Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berasal dari keluarga pencinta makanan, pakar kuliner Tanah Air, William W. Wongso, selalu dimanjakan oleh beraneka ragam hidangan di rumah. Keanekaragaman itu bermula ketika ia masih tinggal bersama neneknya. Pada masa itu, tradisi bertukar atau saling berkirim makanan kepada tetangga sangat kental. Hal itu diyakini William memiliki kontribusi terbesar dalam perkembangan hidangan khas Indonesia. Menurut William, budaya sangat berpengaruh terhadap setiap cita rasa hidangan khas Indonesia.
Hampir seluruh cita rasa Indonesia pernah dicicipi oleh William. Pengalaman itu ia ceritakan dalam buku yang belum lama ia terbitkan dengan judul Cita Rasa Indonesia. Buku tersebut berisi cerita perjalanan kuliner Nusantara seorang William Wongso selama 35 tahun. Salah satu hal yang mempengaruhi hidangan di kepulauan Indonesia, kata William, kebanyakan diramu berdasarkan tradisi petani, bukan bagian dari masakan istana, seperti di Cina dan Thailand.
Makanan Indonesia tidak dikenal sebagai menu pesta, melainkan makanan untuk dinikmati bersama kerabat dan keluarga. Pada saat petani pulang ke rumah, biasanya mereka langsung menuju dapur, lalu mengambil apa pun bahan yang tersedia untuk dimasak. “Masih banyak misteri kuliner Indonesia yang tidak pernah dipublikasikan sehingga dunia tidak tahu hidangan khas Indonesia,” ujar William, beberapa waktu lalu. Ia meluncurkan bukunya itu di Jakarta pada akhir Mei lalu.
William menuliskan ingatan tentang bumbu yang diciptakan oleh neneknya dan persediaannya harus selalu ada. Pengerjaan bumbu itu dilakukan selama berbulan-bulan, yaitu bawang putih yang dihaluskan dan ditaburi tempe yang sudah mengering sebagai ragi. Bumbu itu kemudian ditaburi garam dan disimpan dalam stoples. Bumbu yang diawetkan tersebut tahan hingga beberapa tahun karena selalu dikeringkan setiap hari tanpa terkena sinar matahari langsung.
Olahan tersebut kemudian dijadikan bumbu penyedap dengan campuran kecap dan irisan cabai. Aroma yang kompleks itu cocok apabila dicampurkan dengan daging. Tapi sayang, ujar William, tradisi olahan bumbu tersebut tidak bertahan lama lantaran kemampuan itu tidak diteruskan. Bumbu tersebut pun merupakan satu dari banyak hidangan Indonesia yang perlahan hilang.
“Kalau dunia internasional tahu, pasti akan tergiur untuk belajar dan diaplikasikan ke masakan mereka,” ujar William.
Lidah William sudah dimanjakan oleh cita rasa khas sejak usia dini. Pada 1972, ia mulai memperkaya pengetahuan tentang memasak. Berkelana dari Eropa hingga Australia, ia belajar berbagai cita rasa dengan cara mencicipi dulu sebelum mempelajari teknik memasak dan memahami bahan-bahannya. Hal yang sama ia lakukan pada hidangan Indonesia.
Menurut chef senior itu, cita rasa dan tekstur hidangan Tanah Air tidak dapat hanya dipahami hanya dengan membaca resep, melainkan harus dicicipi secara langsung. Bahkan, kata dia, dalam satu jenis bumbu olahan rendang bisa menciptakan ratusan cita rasa. Setiap desa bisa menciptakan cita rasa yang berbeda-beda. “Semua orang bisa cari resep di Google. Tapi tidak bisa cari cita rasa,” ujar William.
Inilah yang menggerakkan William untuk menulis buku sebagai salah satu upaya guna menyelamatkan cita rasa Indonesia. Buku tersebut, kata William, tak sekadar berisi resep makanan, melainkan menuliskan budaya yang melekat pada hidangan tersebut. Apalagi William meyakini bahwa mata internasional mulai tertuju pada Indonesia. Namun sangat disayangkan yang terjadi justru sebaliknya. Tenaga ahli masakan khas Nusantara malah terus menyusut.
William menyesali kemampuan memasak hidangan internasional yang justru bermunculan. Pertumbuhan itu tidak sebanding dengan kemunculan koki lokal dengan cita rasa Indonesia. Hal tersebut turut membuat hidangan Indonesia tidak dikenal alias adem ayem. Selain itu, masyarakat masih memberikan penilaian masakan Nusantara sebatas enak dan enak sekali. Sementara itu, kata William, tradisi cita rasa itu sendiri tidak dikenalkan secara budaya.
“Kalau melihat kondisi saat ini, dunia butuh cita rasa baru. Hidangan khas Asia ini akan dominan untuk dikuliti, bahkan negara lain sudah melakukan hal tersebut, seperti Vietnam dan Thailand,” ujar William.
Pemahaman cita rasa lokal itu ia dapatkan salah satunya saat berkunjung ke sejumlah pasar tradisional. Menurut dia, pasar adalah jiwa dari kebudayaan setiap daerah. William menyebutnya sebagai ensiklopedia kuliner hidup daerah dengan kearifan lokal masing-masing. Sayangnya, ujar William, banyak pasar tradisional yang hanya tinggal sejarah.
Buku tersebut tidak menulis semua tradisi makan di Indonesia. Dengan segala keterbatasannya, William berujar bahwa sampai kapan pun ia tidak bisa menuliskan hal itu karena jumlahnya yang terlampau banyak. Hanya beberapa contoh asli makanan khas daerah yang mampu ia tuliskan. Meski begitu, lewat langkah kecilnya tersebut, ia berharap menjadi saksi tradisi masakan Nusantara. “Saya berusaha ubah tatanan itu (lewat buku). Cerita kuliner banyak yang tidak tertulis. Jika dibiarkan, tambah lama, nanti akan pudar,” kata dia.
LARISSA HUDA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo