SEKITAR 50 taruna Akademi Maritim Indonesia (AMI) Jakarta, Jumat pagi dua pekan lalu, dengan wajah garang berbondong-bondong mendatangi STM PGRI Bogor. Bak mengepung musuh, mereka segera memblokir semua sudut pintu keluar dan menjaga saluran telepon. Serangan mendadak itu tentu saja mengagetkan siswa STM yang sedang mengikuti pelajaran pagi itu. Apalagi setiap kelas dimasuki dua taruna AMI. "Ayo, berdiri dan diam," hardik mereka. Siswa STM yang nampak bertampang "sangar" dengan brutal ditarik kerah bajunya lalu diseret ke lapangan. Di situ siswa tersebut mereka eksekusi, digebuki ramai-ramai. Guru-guru STM yang sedang mengajar pun tak mampu berbuat banyak. Namun, tak semua kelas bisa diperiksa taruna tersebut. Ada yang hanya bisa saling dorong dan tarik pintu dengan guru yang sedang mengajar. "Daripada menyerahkan siswa saya, lebih baik saya dibunuh," kata seorang guru menantang. Para taruna AMI itu sebenarnya mencari siswa STM yang telah menganiaya teman mereka, Firmansyah. Salah seorang yang mereka curigai sebagai pelaku adalah Sulaiman. Beberapa taruna langsung menggelandang siswa kelas 2 itu. Mereka memberondong anak itu dengan pukulan dan menginjak-injak tubuh korban. Anak pertama dari dua bersaudara itu lalu dilempar sehingga membentur meja. "Mata saya berkunang-kunang dan pelipis membiru," kata Sulaiman, sambil menahan perutnya yang masih sakit. Bersama Sulaiman ada enam siswa STM PGRI yang diseret taruna AMI. Keenam siswa itu mereka pukuli di lapangan. Sebagian besar pelipis korban berdarah dan lebam-lebam. Dalam kerusuhan itu memang tak terjadi perusakan. Mereka hanya menendang sebuah motor dan membanting helm. "Jadi, tak ada peralatan sekolah yang rusak," kata Kepala STM PGRI, Raan Sumarna. Semula kedatangan para taruna yang sebagian berseragam sekolah lengkap dengan atributnya itu dikira guru-guru STM akan mempromosikan sekolahnya. Belakangan seorang guru curiga, buru-buru lari ke ruang jaga untuk menelepon polisi. Namun, ia terhenti karena seorang taruna AMI menghadangnya. Seorang guru lain, Hamid, ketika hendak memasuki halaman sekolah tiba-tiba dicegat taruna AMI. "Bapak guru STM, ya?" tanya taruna itu seperti ditirukan Hamid. Karena curiga, Hamid mengaku sebagai tamu. Dia lalu putar haluan menuju ke pos polisi militer. "Saya mengira mereka Akabri. Karena penampilan mereka mirip," katanya. Berkat laporan Hamid itu, polisi militer segera mengontak Polresta Bogor. Satu peleton polisi dengan mobil meraung-raung meluncur ke kawasan STM PGRI. Suasana eksekusi langsung kacau. Taruna AMI segera berhamburan keluar. Menurut Kapolwil Bogor Kolonel Sukardi, hari itu polisi meringkus 33 mahasiswa AMI -- sisanya kabur. "Untungnya, mereka tak melawan," kata Sukardi. Sejak itu mereka meringkuk di dalam tahanan Polresta Bogor. Karena ruang tahanan tak mencukupi, sebagian mahasiswa itu disebar di beberapa sel tahanan Polsek di Bogor. Mereka selama disel, kata sumber polisi, dipisahkan dari para tahanan kriminal -- kendati tindakan mereka kriminal. Penyerbuan taruna AMI itu berlatar belakang keributan sehari sebelumnya dalam acara pertandingan sepak bola antara SMA PGRI I dan STM PGRI Bogor. Ketika itu SMA PGRI kalah. Firmansyah, taruna AMI, yang juga alumnus SMA PGRI, merasa tak senang atas ulah siswa STM PGRI, Sulaiman, yang memancing keributan. "Sudah tak usah ribut, toh pertandingan sudah selesai," kata Firman sambil memelototi Sulaiman. Teguran itu membuat darah Sulaiman naik. Mereka pun sempat adu mulut, tapi dapat didamaikan dua teman Firman. Lalu Sulaiman beserta 30 temannya meluncur pulang naik truk terbuka. Sedangkan Firmansyah bersama dua temannya pulang jalan kaki. Ketika rombongan Sulaiman melintas di dekat Firman, mereka ramai-ramai melemparkan batu. Ulah pelajar STM PGRI itu membuat Firman dan dua temannya meradang. Dengan angkutan kota mereka nekat mencegat rombongan Sulaiman. Di Jalan Merdeka, mereka bertemu, dan keributan mulai pecah. Karena tak imbang, tiga taruna AMI itu babak belur. Mereka selamat karena seorang anggota ABRI kebetulan melintas di tempat itu dan berhasil mendinginkan suasana. Sulaiman beserta rombongannya langsung menghilang. Dari rumah Firman di Bogor, ketiga taruna AMI itu mengirim surat untuk teman-temannya di Jakarta. "Saya dikeroyok siswa STM. Saya minta dikirim bantuan untuk menyerang STM," begitu antara lain bunyi surat itu. Malam itu juga, rombongan AMI Jakarta dengan kereta api Jabotabek meluncur ke Bogor. "Saya tak mengira kalau yang datang begitu banyak," kata Firman. Di rumah Firman itulah mereka merancang penyerbuan. Besok paginya "perang" pun pecah. Para taruna yang menyerang itu, kata seorang guru, terlihat membawa sangkur dan pistol. "Mereka sempat menodongkan senjata," kata guru piket. Ketika dilakukan penggeledahan, polisi tak menemukan senjata-senjata itu. Firmansyah tampak menyesali perbuatannya. "Saya benar-benar menyesal. Waktu itu saya sedang sakit hati. Kami semua emosional," katanya lemah. Sedangkan Sulaiman akibat perkelahian itu kena skors dari sekolah selama dua minggu. Jumat siang pekan lalu mereka untuk sementara dilepas. Menurut Sukardi, penangguhan penahanan itu merupakan kebijaksanaannya karena Senin pekan ini para mahasiswa AMI harus menjalani ujian. "Namun, kasus ini terus diproses," katanya. Tindakan Sukardi itu sejalan dengan sikap Menhankam, untuk tak memberi ampun bagi pelajar yang melanggar hukum. Sebuah surat edaran Menhankam, yang ditandatangani Sekjen Hankam Letnan Jenderal I.B. Sujana, baru-baru ini menegaskan bahwa pelajar dan mahasiswa yang melanggar hukum perlu ditindak tegas. Pemberian maaf, apalagi dengan mudah, terhadap mereka menurut Hankam hanya akan menjadikan pelanggaran itu semakin meningkat dan menghebat di masa datang. Gatot Trianto dan Achmad Taufik
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini