Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Bila marga siahaan protes

Kantor polisi sektor selektif balige,tapanuli utara, didemonstrasi massa. sebagian besar bermarga si ahaan. berawal dari kematian seorang tahanan, soni siahaan. diragukan mati karena bunuh diri di tahanan.

24 November 1990 | 00.00 WIB

Bila marga siahaan protes
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
SUDAH tak terhitung tahanan yang mati di kantor polisi. Namun, yang tak biasa, akibat kematian tahanan, Kantor Polisi Sektor Selektif (Polsektif) Balige, Tapanuli Utara, Sumatera Utara, Selasa malam pekan lalu, didemonstrasi ribuan orang -- sebagian besar bermarga Siahaan. Pasalnya, kematian seorang tahanan di situ. Toni Siahaan, 25 tahun, diragukan massa akibat bunuh-diri. "Kalau bunuh diri, kenapa lidahnya tidak terjulur," kata abang kandung Toni, Buliher Siahaan. Kecurigaan Buliher tidak hanya itu. Ia mencurigai lecet pada pangkal leher korban. "Kalau gantung diri, seharusnya bagian atas leherlah yang lecet," katanya. Di samping itu, ada biram-biram di sekujur tubuh mayat. Apalagi, kata Buliher, adik bungsunya itu ditahan tanpa surat perintah penahanan. Protes ini kemudian menjalar kepada famili mereka semarga di Antaran Loloan Somba Debata (Alsod) perkumpulan marga Siahaan, di Balige. Mereka berkeras mayat Toni diotopsi, dan ini dilakukan di Rumah Sakit HKBP Balige. Namun, begitu otopsi selesai, mereka protes lagi karena visum dokter membenarkan korban bunuh diri. "Tidak sah, otopsi di sini," kata Ketua Alsod, Guru Pitara Siahaan. Mereka curiga polisi main mata dengan rumah sakit, karena itu minta mayat diotopsi ulang di RSU Pematangsiantar. Kapolres Tapanuli Utara, Letnan Kolonel Parlindungan Sinaga, menolak, dengan alasan tidak mungkin mengeluarkan surat permintaan otopsi dua kali. Sampai pukul 22.30, kesepakatan belum juga diperoleh. Sementara itu, ribuan famili korban, yang menunggu mayat, mulai gelisah. Mereka berbondong-bondong hilir-mudik antara RS HKBP dan kantor Polsek. Situasi semakin runyam karena sebagian besar massa berdesak-desak di depan kantor polisi itu. Dalam desak-desakan itu, seorang wanita menjerit histeris. "Mana adikku? Kenapa kalian bunuh dia?" pekik perempuan itu. Sementara massa yang lain berteriak-teriak, dan ada pula yang menyanyikan lagu-lagu gereja. Polisi nampak kebingungan. Barulah pukul 1 dini hari, keadaan reda. Pemuka masyarakat di sana berhasil membujuk massa yang semakin marah dan bermaksud merusak Polsektif itu. Mayat Toni pun mereka bawa pulang ke kampung Toni, Lumban Binanga, 4 km dari Balige. Soal kematian Toni? "Jelas gantung diri. Sudah saya periksa anak buah saya," kata Parlindungan. Kesimpulannya itu, katanya, sesuai dengan visum dokter dan hasil pemeriksaan provos Polda Sumatera Utara. Sejam sebelum Toni mengakhiri hidupnya, cerita Parlindungan, korban sudah mengeluh kepada pelayan makanan tahanan, karena dimarahi abangnya. Kematian Toni diketahui ketika kepala unit reserse Polsek itu, Sersan Satu D. Nainggolan, meminta komandan jaga, Sersan Dua Hilman, memanggil Toni. Ternyata, Hilman menemukan tubuh Toni tergantung di kamar mandi, dengan kain sarung. Karena korban masih bernapas, polisi memanggil kepala Puskesmas Balige. Sayang, Toni tak tertolong akibat penyumbatan pernapasan. "Jadi, kematiannya berlangsung cepat sehingga lidahnya tak terjulur," kata Parlindungan. Toni, menurut Parlindungan, ditahan karena diduga mendalangi pencurian satu peti cangkul -- 50 buah senilai Rp 350.000 di sebuah toko di Balige. Ia diduga menyuruh David Napitupulu, 25 tahun, memaling cangkul itu. Pada waktu penangkapan, Jumat, 9 November lalu, barang bukti cangkul memang tidak ditemukan. Namun, polisi menyita sebuah kereta sorong yang digunakan untuk mengangkut barang curian itu. "Jadi, penahanannya memenuhi unsur penahanan dan sesuai dengan prosedur," kata Parlindungan. Sungguhpun demikian, pihak keluarga Toni masih penasaran. "Kami tetap curiga kematian Toni tidak wajar," kata Buliher. Karena itulah, hampir seluruh turunan marga Siahaan berkumpul di depan Polsektif tersebut. "Sekarang kami sedang mempertimbangkan untuk meneruskan soal ini ke pengadilan," kata Buliher. Mukhlizardy Mukhtar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus