorong, yaitu Sialang dan Batu Bauk. Husni pernah menyaksikan, darah yang keluar dari mulut penderita mengandung pasir batu. Angka kematian di desa itu memang tinggi. Lebih dari separuh penduduk, umumnya pekerja tambang batu, meninggal di bawah usia 50 tahun. "Dari 10 kematian tahun yang lalu, 6 di antaranya terkena batuk darah," kata Husni lagi. Dan kematian semacam itu, katanya, sudah berlangsung semenjak penambangan batu dilakukan, lebih dari 100 tahun yang lalu. Takut Dilarang Bahaya maut itu, tidak menyebabkan penduduk ingin beralih pekerjaan. "Mau apa lagi, tidak ada pekerjaan lain," ujar seorang penambang batu, Amilus, 37 tahun. Kematian bagi mereka hanyalah soal takdir semata, atau seperti kata pekerja batu lainnya, Suar (40 tahun), "Mengapa Tuhan melahirkan kami di sini?" Jelasnya, penghasilan menambang batu lebih baik dibanding bertani, seperti diungkapkan Nyonya Rohani, 42 tahun. Bekerja di ladang atau di sawah di desa tetangga, hanya menghasilkan sekitar Rp 1000 sehari, sementara menambang batu bisa mencapai Rp 3000 sampai dengan Rp 4.000 sehari. Setiap penambang menghasilkan 3 sampai 4 kodi batu asahan sehari. Sekodinya berharga Rp 1.000. Pemasarannya pun tidak susah, karena pedagang batu asahan ramai mengunjungi Sungairimbang yang terletak 30 km dari ibukota kabupaten, Payakumbuh, atau 150 km dari Padang. Di Padang harga batu asahan itu mencapai Rp 200 sebuah. Tidak mengherankan, kalau sebagian penduduk malah takut, kalau-kalau suatu saat pemerintah melarang mereka menambang batu. Karena itu, mereka kurang senang jika ancaman penyakit TBC di kalangan para penambang itu diungkapkan. "Tidak usahlah berita ini dibesar-besarkan," ujar Ilyas (50 tahun) Wali Jorong atubauk kepada achrur lasyid dari TEMPO. Seorang pekerja batu yang lain, Jarimin (45 tahun) khawatir, "nanti kami dilarang bekerja bukit." Data-data angka kematian yang tinggi di Sungairimbang bukan tidak diketahui pejabat dinas kesehatan. Tetapi Dinas Kesehatan Suliki menolak mengumumkan secara resmi kematian itu sebagai disebabkan debu batu. "Belum ada penelitian yang ilmiah tentang itu," kata dr Asri Majid dari Dinas Kesehatan Kecamatan Suliki. Ia hanya mengakui, debu-debu batu itu memang mempercepat timbulnya penyakit TBC. Tapi sementara itu dinas kesehatan sudah melakukan penyuntikan BCG secara massal. Mereka yang kena TBC diberi pengobatan gratis. Selain itu, dianjurkan agar pekerja memakai masker (?enutup muka). Tetapi anjuran itu menurut dr Asri, tidak mendapat sambutan penduduk. Untuk melarang pekerjaan itu sama sekali, ia tidak sanggup. "Tidak mungkin, sebab itu sumber pendapatan mereka," kata dr Asri. Pihak Pemda Kabupaten Limapuluh Kota juga sudah melihat bahaya pekerjaan penduduk Sungairimbang. Bupati Burhanuddin Putih pernah meninjau desa itu dan menganjurkan penduduk bertransmigrasi lokal ke Pangkalan Koto saru, sekitar 54 km dari Payakumbuh. "Sayangnya penduduk menolak," kata Sekwilda Limapuluh Kota, Drs. Juaini Rais. Karena itu, Pemda saat ini mensurvei kemungkinan pembangunan irigasi di Sungairimbang. Dengan harapan, kalau ada irigasi penduduk akan tertarik untuk bertani.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus