Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

11 Suku ini Mendiami Kepulauan Maluku: Ambon, Kei hingga Tanimbar

Maluku yang terdiri dari kepulauan itu setidaknya didiami 11 suku dengan adat istiadat yang berbeda-beda sebagai kekayaan Nusantara.

21 April 2022 | 12.12 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Seorang tokoh agama di Negeri Mamala memoleskan minyak Mamala yang dipercaya dapat menyembuhkan bekas luka sabetan lidi dari Atraksi Pukul Sapu di Malama, Maluku Tengah, Selasa 11 Juni 2019. Nilai filosofis dari upacara tersebut yaitu persaudaraan tidak memandang Suku, Agama dan Ras. Sakit di kuku, rasa di daging yang artinya rasa senang maupun rasa sakit dapat dirasakan bersama demi terwujudnya kehidupan yang harmonis antar sesama. ANTARA FOTO/Atika Fauziyyah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Alam Maluku masih sangat indah, banyak objek wisata alam yang menarik untuk dikunjungi. Seperti pantai, karang yang indah, serta pulaupulau kecil di sekitarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Melansir dari buku Perempuan Nauli yang tulis Johan Nina yang menjelaskan  cara pandang tradisional orang Nuaulu khususnya laki-laki Nuaulu terhadap perempuan Nuaulu, akan menambah referensi pengetahuan tentang kedudukan dan peran kaum perempuan Nuaulu dari perspektif gender.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selain itu masyarakat Maluku juga hidup menyatu dengan alam dan masih kokoh menjaga adat istiadat suku-sukunya. Untuk itu, simak beberapa suku di Maluku ini:

1. Suku Nuaulu

Suku Nuaulu mendiami bagian selatan tengah Pulau Seram, Maluku. Suku ini juga disebut sebagai Noaulu atau Naulu. Dimana, kata “noa” memiliki arti sungai, sementara “ulu” berarti hulu. Jadi jika diartikan, Suku Noaulu adalah masyarakat yang mendiami hulu sungai Noa.

Masyarakat Suku Noaulu dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok selatan dan utara. Kelompok selatan mendiami enam desa di pantai selatan dan pedalaman Kabupaten Amahai. Serta untuk kelompok utara menghuni dua desa di pantai utara Pulau Seram Tengah.

Suku Noaulu menganut agama nenek moyang, yang disebut dengan agama Noaulu atau Nurus. Mereka menyebut Tuhan mereka dengan Upuku Anahatana. Dalam sistem kepercayaannya, Suku Noaulu berhubungan dengan Tuhan secara tidak langsung, melainkan dengan perantara.

Mereka pun masih melakukan ritual-ritual seperti pataheri dan pinamou. Pataheri adalah ritual untuk laki-laki Suku Naoulu yang dianggap telah dewasa. Sedangkan Pinamou adalah ritual menuju dewasa baik laki – laki maupun perempuan.

2. Suku Ambon

Suku Ambon sendiri merupakan campuran Austronesia Papua yang berasal dari Pulau Ambon, Saparua, Nusalaut, Haruku, dan Seram Barat. Dengan mayoritas suku menganut adama Kristen Protestan dan Islam.

Masyarakat Suku Ambon dalam kesehariannya menggunakan bahasa Ambon dalam berkomunikasi. Bahasa Ambon sendiri masih termasuk dalam dialek bahasa Melayu, namun hanya digunakan di wilayah Provinsi Maluku.

3. Suku Kei

Suku Kei menyebut dirinya sebagai Evav. Mayoritas masyarakat Suku Kei telah memeluk agama, seperti Islam dan Kristen. Namun, sebagian dari mereka masih ada yang menganut kepercayaan terhadap roh dan kekuatan gaib. Menurut penganut kepercayaan ini, mereka percaya bahwa roh dapat mendatangkan kebahagiaan dan kesusahan. Oleh karena itu, setelah mereka melakukan upacara kecil di lingkungan keluarga, biasanya dilanjutkan upacara besar. Dengan tujuan membersihkan negeri secara massal.

Dalam garis keturunan, Suku Kei menganut garis keturunan patrilineal. Dan dalam hubungan kekerabatan, mereka menganut azas primogenitur. Yang mana hak anak sulung atau golongan senior diutamakan.

5. Suku Tidore

Suku Tidore berdomisili di Provinsi Maluku Utara, ras asli dari Suku Tidore adalah Melanesia. Yang mana, saat masa penjajahan Belanda dulu, Tidore adalah daerah Kesultanan.

Masyarakat Suku Tidore sebagian besar bermata pencaharian sebagai nelayan. Hasil laut yang biasa didapatkan adalah cumi – cumi, teripang, dan ikan tongkol. Kemudian, hasil laut ini biasanya dijual ke Ternate. Selain nelayan, ada juga masyarakat yang bekerja sebagai petani dan berladang. Hasil komoditas pertanian dan ladang berupa ubi kayu, padi, jagung, ubi jalar, pala, kopra, dan cengkeh.

Karena dulunya merupakan kesultanan, Suku Tidore sebagian besar memeluk agama Islam. Tak heran jika banyak masjid dan surau yang ada di Tidore.

Bahasa yang digunakan Suku Tidore untuk komunikasi sehari – hari adalah bahasa Tidore. Namun, ada juga yang menggunakan bahasa Ternate sebagai bahasa penuturnya.

Dalam adat istiadat dan budaya, Suku Tidore memiliki pakaian adat yang bernama manteren lamo. Biasanya, pakaian ini digunakan oleh sultan, yang terdiri dari celana panjang hitam dengan bis merah memanjang. Bagian atas adalah jas tertutup dengan kancing besar dari perak, jumlah kancingnya pun harus tepat sembilan. Dan di bagian leher jas, ujung tangan, dan saku jas, berwarna merah.

Sementara untuk wanita Suku Tidore, pakaian adatnya adalah kimun gia atau kebaya panjang. Pakaian ini digunakan oleh wanita keluarga raja. Dimana, pakaian ini terbuat dari kain satin berwarna putih dengan ikat pinggang dari emas. Ada juga pakaian untuk remaja yang bernama baju koja. Yaitu jubah panjang dengan warna – warna muda. Biasanya, dipasangkan dengan celana panjang putih atau hitam. Serta penutup kepala bernama toala palulu.

Rumah adat Suku Tidore adalah fola sowohi. Atap rumah fola sowohi terbuat dari rumbia, dengan bangunan berbentuk bidang geometris empat persegi panjang dan berlantai tanah.

6. Suku Ternate 

Suku Ternate berdomisili di Pulau Ternate, yang masuk dalam provinsi Maluku Utara. Selain di Pulau Ternate, ada juga yang mendiami Pulau Obi dan Pulau Bacan.

Dalam kesehariannya, Suku Ternate menggunakan bahasa Ternate. Bahasa ini termasuk dalam kelompok bahasa non-Austronesia. Masyarakat Suku Ternate sebagian besar beragama Islam Sunni, dan sebagian kecil yang menganut agama Kristen Protestan.

Masyarakat Ternate bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan. Dalam bertani, masyarakat biasanya menanam sayur mayur, kacang – kacangan, ubi kayu, ubi jalar, dan padi. Ada juga tanaman keras seperti pala, cengkeh, dan kelapa.

7. Suku Tobelo 

Suku Tobelo berdomisili di semenanjung bagian utara Pulau Halmahera dan di sebagian daratan Pulau Morotai. Sementara lainnya tersebar ke berbagai tempat. Sebagian besar masyarakatnya bermata pencaharian sebagai petani. Dengan komoditas utamanya padi, jagung, sayur, kacang- kacangan, pisang, dan tebu.

Tidak hanya bertani di ladang, masyarakat juga ada yang menanam hasil hutan seperto damar dan rotan. Serta berkebun kelapa, cengkeh, dan damar. Selain bertani, ada juga masyarakat yang menekuni dunia perikanan dengan menjadi nelayan. Menangkap ikan di laut atau berburu binatang liar seperti babi hutan dan rusa dengan menggunakan tombak dan jerat.

Suku Tobelo menggunakan bahasa Tobelo dalam komunikasi sehari – harinya. Terdapat enam dialek yang digunakan dalam bahasa ini, yaitu Boeng, Heleworuru, Dodinga, Danau Paca, Popon, dan Kukumutuk. Untuk kepercayaan saat ini, Suku Tobelo menganut agama Kristen Protestan, yang dibawa oleh misionaris Amerika.

Sebelumnya, Suku Tobelo menganut agama tradisional, yang berorientasi ada pemujaan roh nenek moyang dan dewa-dewa. Uniknya, anak-anak Suku Tobelo diberi nama berdasarkan nama pohon yang terdekat di mana mereka dilahirkan. Ketika nanti meninggal, jasadnya akan diletakkan di dekat pohon.

8. Suku Toguti

Suku Togutil termasuk juga sebagai Suku Tobelo Dalam. Suku Togutil hidup di hutan – hutan secara nomaden di sekitar Hutan Totodoku, Tukur-Tukur, Lolobata, Buli, dan Kobekulo. Hutan – hutan ini masih termasuk dalam Taman Naisonal Aketajawe-Lolobata, Kabupaten Halmahera Utara, Maluku Utara.

Uniknya, masyarakat Suku Togutil sendiri tidak ingin disebut sebagai orang Togutil. Karena, Togutil memiliki makna konotatif yang artinya “terbelakang”.

Suku Togutil hidup bergantung dengan alam. Dimana, mulai dari bermukim hingga memenuhi kebutuhan sehari – hari diambil dari alam. Dimana kegiatan sehari – hari mereka dengan memukul sagu, berburu babi dan rusa, mencari ikan, serta berkebun.

Kebun – kebun Suku Togutil ditanami dengan ketela, ubi jalar, pisang, tebu, dan pepaya. Selain itu, cara berkebun suku ini masih nomaden dan berpindah – pindah. Selain itu, Suku Togutil juga telah mengenal jual beli, yaitu dengan mengumpulkan telur megapoda, tanduk rusa, dan damar yang dijual pada orang pesisir.

9. Suku Rana

Suku Rana merupakan suku yang berdomisili di Pulau Buru, tepatnya di sekitar Danau Rana. Ciri fisik orang Rana yaitu memiliki tinggi antara 1,50 – 1,60 cm. Dengan kulit sawo matang, mata tidak terlalu tipis, bibir sedang tidak tebal, serta rambut kejur atau kaku.

Orang Rana bermata pencaharian sebagai petani ladang. Dengan bercocok tanam secara tradisional, seperti tebang bakar dan ladang berpindah. Komoditas tanaman yang ditanam adalah jagung, padi, ubi – ubian, kacang, hotong, dan ketela. Selain itu, Suku Rana juga beternak ayam, kambing, serta babi. Serta mereka juga meramu hasil hutan berupa damar dan rotan.

Suku Rana memiliki tradisi wahadegan saat panen tiba. Tradisi ini yaitu memakan hasil panen bersama – sama seluruh warga kampung. Jika hasil berlebih, maka kampung tetangga akan diundang ke acara wahadegan. Jadi, hasil panen Suku Rana tidaklah dijual.

Bahasa yang digunakan untuk komunikasi sehari – hari adalah bahasa Liam – liam. Sementara ketika upacara adat berlangsung, bahasa yang digunakan adalah bahasa Liam Garam. Hanya 10% penduduk yang dapat berbahasa Indonesia, yang mana hanya digunakan untuk berkomunikasi dengan pendatang dari luar suku.

Dari segi budaya, Suku Rana memiliki pakaian khas berupa kebaya dan sarung. Laki – laki Suku Rana juga mengenakan gelang dan cincin untuk menolak bala dan penyakit. Sementara untuk wanita mengenakan kalung, gelang, dan cincin sebagai hiasan dan daya tarik. Untuk rumah adat, Suku Rana memiliki rumah yang terbuat dari kayu, dengan tiang kayu berbentuk bulat. Dinding rumah terbuat dari kulit kayu atau rumbia, dan beberapa berbentuk rumah panggung.

Suku Rana yang tinggal di pesisir pantai lebih maju dari Suku Rana di pedalaman hutan. Hal ini dicirikan dengan pakaian adat yang digunakan oleh Suku Rana daerah pesisir, yang berupa kebaya dan sarung tersebut. Selain itu, Suku Rana di daerah pesisir juga telah memeluk agama, yaitu Kristen dan Islam. Sementara yang tinggal di pedalaman masih mempercayai animisme.

10. Suku Sahu 

Suku Sahu atau biasa dikenal dengan Suku Sau adalah suku yang berdomisili di Kota Jailolo, Kabupaten Halmahera Barat, Maluku Utara. Mayoritas Suku Sahu adalah penganut agama Kristen Protestan, sementara sebagian kecilnya beragama Islam. Mereka hidup rukun dengan keberagaman ini.

Mata pencaharian Suku Sahu adalah dengan bertani sawah. Dalam hal ini, ada acara adat Suku Sahu yang dinamakan “Orom Toma Sasadu”, yang artinya “makan di Sasadu”. Acara ini diselenggarakan sebagai ucapan syukur kepada Tuhan atas panen yang mereka dapatkan.

Selain itu, masyarakan Suku Sahu juga memiliki makanan khas bernama Nasi Jala atau Nasi Kembar. Cara membuatnya hampir sama dengan membuat lemang. Dimana, beras dibalut dengan daun pisang, kemudian dimasukkan ke dalam bambu ukuran satu meter, lalu dibakar dengan arat atau batok kelapa. Dan minuman khas bernama Saguer, yang merupakan arak. Dimana minuman ini biasanya ada saat acara adat.

Suku Sahu memiliki rumah adat yang disebut dengan Rumah Adat Sasadu. Rumah adat ini dibangun tanpa menggunakan paku. Rumah ini dibangun dengan filosofi menghargai kaum perempuan. Yang disimbolkan dengan adanya dua meja di rumah ini. Dimana, satu meja ditempatkan di depan untuk kaum perempuan, yang artinya bahwa kaum perempuan lebih diutamakan. Sementara meja satunya berada di paling belakang rumah, yaitu meja kaum laki – laki. Dimana memiliki arti bahwa kaum laki – laki siap melindungi dari belakang.

11. Suku Tanimbar

Suku Tanimbar biasa menyebut diri mereka sebagai Orang Numbar. Sebagian besar Suku Tanimbar memeluk agama Katolik, sisanya adalah Kristen dan Islam. Dan bahasa yang digunakan untuk komunikasi sehari – hari adalah bahasa Melayu Ambon, bahasa Kei, dan bahasa Fordata.

Budaya yang kental dijalankan oleh Suku Tanimbar adalah budaya Duan – Lolat. Budaya ini berhubungan dengan status sosial dari hubungan perkawinan. Dimana, dalam budaya Duan – Lolat, perkawinan menjadi dasar dalam menentukan status sosial.

Itulah suku-suku yang mendiami Pulau Maluku. Dimana, banyaknya suku ini menyadarkan kita semua bahwa Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya, keberagaman, dan tentunya suku bangsa

IDRIS BOUFAKAR

Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus