Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Malang - Kegairahan menyambut Hari Natal di Kota Malang, mulai tampak sepekan sebelum 25 Desember. Sejumlah Gereja Protestan dan Katolik mulai berhias.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Malang merupakan salah satu kota tertua di Jawa Timur. Jejak riwayatnya sudah ada sejab abda pertengahan, ketika Singasari berkuasa. Saat Belanda menguasai nusantara, Malam merupakan salah satu kota besar di Jawa Timur milik Belanda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam kurun waktu itu, setidaknya terdapat tiga gereja kuno, yang telah seabad lebih menjadi pusat peribadatan umat Kristiani di Malang. Secara berurutan sesuai usianya, ketiga gereja itu ialah Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Immanuel alias Gereja Immanuel atau disebut pula Gereja Jago.
Kemudian, Gereja Katolik Paroki Hati Kudus Yesus (HKY) alias Gereja Kayutangan, serta Gereja Santa Theresia alias Gereja Katolik Santa Perawan Maria dari Gunung Karmel yang populer dengan sebutan Gereja Katedral Ijen.
Ketiganya merupakan gereja pertama yang dibangun oleh Pemerintah Hindia Belanda dan kini jadi landmark Kota Malang yang kemudian ditetapkan oleh Pemerintah Kota Malang sebagai bangunan cagar budaya. Penetapannya mengacu pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya dan Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 1 Tahun 2018 tentang Cagar Budaya. Dengan demikian, tidak boleh mengubah maupun menambah bangunan baru di tiga gereja itu.
Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Immanuel Malang alias Gereja Immanuel semula hanya digunakan sebagai tempat ibadah khusus bagi orang-orang Belanda dan Eropa. Gereja itu juga dijadikan sebagai tempat rapat pejabat dan pengusaha Belanda supaya segala kerahasiaan Belanda terjaga. Di tempat itu pula Belanda menyimpan persenjataan dan logistik pangan. TEMPO/Abdi Purmono
Gereja Immanuel mulai dibangun 30 Juli 1861 dan resmi digunakan sejak 31 Oktober tahun yang sama dengan nama Protestanche Gemente te Malang sebagai tempat ibadah orang-orang Belanda dan Eropa. Pendeta pertamanya bernama JFG Brumund yang meninggal di Malang pada 1863.
Gereja Kayutangan dibangun pada 1905. Sedangkan Gereja Ijen mulai dibangun 11 Februari 1934 dan diresmikan penggunaannya pada 28 Oktober 1934.
Arsitektur Gereja Immanuel dan Gereja Kayutangan bergaya gotik, yang merupakan ciri khas gereja-gereja masa pertengahan abad 19, baik Gereja Protestan maupun Gereja Katolik. Sedangkan Gereja Ijen bergaya neogotik atau neo-gothic, perkembangan dari arsitektur gereja sesudah abad 19.
Lokasi Gereja Immanuel dan Gereja Kayutangan terpisah jarak sekitar 250 meter. Berbeda dengan Gereja Immanuel, Gereja Kayutangan tidak langsung berhadapan dengan Alun-alun Merdeka Kota Malang, melainkan menghadap Jalan Basuki Rahmat (dulu Jalan Kayutangan), jalan protokol yang menghubungkan Malang-Surabaya.
Sebaliknya, Gereja Immanuel merupakan jiran terdekat Masjid Agung Jamik, masjid yang dibangun Pemerintah Hindia Belanda sepanjang 1890-1903. Kedua tempat ibadah Protestan dan Islam ini sangat berdekatan, hanya dipisahkan sebuah bangunan perusahaan asuransi milik negara, serta sama-sama menghadap alun-alun atau persisnya di barat alun-alun.
“Gereja ini dibangun setelah alun-alun dibangun lebih dulu pada tahun 1700 oleh VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie atau Persatuan Dagang Hindia Timur). Setelah VOC bubar (31 Desember 1799), maka kendali pemerintahan dan kegiatan perdagangan diambil alih oleh Pemerintah Hindia Belanda, termasuk mendirikan gereja ini dan Masjid Agung Jamik,” kata Ketua Majelis Jemaat GPIB Immanuel Pendeta Richard Agung Sutjahjono kepada Tempo, Jumat, 20 Desember 2019.
Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Immanuel alias Gereja Immanuel di Kota Malang menyimpan dua buah Alkitab Bibel berusia hampir 500 tahun, dengan angka cetakan tahun 1618 Masehi. Alkitab tersebut bersampul kulit domba Belanda dan dilengkapi pengait sampul depan dan belakang yang terbuat dari logam kuningan berkadar emas muda. Ketebalannya sekitar 10 sentimeter dan seberat hampir 5 kilogram. TEMPO/Abdi Purmono
Menurut Richard, pembangunan Gereja Immanuel oleh Pemerintah Hindia Belanda berhubungan erat dengan pembangunan pusat kota sebagai pusat pemerintahan sekaligus pusat perekonomian yang dicirikan oleh, antara lain, pembangunan alun-alun, gereja, masjid, bank, penjara, kantor pos, tempat hiburan, serta pertokoan yang memenuhi kebutuhan sandang dan pangan warga kota, khususnya bagi warga Belanda dan warga Eropa lainnya.
Pembangunan Gereja Immanuel dan Masjid Agung Jamik juga merupakan strategi politik imperialisme Pemerintah Hindia Belanda demi menjaga kenyamanan dan ketenangan, serta kemapanan Malang yang sudah tercipta pada 1729. Dulu, Malang masih bagian dari Karesidenan Pasuruan.
Strategi serupa diterapkan Pemerintah Hindia Belanda di Jakarta dan Semarang untuk mengantisipasi munculnya pemberontakan rakyat jajahan, termasuk pemberontakan yang bermuatan agama melawan Belanda maupun konflik horisontal antarumat beragama. Dengan demikian Belanda tetap bisa tenang dan berkonsentrasi menjalankan politik imperialisme mereka.
“Belanda juga memainkan politik toleransi agama-agama untuk melindungi kepentingan imperialisme mereka. Namun ada positifnya juga bahwa politik toleransi yang digunakan Belanda merupakan momentum yang mempersatukan keragaman atau kebinekaan seperti yang kita kenal sekarang. Dulu, orang yang sengaja mengganggu atau merusak toleransi berarti telah melakukan tindakan makar terhadap pemerintahan Belanda,” kata Richard.
Richard menekankan bahwa toleransi antarumat beragama seperti tercermin oleh posisi Gereja Immanuel dan Masjid Agung Jamik yang berdampingan tidak melulu harus diekspresikan lewat kegiatan gotong-royong maupun saling bantu-membantu.
Ketua Majelis Jemaat Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Immanuel Malang Pendeta Richard Agung Sutjahjono menunjukkan buku sejarah Gereja Immanuel Malang yang segera dicetak, Jumat, 20 Desember 2019. TEMPO/Abdi Purmono
Sudah jamak diketahui, jemaat Gereja Immanuel rutin membantu menyediakan parkir bagi para jemaah salat Jumat atau salat Idul Fitri dan Idul Adha, maupun saat pelaksanaan acara keagamaan Islam. Begitu pula sebaliknya.
Namun, toleransi bukan hanya sebatas saling bersilaturahim maupun saling memberikan fasilitas. Lebih dari itu, toleransi harus terwujud dalam pola hidup yang praksis melalui lembaga-lembaga ukhuwah keagamaan, misalnya lewat Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) dan forum-forum dialog tentang agama.
ABDI PURMONO