Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Vasektomi Massal Membawa Korban

Seorang peserta program vasektomi massal lumpuh dan badannya mengerut. Betulkah ini karena vasektomi?

6 Mei 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


ENGKOS tergolek kehilangan daya. Kehidupan pria 53 tahun itu tambah suram sejak tujuh tahun lalu. Kedua kakinya lumpuh. Tubuhnya pelahan mengerut dari 160 sentimeter menjadi kurang dari satu meter. Bobot badannya tinggal 30 kilogram. Engkos pun tak lagi sanggup mengayuh becak untuk mencari nafkah seperti yang dulu ia lakukan.

Mimpi buruk warga Kampung Rawacina di Desa Nagrak, Cianjur, Jawa Barat, itu berawal pada 1992. Suatu sore, Engkos memarkir becaknya di halaman Kantor Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Kabupaten Cianjur. Kemudian, seorang petugas BKKBN meminta Engkos mengikuti program keluarga berencana (KB) untuk bapak-bapak. "Gratis. Saya malah diberi uang Rp 5.000," kata Engkos.

Esok harinya, Engkos mendatangi Kantor BKKBN. Bapak dua anak ini menduga akan disuntik kontrasepsi seperti yang dialami istrinya. Engkos tak mengira bahwa ternyata ia menjadi bagian dari program vasektomi massal. Tanpa pemahaman cukup, Engkos pun menjalani vasektomi. Menurut penuturan Engkos, Suranto, dokter yang waktu itu bertugas, tidak memberi penjelasan komplet mengenai manfaat dan risiko vasektomi—tindakan menyumbat saluran sperma (vas deferens).

Usai vasektomi, Engkos merasa hidupnya mulai berubah. Penisnya terasa ngilu setiap kali berhubungan seks dengan istri. Perubahan ini memang tak lama dirasakannya karena kondisinya segera pulih kembali. Namun, dua tahun kemudian, punggung Engkos sering sakit luar biasa. Engkos merasa penisnya pedih dan seakan hendak patah saat buang air. Kakinya pun lumpuh dan punggungnya terus mengerut.

Sebetulnya, Engkos sempat mendatangi BKKBN Cianjur. Lembaga ini mengongkosi Engkos berobat dan rawat inap di Rumah Sakit Umum Cianjur. Sesuai dengan diagnosis dokter, Engkos dinyatakan mengalami pengeroposan tulang punggung dengan sebab yang belum terungkap. Diagnosis ini dikuatkan oleh tim dokter Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung.

Akan tetapi, keluarga Engkos yakin bahwa pengeroposan tulang bersumber dari kekeliruan proses vasektomi. Berdasar keyakinan ini, dua pekan lalu keluarga Engkos mengadu ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Cianjur. "Kami akan mengadvokasi kasus ini," kata Oon Suhendra, Direktur LBH Cianjur.

Oon mengakui, dugaan malpraktek belum tentu terbukti di pengadilan. Namun, sebagai peserta vasektomi massal, Engkos layak mendapat kompensasi dari BKKBN atas hilangnya kesempatan hidup normal selama tujuh tahun. Apalagi Engkos divasektomi tanpa bekal pemahaman (informed consent) yang cukup.

Namun, dr. Suranto, pelaksana vasektomi yang kini bertugas di Rumah Sakit Umum Cianjur, membantah ada kekeliruan proses operasi. Lagi pula, pengeroposan tulang muncul dua tahun setelah operasi. "Kalau betul karena vasektomi, kelumpuhan pasti terjadi segera setelah operasi," katanya.

Hal senada disuarakan Anita Gunawan. Spesialis andrologi dari Rumah Sakit Pusat Pertamina ini menegaskan, operasi vasektomi sangat aman. Pria tetap bisa memproduksi cairan mani—tanpa sperma—dalam volume normal setelah vasektomi. Sel sperma yang tetap menghuni tubuh akan berangsur menua, dihancurkan liver, dan akhirnya keluar bersama urine dan feses. Walhasil, keseimbangan hormon tubuh tidak terganggu. Selain itu, bagian vas deferens yang disumbat tidak dilengkapi jaringan saraf. Jadi, "Sayatan pisau bedah vasektomi tidak mengganggu saraf hingga berakibat kelumpuhan," katanya.

Anita mengakui, vasektomi massal yang digelar BKKBN di awal 1990-an memang punya kelemahan. Pendekatan personal tak mungkin dilakukan dokter, yang harus mengoperasi puluhan pasien dalam beberapa jam. Padahal, kesiapan mental pasien sangatlah penting. Vasektomi, seperti juga tubektomi pada perempuan, khusus diberikan kepada pasangan yang siap tidak punya anak lagi. Memang, saluran sperma atau telur yang tersumbat bisa kembali dibuka (rekanalisasi), tapi proses ini rumit, mahal, dan belum tentu sukses memulihkan kesuburan.

Seorang pejabat BKKBN pusat membenarkan pernyataan Anita. Menurut pejabat ini, kurangnya pendekatan personal adalah keluhan utama program vasektomi massal. Komunikasi yang terbatas, misalnya, membuat pasien tidak paham cara menjaga kebersihan pascaoperasi. "Ada bapak-bapak yang malah mandi di kali yang kotor, sehingga terjadi infeksi," kata pejabat yang tak mau disebut jati dirinya ini.

Kurangnya pendekatan personal agaknya juga diakui BKKBN, yang pada 1996 menghapus program vasektomi massal. Menurut data BKKBN, sampai kini ada dua kasus kegagalan vasektomi. Pertama, pasien terserang infeksi karena tidak menjaga kebersihan. Kedua, pasien ternyata kena malaria saat operasi dilakukan. Kasus-kasus ini membuktikan, konsultasi mendalam—terutama dengan ahli andrologi—mutlak dilakukan sebelum seseorang memilih jalan vasektomi.

Mardiyah Chamim, Endah Wahyu S. (Jakarta), Upiek Supriyatun (Cianjur)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus