Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Terapi Psikologis untuk Hipertensi |
TEKANAN darah tinggi bukan cuma bisa dilawan dengan obat. Terapi psikologis juga cukup efektif menurunkan tekanan darah. Kesimpulan ini berdasarkan penelitian tim ilmuwan Universitas British Columbia, Vancouver, Kanada.
Penelitian itu melibatkan 60 responden berusia 28-75 tahun yang memiliki tekanan darah di atas normal (140/90 mmHg). Responden sama sekali tidak diberi obat. Mereka hanya menjalani terapi khusus pengendalian stres di sela aktivitas sehari-hari. "Ini riset pertama yang membuktikan hipertensi bisa ditangani dengan terapi psikologis," kata Wolfgang Linden, profesor psikologi klinik dari Universitas British Columbia, kepada Reuters Health, pekan lalu.
Grup pertama, 27 responden, menjalani terapi psikologis selama tiga bulan. Hasilnya, tekanan darah responden membaiksistolik turun 6,1 mmHg dan diastolik turun 4,3 mmHg. Sementara itu, terapi psikologis bagi grup kedua, 33 responden, ditunda sampai tiga bulan kemudian. Setelah terapi berakhir, responden ini juga mengalami perbaikan tekanan darahsistolik turun 7,8 mmHg dan diastolik turun 5,2 mmHg.
Yang layak dicatat, perbaikan tekanan darah ini konsisten sampai enam bulan setelah terapi berakhir. Jadi, Linden menyarankan, langkah pengendalian stres patut dicoba untuk memerangi hipertensi. "Dibandingkan dengan obat-obatan kimia, terapi ini tanpa efek negatif," kata Linden.
Jangan Remehkan Asma |
SURVEI menunjukkan, sikap meremehkan asma menyebabkan ribuan nyawa tak terselamatkan. Padahal, "Sebetulnya 95 persen kematian akibat asma bisa dicegah," kata Christoper Lai, ahli pulmonologi dari Chinese University of Hong Kong, seperti dikutip Reuters, pekan lalu.
Tim periset yang dipimpin Lai, September-Desember 2000, menggelar survei pada 3.200 pasien asma yang tersebar di 13 kota di Cina, Hong Kong, Filipina, Singapura, Taiwan, Korea, dan Vietnam.
Hasilnya, sebagian besar pasien tidak paham seluk-beluk asma. Responden tidak memahami perlunya menjaga kebersihan untuk membatasi debu, jamur, dan kuman pemicu asma. Selain itu, 60 persen responden mengaku tidak mendapat tes fungsi paru-paru. Uji sederhana inites kesanggupan paru-paru menampung oksigen dan pemeriksaan penyumbatan paru-paruadalah prosedur standar untuk mendeteksi asma.
Hampir semua responden, 91 persen, tidak mengonsumsi obat isap (inhaler) jenis kortikosteroid untuk meringankan sesak napas yang parah. Tanpa obat isap ini, pasien bisa kekurangan oksigen, yang berdampak mematikan. Agaknya, sebagian besar dokter yakin kortikosteroid berisiko buruk bagi tubuh pasien. Padahal, menurut Lai, obat ini cukup aman dan efektif menggelontor sumbatan pada jalan napas.
Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), kasus asma di dunia meningkat signifikan dalam dua dasawarsa terakhir seiring dengan turunnya kualitas lingkungan. Kini sedikitnya ada 150 juta pasien asma di seluruh dunia dengan 180 ribu kematian per tahun. Situasi memprihatinkan ini, menurut Lai, bisa diperbaiki bila penanganan asma tak lagi diremehkan.
Halusinasi Bukan Berarti Gila |
KERAP berhalusinasi, mendengar suara-suara aneh, agaknya tak selalu harus diyakini sebagai tanda kegilaan. Tim ilmuwan dari Mayo Clinic, Arizona, Amerika Serikat, menunjukkan bahwa halusinasi bisa juga bersumber dari pembuluh darah otak yang melebar. Kesimpulan ini dilaporkan Daniel Roberts, ahli bedah saraf, dalam jurnal terbaru Mayo Clinic Proceedings.
Kaitan antara halusinasi dan pelebaran pembuluh darah otak ini dijumpai pada seorang pasien di Mayo Clinic. Pasien ini, perempuan 61 tahun, sepanjang 27 tahun kerap diganggu dentuman suara tak beraturan. Setahun terakhir, irama dentuman suara ini lebih teratur seperti lagu-lagu rohani yang pernah dipelajari pasien saat kecil. Rangkaian gangguan ini membuat pasien didera pusing berkepanjangan. Dokter pun kebingungan melacak penyebab penderitaan si pasien.
Akhirnya, pasien ini menjalani uji magnetic resonance imaging (MRI) guna mendapat peta otak secara detail. Tim ahli bedah saraf yang dipimpin Roberts menjumpai adanya pembuluh darah yang melebar (aneurisme) pada otak sisi kanan pasien. Bila dibiarkan, pembuluh darah yang lebar ini bisa pecah dan mengancam nyawa pasien.
Tim Roberts pun memotong pembuluh yang tak normal itu. Ajaib, seusai operasi, halusinasi selama puluhan tahun itu berakhir. "Ini kasus yang langka," tulis Roberts dalam laporannya. Menurut Roberts, sang pasien pernah mengalami "kejang mental" hebat yang menyerang saraf otak yang bertugas menyimpan memori dan emosi. Akibatnya, ingatan-ingatan masa kecil muncul secara berulang. Bila berlarut-larut, halusinasi semacam ini bisa berujung pada gangguan jiwa berat skizofrenia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo