Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Semarang -Gua pada masa lalu identik dengan tempat berlindung, tempat bermeditasi, menjauhi keramaian, tempat sunyi untuk mendekatkan diri pada pencipta. Seperti halnya Gua Kreo di Gunungpati, Semarang, Jawa Tengah. Maka, tak heran bila cerita seputar Sunan Kalijaga beredar luas di masyarakat sekitar Gunungpati. Dari kawasan ini, Sunan Kalijaga mencari kayu jati untuk pembangunan Masjid Demak.
Sampai kini pun gua di bukit berkapur yang dikelilingi Waduk Jatibarang masih asri oleh rerimbunan pohon. Jalan dari pusat kota ke Gua Krea sudah memadai, meski ada tanjakan berkelok. Segerombolan kera hidup liar. Pengunung bisa berinteraksi dengan memberi makanan kecil seperti kacang tanah, pisang, dan buah.
Mereka yang datang berkunjung harus berjalan kaki menuju gua melalui anak tangga menurun. Pengunjung dikenai bea masuk Rp 4.500 per orang pada hari biasa, dan Rp5.500 pada hari libur. Bea parkir kendaraan ditetapkan Rp1.000 untuk roda dua, dan Rp2.000 untuk roda 4.
Sejak Gua Kreo menjadi tempat wisata, masyarakat sekitar mulai melirik bisnis. Satu di antaranya, layanan foto yang kini digemari dan dikenalkan dengan istilah instagramable. Penyedia jasa pemotretan ini misalnya menawari pengunjung seolah berada di atas awan. Menurut pengelola wahana ini, Fatma Nyara, 19 tahun, hampir setiap hari ada 200 orang antre berfoto.
"Antre saat liburan biasanya ditutup kalau sudah sampai 70 urutan. Satu sesi foto tergantung jumlah rombogan, apakah dia mau diajak cepet atau tidak. Kami melarang foto sendiri, karena nanti akan memakan waktu lama," ujar Fatma.
Aneka aksesori pendukung yang disediakan bisa dipakai dengan biaya Rp 5 ribu. Pengunjung bisa memilih seolah berada di awan, bersama boneka, aksesoris untuk kepala, atau berbagai alat musik. Dalam satu sesi, pengunjung bisa mendapatkan empat kali jepretan foto dengan biaya Rp 5 ribu untuk dua orang. Jika berombongan, biaya pemotretan berbeda.
Aksesori memungkinkan pengunjung berfoto ala tuan putri, bidadari tak bersayap, hingga gaya manja dan imut bersama boneka. Berlaga romantis, hingga kesan eksotis bisa diatur. Pada akhir pekan dan hari libur, pencari foto semacam itu disarankan hadir lebih pagi sebelum pukul 09.00 WIB.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Fatma mengatakan, dalam sehari, ratusan pengunjung ingin berfoto di ketinggian dengan latar belakang Waduk Jatibarang. Pemburu foto narsis tersebut mengantre di luar lokasi karena bangunan foto hanya terbuat dari bambu. Sesi foto hanya dilakukan fotografer dengan kamera profesional oleh petugas dari penyedia wahana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Spot foto di atas awan tersebut eksis usai Lebaran lalu. Wisata untuk kebutuhan narsis diakui sebagai pemicu cepatnya perputaran ekonomi Desa Kandri. Kegemaran orang berfoto dan pamer di media sosial dimanfaatkan menggunakan 'pemanis' pemandangan alam sebagai latar.
Tak ada pemesanan atau booking untuk hari yang berbeda. Pengunjung harus tetap mengantre. "Kami buka jam 08.00 sampai 17.00. Batas cahaya sore itu, karena malam tidak kelihatan latarnya," kata Fatma.
Perawatan titik foto ini membutuhkan perawatan dakron yang disebar menyerupai awan. Setiap dua pekan drakon ditambah karena menyusut, serta terbang dibawa angin.
Deretan lokasi berfoto di tepian jalan menuju Kreo, para penyedia jasa pemotretan menawarkan aneka latar. Naik balon udara atau suasana alam lainnya.
Gua Kreo, di Kampung Talun Kacang, Kelurahan Kandri, Gunungpati, Semarang, tak lagi menjadi tempat menyepi dan bermeditasi. Keramaian tak hanya pada tradisi Sesaji Rawenda yang digelar setiap hari ke-3 bulan Syawal, namun juga oleh mereka yang ingin narsis.
FITRIA RAHMAWATI