PERTENGKARAN kecil terjadi di lapangan terbang Palu. Seorang
pengusah terkekuka bermaksud membawa sepasang anoa sebagai
oleh-oleh untuk tamannya di Jakarta. Sebelum kerangkeng
anoa itu dinaikkan ke atas pesawat, petugas menanyakan Surat
Izin Dinas Kehutanan Seksi Perlindungan dan Pengawetan Alam
(PPA). "Ini kan binatang liar? Kita bisa seenaknya menangkap
atau menembaknya di hutan. Kenapa mesti pakai surat-surat
segala?", tukas pengusaha itu marah-marah.
Di saat lain satu team asing tamu seksi PPA yang
sedang berkelana di dalam hutan mendengar bunyi berondongan
tembakan senapan. Rasa ingin tahu segera membawa mereka bertemu
dengan penembak-penembak tadi. Di ujung kaki seorang kaki
seorang pemegang senjata sedang tergeletek seekor anoa dengan
otak terhambur.
Sulawesi Tengah memang masih sorga pemburu liar.
Seksi PPA Sulteng yang terbentuk 6 tahun lalu belum juga
bisa menyentuh hal-hal seperti di atas. Kekurangan pengertian,
ditambah kurangnya aparat pengawas, menyebabkan pemburu itu bisa
menghabiskan nyawa seekor satwa sekedar iseng. Atau, untuk
mempertontonkan kebolehannya, mempermainkan senjata. Menurut ir.
Marna.S.Suryaningrat, staf ahli PPA setempat, seorang pemborong
jalanan pernah memberondong beberapa ekor kus-kus (Phalanger
Maculatus) yang dilindungi hanya untuk mencoba senjata barunya.
Untunglah keadaan ini sudah agak maju dibandingkan
tahun-tahun sebelumnya. Dulu berhaai jenis satwa spesifik
Sul-Teng bisa seenaknya dibawa ke luar. Tidak Input pula segala
jenis tanaman hutan seperti anggrek. Boleh dikata, setiap
rombongan asing yang sempat masuk ke pedalaman Sul-Teng ke
kembali dengan membawa satwa dan tanaman spesifik daerah itu
untuk oleh-oleh. Kenapa orang tidak ngiler membawa anoa ke
luar Sul-Teng, jika ada orang asing mau membeli sepasang anoa
seharga Rp 10 juta?", tanya Marna.
Hutan Purba
Memang sudah sejak lama disadari pentingnya menyediakan areal
perlindungan untuk menghindarkan bahaya kemusnahan satwa khas
Sul-Teng. Khususnya anoa anoa-depressicomis) yang tidak
terdapat di bagian dunia lain dan telah terdartar sebagai satwa
yang hampir punah (lihat box). Akhirnya apa yang diharapkan
itu datang juga. Dengan keputusan Menteri Pertanian 20 Oktober
1973 hutan Lore Kalamanta seluas 331 ribu ita ditetapkan
menjadi suaka margasatwa keempat di Sul-Teng. Bahkan dengan
bantuan tenaga-tenaga ahli FAO/ PBB suaka margasatwa itu akan
ditingkatkan menjadi obyek turisme, guna menandingi Ujungkulon
yang sudah lama populer. Suatu perencanaan lengkap sementara
disusun untuk dimintakan persetujuan Pusat.
Menurut administrasi pemerintahan, hutan Lore Kalamanta
termasuk wilayah kabupaten Poso dan Donggala. Dari Palu suaka
itu dapat dicapai dengan mengendarai mobil sejauh 100 Km sampai
ke pinggir lokasi. Sedang dari Poso dapat ditempuh dengaul mobil
sejauh 55 Km melalui Tentena dan jalan kaki sampai batas suaka
sejauh 75 Km. Medannya berbukit-bukit dan bergunung. Lereng
landai sedikit sekali. Kebanyakan curam menanjak sampai
ketinggian 500-2000 meter di atas muka laut. Di sela-sela gunung
kadang-kadang terdapat lembah rumput, alang dan rawa-rawa. Pada
bukit dan lereng yang terjal acapkali menyembur air panas
berbelerang. Kompleks hutan dikelilingi aliran sungai Lariang
yang berasal dari danau Tawelia -- dan sejumlah anak sungai --
untuk akhirnya bermuasa di Selat Makassar.
Suaka margasatwa ini terdiri atas hutan primer yang ditumbuhi
pohon purba yang besar-besar, hutan sekunder dengan semak-
belukar, bekas-bekas ladang yang sudah ditinggalkan oleh
penduduk, serta padang alam yang ditumbuhi rumput dan
alang-alang yang luas sekali tempat penduduk berburu rusa. Para
wisatawan dapat mengelilingi areal suaka margasatwa dengan
mengendarai kuda sepanjang 200 Km. Perjalanan berkuda itu dapat
ditempuh dalam 5 sampai 7 hari. Sepanjang perjalanan mereka
dapat menatap perbukitan yang membiru, air terjun di tengah
hutan, sumber air panas --- dan 15 macam patung peninggalan
zaman lampau.
Di sela-sela keindahan alam itu orang dapat menyaksikan
pembajakan sawah menurut tradisi setempat: pak tani memakai 20
ekor kerbau diiringi pantun pantun para kelompok pekerja sawah
Atau penggembalaan rusa. Atau daerah ular sawah yang dijadikan
makanan pokok penduduk setempat, sambil mengecap bermacam
kesenian daerah. Pada ketinggian 500-2000 meter dari muka laut
para wisatawan dapat mengenyam udara pegunungan yang lebih sejuk
dari pada pengatur udara di hotel. Menurut adat setempat
penginapan dapat disediakan secara cuma-cuma di tiap desa, yang
dikenal dengan sebutan "baruga". Dalam baruga itu wisatawan
dapat tidur tanpa bayar. Dapat memasak sendiri, atau minta
bantuan penduduk setempat.
Pejalan kaki di daerah suaka itu akan dipesona oleh keragaman
fauna dan flora di sisi timur garis Wallacea itu Rusa, anoa,
babirusa, kera hitam dan kuskus, itulah koleksi yang paling
sering ditemui. Transpor pun transpor alam Jika anda naik mobil
melewati hutan suaka yang hampir 100% alam itu, mana bisa
mengharapkan ada jalan-jalan mobil melingkar-lingkar seperti di
cagar alam-cagar alam Afrika yang sudah lama terbina? Maka
dengan jalan kaki atau menunggang kuda saja, orang bisa lebih
saksama mengamat-amati hutan damar jenis phillipineusis yang
hampir murni di ketinggian yang dingin, paku-pakuan dan
macam-macam lumut,jejeran hutan lada (eucalyphs deglupta) di
sepanjang aliran sungai yang berliku-liku dan jernih airnya,
gerombolan pohon mirip palem tapi berduri seperti rotan, dan
berbagai jenis pinang merah, kuning dan hijau. Juga dapat
ditemui anggrek liar jenis eria sp. yang mempunyai rangkaiau
bunga sepanjang 1 meter, hutan kayu manis (cinnamomun
burmanji), danau-danau kecil, serta sungai yang dasarnya
dilapisi batu-batuan lepas berwarna-warni, tempat margasatwa
melepaskan dahaganya .... sudahlah. Tulisan ini sudah mirip
brosur pariwisata.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini