THE SOSIOLOGY OF CORRUPTION
Syed Hussein Alatas, The Times Books International, Singapore,
1980, 87 hal.
BUKU ini dimaksud untuk merintis upaya mnggali hakikat, fungsi,
sebab dan penanggulangan korupsi -- dilihat dari kacamata
sosiologis. Kebutuhan untuk menulisnya muncul dari kenyataan
bahwa peralatan konvensional yang dimiliki sosiologi, seperti
teknik wawancara dan seterusnya, tidak dapat digunakan secara
memuaskan untuk melakukan kajian tuntas atas fenomena yang
demikian kompleks.
Korupsi menyangkut banyak bidang kehidupan yang lain, dari
budaya masyarakat hingga hukum. Diperlukan sebuah kerangka yang
dapat menampung sebuah pengamatan tak berkeputusan dalam jarak
waktu panjang -- guna memungkinkan pengujian atas beberapa
generalisasi mengenai hakikat dan fungsi korupsi. Dikonstatir
kenyataan bahwa antara kajian masa lalu dan dewasa ini, tidak
ada persambungan dalam pengembangan teori dan analisanya (hal.
10).
Kenyataan itu lapat dilihat antara lain dalam lan6kanya
klasifikasi jenis korupsi dan tingkatnya. Untuk menolong
kekurangan ini, diusulkan klasifikasi jenis korupsi pada tiga
kelompok. Paksaan mengeluarkan uang (exhortation), sogokan, dan
nepotisme -- memasang keluarga atau teman pada posisi
pemerintahan tanpa memenuhi persyaratan untuk itu.
Sebuah benang halus yang menghubungkan ketiga jenis itu adalah
ditundukkannya kepentingan umum bagi tujuan pribadi melalui
pelanggaran norma. Didampingi penyelewengan, pengelabuan dan
sikap tidak peduli yang nyata akan konsekuensi yang harus
dipikul masyarakat akibat kerja tersebut.
Korupsi harus dipisahkan dari tingkah laku krirninal maupun
ketidakmampuan administratif atau salah urus untuk memungkinkan
penajaman pandangan tentang karakteristiknya sendiri. Dalam hal.
13-14, di'daftar' sejumlah karakteristik korupsi yang diakui
tidak mencakup semua yang mungkin ada.
Di antara belasan karakteristik, yang menarik adalah hal
berikut. Korupsi melibatkan tindakan serba rahasia, setidaknya
dalam menyembunyikan motif tindakan itu sendiri. Korupsi
cenderung mencari pembenaran dari sudut hukum. Korupsi merupakan
pengambilan fungsi ganda yang saling bertentangan pada diri
pelakunya. Dan, koruptor adalah orang yang ingin mengambil
keputusan difinitif dalam kerjanya dan mampu mempengaruhi
pengambilan keputusan. Keseluruhan karakteristik itu dapat
digambarkan sebagai 'upaya bersungguh-sungguh untuk menundukkan
kepentingan umum di bawah kepentingan khusus'.
'Atas' & 'Bawah'
Seterusnya Alatas mengolah anggapan sementara pihak yang
melakukan kajian tentang korupsi, seperti korupsi adalah
kelanjutan tradisi lama untuk memberi hadiah dan penghormatan
kepada pejabat. Korupsi dapat melancarkan arus kerja yang harus
dilakukan (yang tadinya terancam kemacetan, baik karena
ketidaksediaan pejabat untuk melakukannya maupun karena
banyaknya aturan saling bertentangan, yang dapat memacetkan
urusan).
Dua argumentasi utama diajukan Alatas untuk menolak. Anggapan
bahwa korupsi adalah penerusan tradisi hadiah terbantah dengan
sendirinya kalau diingat, bahwa hadiah itu diberikan secara
terbuka -- tidak untuk tujuan tertentu dan diberikan dalam
kerangka moral yang justru menentang korupsi. Ini didasarkan
pada konsep pengayoman oleh yang 'atas' terhadap yang 'bawah',
di mana tidak ada hambatan atas urusan yang 'bawah' itu.
Anggapan bahwa korupsi dapat membantu melancarkan 'kemacetan
administratif' dibantah dengan argumentasi kuat. Pertama akan
akibat moralnya dalam jangka panjang. Kedua, adanya beban
tersembunyi yang sangat besar yang harus ditanggung konsumen
dari tindakan itu sendiri. Ini sudah tentu diakibatkan oleh
semakin kacaunya standar perilaku administratif, yang dalam
keseluruhannya akan menimbulkan beban sangat besar itu.
Pembahasan kemudian dilanjutkan dengan mengkaji cukup terperinci
ketiga wilayah persoalan yang berupa fungsi korupsi, sebab dan
cara menanggulanginya. Yang menarik pembahasan tentang sebab
korupsi. Sepuluh sebab, dari yang makro (melemahnya nilai-nilai
agama dan etis) hingga yang mikro (rendahnya tingkat pendidikan
pejabat pemerintahan), dan dari yang sulit dirumuskan
hubungannya dengan korupsi (lemahnya kepemimpinan negara di
tempat yang menentukan) hingga yang paling gamblang (sedikitnya
tindakan pencegahan korupsi).
Tidak Mengecewakan
Secara keseluruhan, sebab korupsi tidak dapat dikembalikan
kepada satu hal saja, melainkan kepada totalitas kehidupan yang
sedang dijalani masyarakat. Dikutip ucapan orang bahwa 'korupsi
dalam sebuah birokrasi adalah pencerminan keseluruhan
masyarakat' (hal. 48).
Menarik adalah pengamatan Alatas akan salahnya anggapan bahwa
agama-agama Asia tidak menumbuhkan sikap mencari prestasi. Ia
menunjukkan betapa kesalahan seperti itu telah menuntun kepada
anggapan, bahwa korupsi adalah akibat tradisi budaya agama-agama
tersebut yang tidak mementingkan achievement (hal. 68).
Walhasil, sebuah karya pendek yang tidak mengecewakan harapan
sewaktu melihatnya pertama kali. Buku kecil (atau justru esei
panjang?) ini, sebagaimana dikatakan penulisnya, adalah
monografi yang mencoba memasuki sebuah daerah baru untuk
kepentingan pengkajian lebih mendalam di kemudian hari.
Ada sedikit kelemahan di sana-sini. Misalnya, kecenderungan
Alatas untuk melupakan penjelasan kontekstual atas kutipan yang
diambilnya. Tetapi secara keseluruhan, monografi yang tidak
sampai seratus halaman ini sangat berharga untuk bahan renungan
lebih lanjut. Sayang sekali kalau dibiarkan terlewat kesempatan
membacanya.
Abdurrachman Wahid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini