Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Tokoh Inspiratif: Alfira Oktaviani Membangun Semilir Ecoprint Usung Konsep Ramah Lingkungan

Alfira Oktaviani berhasil memberdayakan produk lokal dari Bengkulu menggunakan ecoprint sampai mendunia. Begini kendala dan upayanya hingga sukses.

1 Juli 2024 | 08.01 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Proses pembuatan ecoprint dengan teknik kukusan yang dilakukan Alfira Oktaviani, di Ngaglik Sleman, Yogyakarta pada Rabu, 19 Juni 2024. TEMPO/Rachel Farahdina Rega

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Kulit kayu lantung membawa Alfira Oktaviani menjadi pemenang SATU Indonesia Awards 2022. Perempuan kelahiran 31 Oktober 1992 di Yogyakarta ini merupakan pendiri dan penggagas Semilir Ecoprint yang mengusung konsep sustainable (berkelanjutan) memperhatikan dampak lingkungan dan kesejahteraan ekonomi serta sosial pihak-pihak di dalamnya. Produk ini memiliki potensi unggulan asli Indonesia yang berdaya saing tinggi memasuki pasar global. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Semilir Ecoprint adalah murni hasil gagasan Alfira karena ketertarikannya pada kreativitas kriya. Dengan latar belakang pendidikannya, ia telah mempelajari cara menjalankan usaha. Selain itu, ia mengulik bahwa fast fesyen memberi kerusakan untuk manusia dan lingkungan. Di sisi lain, ia juga melihat kompetitor sustainable fesyen masih jarang sehingga menjadi peluang untuk menghadirkan produk ramah lingkungan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kemudian pada 2017, ia mengikuti pembelajaran ecoprint melalui workshop kriya. Barulah, pada 2018, ia memberanikan diri membuka Semilir Ecoprint. 

Produk Semilir memiliki motif tegas dan warna khas earthy-pastel. Selain itu, produk Semilir juga memiliki keunggulan memadukan warisan budaya Indonesia, terutama kulit kayu lantung Bengkulu. Pemilihan inovasi ini berawal dari Alfira yang baru mengetahui kulit kayu lantung berasal dari tanah kelahiran ayahnya.  

Saat mudik ke Bengkulu, Alfira Oktaviani selalu membawa oleh-oleh kulit kayu ini. Hasil pencariannya, ia menemukan bahwa kulit kayu lantung telah ditetapkan Kemendikbud sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia pada tahun 2015 yang berasal dari Provinsi Bengkulu. 

Kulit kayu lantung bagi masyarakat Bengkulu merupakan bagian dari perjalanan sejarah, karena benda ini keberadaannya lahir dari hasil budaya masyarakat Bengkulu pada situasi dan kondisi dalam masa perjuangan melawan penjajah. Seiring berkembangnya zaman, kulit kayu lantung masih digunakan dalam acara adat Tabot dan dijadikan buah tangan khas Bengkulu dalam bentuk kerajinan antara lain topi, tas, bahan interior, dan cenderamata. Namun bentuk dan motif masih sangat sederhana, polos dan masih seperti bentuk aslinya.

Pada awal program ini, sekitar 2019 hingga 2020, Alfira menjalani usaha ini dengan biaya mandiri, eksperimen sendiri secara otodidak yang ia temukan dari berbagai kumpulan jurnal penelitian yang ia realisasikan menjadi sebuah produk. Setelah melakukan tes pasar, ternyata banyak respon yang positif. Banyak orang yang ingin lebih mengenal ecoprint kulit kayu latung. Kemudian Alfira mengikuti beberapa pameran di kota besar dan mengenalkan ecoprint kulit kayu latung ini.

Produk Semilir ecoprint dengan teknik kukusan karya Alfira Oktaviani. Foto: Instagram/semilir_ecoprint

Alfira menceritakan, ia mendapatkan beberapa kendala dalam merealisasikan produk ini, antara lain jurnal yang terbatas dan kurang tereksposnya kulit kayu latung membuat Alfira kesulitan dalam menceritakan asal usul kulit kayu latung agar dapat tersampaikan dengan baik kepada konsumen.

Alfira sangat ingin tahu asal usul kulit kayu lantung dan proses pembuatannya dari awal pembuatan (siapa, bagaimana,dimana) hingga si kulit kayu lantung ini ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda Indonesia pada tahun 2015. Dokumentasi ini menurut Alfira sangatlah penting, karena storytelling produk yang dikemas secara detail dan mendalam sangat membantu agar produknya diterima oleh masyarakat.

Keinginannya untuk mengembangkan produk fesyen ramah lingkungan itu tentu membutuhkan modal yang tak sedikit. Akhirnya ia mengajukan program ini pada fasilitasi bidang kebudayaan 2020 dari Kemdikbud RI dan lolos mendapatkan fasilitasi sebesar Rp106.758.000. Alfira pun mendapatkan pendampingan wirausaha dari Kemendag RI selama 6 bulan, dan hasil pelatihan tersebut benar-benar ia terapkan kedalam bisnis ecoprint ini.

Lalu, ketika membuat produk ecoprint pertama, sang ayah menyarankan untuk mengombinasikannya dengan kulit kayu lantung. Ia juga melihat, semula kulit kayu polos coklat ini hanya dikasih cat warna oleh para perajin di Bengkulu yang kurang menarik minat pembeli. Setelah 4 tahun mencoba dan gagal, pada 2022, akhirnya Semilir menemukan formula yang sesuai untuk menjadikan kulit kayu lantung sebagai motif ecoprint

“Keuntungan sebagai UMKM, kita bisa menggaet Kementerian Perindustrian, lalu diarahkan ke Balai Besar Kerajinan dan Batik (BBKB). Kita pelaku usaha bisa cek laboratorium produk dan material sehingga menemukan formula sesuai. Barulah, pada 2022 berani mengeluarkan produk kulit kayu lantung disertai sertifikat,” ujar Alfira kepada Tempo.co, pada 19 Juni 2024, di Donoharjo, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta.

Kulit kayu lantung berasal dari Desa Papahan, Kaur, Bengkulu Selatan yang memiliki penduduk bermata pencaharian sebagai petani budidaya kulit ini. Selain itu, di desa ini, Alfira bisa menunjukkan ke konsumen keadaan produksi secara langsung dengan membeli produk dari para petani. Langkah ini juga membawa pesan untuk menyejahterakan ekonomi dan sosial para petani karena tidak membeli melalui tengkulak.

Sampai sekarang, Alfira menciptakan beragam produk dalam Semilir, seperti natural dye menggunakan pewarnaan alam dan ecoprint. Ia juga mengadakan workshop yang didatangi puluhan orang dari dalam dan luar Yogyakarta untuk mendapatkan edukasi ecoprint

“Saya juga merangkul beberapa tetangga yang tidak memiliki kesibukan untuk bergabung dengan Semilir. Saat kita ada produksi, orang yang workshop bisa melihat dan menerapkan proses pembuatan ecoprint secara rumahan,” kata alumnus jurusan Farmasi dan Profesi Apoteker Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta pada 2010-2016.

Selama menjalankan usaha, tokoh inspiratif ini pun menghadapi tantangan ketika pandemi Covid-19. Saat itu, para crafter (perajin) terhambat mengadakan pameran dan penjualan secara langsung untuk mengedukasi ecoprint. Namun, tantangan ini bisa dilalui dengan berkolaborasi bersama pihak lain. Di sisi lain, ia juga merasakan kebahagiaan selama menjalankan Semilir karena dapat memperluas relasi dan bertemu crafter lain yang menambah pelajaran baru.

Bersama Semilir Ecoprint, Alfira banyak meraih penghargaan, yaitu Pemenang Innovating Jogja 2020, Finalis Creative Product WH50 UNESCO Jakarta dan KitamudaKreatif 2022, dan pemenang SATU Indonesia Awards 2022. Dengan penghargaan ini, ia berharap dapat memberikan hasil penemuan yang positif ke diri sendiri dan Semilir. Bahkan, ia berharap dapat memberdayakan orang-orang sekitar, termasuk penyandang disabilitas. Ia juga akan konsisten mengembangkan sustainable fesyen untuk mengurangi kerusakan lingkungan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus