AMANDINE Lory, 5 tahun, bagaikan putri salju. Anak tunggal dari keluarga Serge Lory ini tidur berkepanjangan. Bocah cilik yang periang ini, sejak Januari lalu, kehilangan kesadaran. Matanya redup, separuh tertutup. Ia tak bisa bermain dan tertawa. Tanpa menangis, bahkan ia sudah tak bisa lagi bergerak sama sekali. Amandine, yang menetap bersama orangtuanya di Dusun Saint Aubin Des Coudrais di wilayah La Ferte Bernard, Sarthe, Prancis, jadi bahan pembicaraan masyarakat di seluruh negeri. Dokter Landais, yang pernah membantu kelahirannya, menyebut dia menderita tumor otak astrocytome yang tak tersembuhkan. Tumor ini bercokol di sel sarafnya, sejak September 1989. Akar-akar tumor tadi menyerang lapisan pelindung otak tempat terdapat fungsi vital. Misalnya, perintah pernapasan, perintah gerak mata, muka, anggota tubuh, penglihatan, dan pendengaran. Pembedahan sekecil apa pun dilarang di bagian ini. Lory dan istrinya, Veronique, sudah menemui hampir semua ahli di Prancis untuk menyembuhkan putri tunggalnya itu. Profesor Poulot di Kota Le Mans dihubungi. Dari pemeriksaan scanner, neurolog ini tak bisa berbuat banyak. Lalu ia menganjurkan dibawa saja ke Prof. Guy, ahli saraf terbaik di daratan Eropa yang praktek di Anger. Alat MRI (Magnetic Resonance Imaging), rontgen, dan biopsi -- pengambilan dan pemeriksaan mikroskopis dari sepotong kecil jaringan hidup -- dipakai mendeteksi anak ini. Dari laporan diagnosa para ahli yang memeriksa Amandine yang nihil, Landais terpaksa menyampaikan kabar buruk pada Lory. "Tidak saya. Tidak juga dokter muda berbakat di provinsi ini. Bahkan profesor kawakan di Paris dan New York tak mampu mengobati penyakit ini," ujarnya. Akhirnya yang ditempuh adalah membawa Amandine ke Indonesia. "Kalau perlu kami jual rumah," kata Lory. Mengapa Indonesia? Dalam keadaan bingung, Oktober lalu, ia menerima telepon dari Joel Lecrerc. Temannya di La Plaine Sur Mer ini mengisahkan pengalaman serupa yang diidap anaknya. Selama lima minggu anak Lecrerc itu di Yogya. "Di sana ia diobati seorang dukun dengan tangan telanjang. Kini ia bisa berjalan, berbicara, dan sekolah," cerita Lecrerc di telepon. Tanpa pikir panjang, Lory memutuskan berangkat ke Indonesia. Niatnya ditanggapi Wali Kota Saint Aubin dan La Ferte. Bahkan mereka membentuk panitia dan menghimpun dana untuk Amandine. Bekerja sama dengan koran lokal Quest France dan La Maine Libre, dibukalah rubrik dompet pembaca yang disertai foto Amandine yang mengenaskan. Para kepala sekolah mengerahkan anak didiknya mencari derma di jalanan. Dewan karyawan di Souriau dan Socopa, tempat pasangan Lory bekerja, menyerukan solidaritas para buruh. Lions Club dan veteran perang ikut menyumbang. Juga bekas pilot Air France menawarkan tiket haknya kepada keluarga Lory. Acara malam dana pun dilakukan di mana-mana. "Kami bukan mengadakan publisitas atau cari duit dari penyakit Amandine. Tujuan kami ke Indonesia untuk Amandine," kata Lory. Dalam waktu singkat terkumpul 100.000 franc, atau Rp 37 juta. Awal November lalu, mereka terbang ke Indonesia, dan menetap dua bulan di Yogyakarta. Amandine ditangani tiga paranormal di tiga tempat berbeda. Supadi, alias Pak Manyul, di Kota Baru, Yogya, mengobatinya dengan tongkat sepanjang 30 cm. Syahdan, tugas tongkat itu mentransfer kekuatan supranatural pada si putri. Ini sekaligus mendeteksi sarang penyakit sehingga mudah dipijat. Pasien juga diberi jamu. Pak Manyul juga mampu melakukan pengobatan jarak jauh melalui foto si sakit. Selesai dengan Pak Manyul, Amandine dibawa ke Mbah Sirat di Gumuk, Muntilan, Magelang. Ia hanya dipijat seraya dimantrai. Tubuhnya dibaringkan di balai-balai beralaskan tikar kuning. Sesekali matanya terbuka, dan liurnya terkadang keluar sedikit. "Agak mendingan. Biasanya ia banyak mengeluarkan air liur," kata ibunya, setelah dua kali Amandine dijamah Si Embah. Kakinya sudah bisa digerak-gerakkan. Selera makannya agak meningkat. Selama di Muntilan, ia menghabiskan nasi tim campur wortel, tomat, dan hati ayam. Pernah ia menghabiskan sop jagung dan sarang burung meski agak payah. Sebelum kemari ia makan roti lembut karena bibirnya sulit bergerak. Dari Muntilan, Amandine masih harus ke Kertosono, Jawa Timur. Di sana ada Syamsudin. Paranormal yang melakukan operasi dengan kekuatan supranatural serta alat seadanya, misalnya pisau dapur. Dalam pertemuan kedua, awal pekan ini, bagian belakang kepala si bocah disobek sedikit. Bungkahan darah hitam dalam kepalanya disedot. Sedangkan pada pertemuan pertama, bagian kaki dan tangannya yang dioperasi karena nyaris lumpuh. Proses itu tidak menimbulkan rasa sakit. Luka bekas sobekan segera sembuh dengan elusan tangan. Yang tinggal cuma bekas goresan. Lalu Amandine minum jamu yang diramu sendiri oleh Syamsudin -- dari daun kemboja, jahe, kencur, akar benalu, dan burung watuk bawang yang digoreng kering. Bahan itu dicampur dan dihaluskan seperti membuat kopi. "Penyedotan bungkahan darah hitam dari kepala Amandine baru sekitar 60 persen. Ia harus kembali beberapa kali lagi," kata Syamsudin. Penyembuhan terhadap Amandine masih terus dilakukan oleh trio tersebut. Serge dan Veronique Lory kini mulai agak lega. Amandine malah sudah bisa duduk beberapa menit. Matanya pun mulai bisa mengikuti gerakan tangan ayahnya. "Bukan kami tak percaya pada dunia kedokteran, tapi kami ingin ia sembuh dengan cara apa pun," ujar Serge Lory kepada Siti Nurbaiti dari TEMPO. Rudy Novrianto dan Sapta Adiguna
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini