Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Berdebar Menyeberang ke Pulau Kenawa dengan Perahu Kayu

Pelayaran dari Sumbawa Besar ke pulau Kenawa itu berlangsung selama 45 menit dengan perahu bercadik.

5 Juli 2018 | 15.32 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Sumbawa Besar - Mengunjungi pulau tersembunyi tanpa penghuni di Indonesia kedengarannya asyik dan menantang. Bukan saja karena harus bertahan hidup tanpa listrik dan tinggal di tenda tanpa penerangan, tapi juga kudu menempuh pelayaran dengan perahu kayu yang mengocok adrenalin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seperti apa perjalanan yang menantang itu?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Beberapa waktu lalu, pertengahan Januari 2018, Tempo menempuh perjalanan ke Pulau Kenawa di Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat, dari Lombok. Kenawa belum sepopuler pulau-pulau kecil lainnya di NTB, misalnya Gili Trawangan atau Gili Air.

Pulau ini cuma memiliki luas 13 hektare. Di sana nihil penerangan dan kehidupan manusia. Hanya ada padang savana dan bukit. Tempat ini cocok untuk menepi. Biasanya dipakai untuk kemping dan snorkeling.

Namun, untuk menuju tempat itu, pengunjung harus menyusuri laut di perairan Sumbawa dengan kapal kayu. Kapal kayu banyak dijumpai di tepi Pelabuhan Poto Tano, Sumbawa Besar. Perahu-perahu itu mendarat di dermaga penduduk. Jaraknya 500 meter dari lokasi pendaratan kapal feri Lombok-Sumbawa. 

Kapal-kapal kayu ini milik para nelayan di perkampungan Poto Tano. Mereka siap mengantarkan pengunjung yang ingin berkemah ke Kenawa atau tempat lain. Tempo memilih kapal milik Jaharudin alias Jahar untuk menuju Kenawa.

Nama Jahar cukup popular di kampong nelayan itu. Sebelumnya dia pernah mengantarkan selebritas Nadine Chandrawinata untuk syuting di Kenawa beberapa tahun silam.Sejumlah turis asing hiking menuju Pulau Kenawa setelah berlayar melalui perairan Sumbawa Barat, NTB. Tempo/Francisca Christy Rosana

Kapal milik Jahar seperti kapal kayu nelayan lainnya. Ada dua cadik di sisi kanan dan kiri seperti sayap. Kata Jahar, cadik ini berfungsi sebagai penyeimbang supaya kapal tak oleng terkena angin. Maklum, angin di laut lepas kadang kala tak terkira kencangnya.

Di lambung kapal terdapat tempat duduk kayu di maisng-masing sisi. Tempat duduk itu berhadap-hadapan itu bisa muat 6-7 orang. Namun harus diisi seimbang kanan dan kirinya.

Jahar menyalakan mesin kapal bila penumpangnya sudah duduk tenang. Dua penumpang yang pergi bersama Tempo kala itu, Desi Margaretta dan Desty Rama, tampak pucat. Mereka mengaku belum pernah merasakan naik kapal kayu melintasi perairan laut lepas sebelumnya.

“Aman kan, Pak?” kata mereka kepada Jahar. Kata Jahar, selama cuaca mendukung untuk berlayar, kapal akan aman melaju di perairan.

 Ia juga menyediakan pelampung yang tersedia di dekat tempat duduk. Jumlah pelampung itu cukup banyak. Kira-kira lebih dari delapan. Tentunya melebihi jumlah kapasitas penumpang.

Lalu kapal kami melaju pelahan. Dengan satu mesin, deru suaranya cukup memekakan telinga. Badan kapal berjalan bergelombang, naik dan turun megikuti gelombang laut. Byar..byar… Suara cadik keras menabrak ombak. Percikan airnya menampar wajah.

Kapal itu tak berdinding. Kami bisa menyaksikan pemandangan sekeliling 360 derajat. Tangan kami juga bisa menyentuh laut. Cukup dijulurkan dan badan merunduk sedikit.

Di tengah laut, kapal berhenti. Mesin mati. Ini karena baling-balingnya tersangkut plastik. Kapal milik Jahar bergoyang tak henti diterpa angin. Dua penumpang lainnya khawatir. Namun kata Jahar ini hal yang biasa.Pemandangan dari puncak bukit Pulau Kenawa, NTB. Tempo/Francisca Christy Rosana

Kalau mesin mati, penumpang cukup duduk tenang dan tak boleh melakukan gerakan yang membuat kendaraan mereka miring. Setelah mesin menyala, kapal berjalan normal. 

Makin ke tengah laut, warna air makin biru tua. Gelombang pun makin tinggi dan percikan air makin banyak masuk ke badan kapal. Tas penumpang tak ayal basah. Jadi, sebaiknya tas terlebih dulu dibalut rain cover supaya isinya tak ikut kuyup.

Perjalanan menyusuri laut lepas menuju pulau tak berpenghuni itu berlangsung 45 menit. Pengalaman ini mahal harganya. Butuh keberanian dan kepercayaan terhadap nakhoda agar pelayaran berlangsung mulus. Dan, tentu saja butuh berendah hati pada alam.

Kami segera turun, membuka tenda untuk menginap, dan siap menjelajahi pulau hening ini. Petualangan berikutnya telah menunggu…

Francisca Christy Rosana

Francisca Christy Rosana

Lulus dari Universitas Gadjah Mada jurusan Sastra Indonesia pada 2014, Francisca mulai bergabung di Tempo pada 2015. Kini ia meliput untuk kanal ekonomi dan bisnis di Tempo.co.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus