Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Tidak hanya ritual ibadah, saat Ramadan, sejumlah tradisi unik juga kerap dilakukan masyarakat Indonesia. Berbagai tradisi khas ini juga ikut memeriahkan suasana. Dilansir dari berbagai sumber, berikut beberapa tradisi unik di Semarang, Yogyakarta, dan sekitarnya:
1. Padusan
Padusan adalah tradisi yang biasa dilakukan oleh masyarakat Jawa Tengah dan Yogyakarta. Awalnya, tradisi ini melibatkan mandi atau berendam sendirian di sumur-sumur atau sumber mata air yang terletak di tempat sepi sebagai persiapan menyambut bulan suci Ramadan. Akan tetapi, seiring dengan berjalannya waktu, nilai-nilai dalam tradisi padusan mengalami perubahan.
Saat ini, tradisi padusan dilakukan secara berkelompok, di mana orang-orang mandi, keramas, atau berendam bersama-sama di satu mata air pada hari sebelum puasa Ramadan dimulai. Perubahan nilai ini membawa dampak lahirnya beberapa tempat wisata padusan yang terkenal, seperti Umbul Manten di Klaten dan Umbul Pajangan di Sleman.
2. Dugderan
Dugderan merupakan tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Semarang sebagai bagian dari menyambut bulan suci Ramadan. Diketahui tradisi ini mencerminkan harmoni dari tiga etnis yang dominan menempati wilayah Semarang yakni Jawa, Tionghoa, dan Arab. Asal-usul kata ‘Dugderan’ berasal dari gabungan kata ‘dug’ yang merujuk pada bunyi bedug yang dipukul dan kata ‘der’ yang menunjukkan bunyi tembakan meriam.
Tradisi ini diperkirakan telah berlangsung sejak abad ke-19 dan muncul karena perbedaan pendapat mengenai penentuan awal Ramadan. Untuk mempersatukan pandangan masyarakat, bedug ditaruh di Masjid Agung Kauman, sementara meriam ditembakkan di halaman kabupaten. Keduanya dibunyikan sebanyak tiga kali, kemudian diikuti dengan pengumuman awal puasa di masjid.
Saat ini, perayaan Dugderan semakin meriah dengan banyaknya pedagang yang menjual berbagai jenis makanan, minuman, dan mainan. Selain itu, dalam acara Dugderan, terdapat ikon yang disebut ‘warak ngendhog’, yakni sebuah patung hewan berkaki empat (kambing) dengan kepala mirip naga. Ikon inilah yang menjadi simbol dari perpaduan budaya antar etnis yang ada di wilayah Semarang.
3. Sadranan
Sadranan atau nyadran pada awalnya merupakan tradisi dalam masyarakat Jawa yang bermula sebagai budaya untuk mendoakan leluhur yang telah meninggal. Seiring berjalannya waktu, Nyadran mengalami perkembangan menjadi adat dan tradisi yang masih dilestarikan hingga kini. Nyadran mengalami perkembangan menjadi salah satu tradisi masyarakat Jawa menjelang kedatangan bulan suci Ramadan.
Kata “Nyadran” berasal dari bahasa Sansekerta yaitu “Sraddha”, yang berarti keyakinan. Oleh karena itu, tradisi ini juga bertujuan untuk menyatakan rasa syukur secara bersama-sama dengan mengunjungi makam atau kuburan leluhur yang terdapat di suatu kelurahan atau desa.
Sebagai sarana untuk mendoakan leluhur yang telah meninggal dunia sebelum memasuki bulan Ramadan, nyadran juga sekaligus sebagai pengingat bahwa manusia pada akhirnya akan mengalami kematian. Selain itu, tradisi ini juga merupakan sarana untuk melestarikan budaya gotong royong dalam masyarakat, serta menjaga keharmonisan antar tetangga melalui kegiatan kembul bujono atau makan bersama.
Tradisi-tradisi menjelang Ramadan di Semarang dan Yogyakarta tidak hanya memperkaya budaya lokal, tetapi juga memperkuat ikatan sosial dan keagamaan di tengah masyarakat. Kehadiran bulan suci Ramadan tidak hanya dirayakan dengan ibadah, tetapi juga dengan kegiatan-kegiatan yang dapat memperkuat tali persaudaraan dan meningkatkan rasa kebersamaan di antara umat muslim dan masyarakat secara keseluruhan.
SHARISYA KUSUMA RAHMANDA | FANI RAMADANI | S. DIAN ANDRYANTO
Pilihan Editor: Kunci Menentukan Awal Puasa Ramadhan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini