Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Berpetualang ke Danau Matano di Pedalaman Luwu

Danau Matano merupakan salah satu danau terdalam di dunia. Bersama Danau Mahalona dan Towuti, tiga serangkai ini jadi daya tarik wisata Luwu.

3 Agustus 2019 | 11.03 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Danau Matano dilihat dari atas bukit yang mengelilingi danau terdalam di Indonesia di Desa Sorowako, Luwu Timur, Sulawesi Selatan, 6 Oktober 2016. Dengan kedalaman 590 meter, Danau Matano tercatat sebagai danau terdalam di Indonesia dan di Asia Tenggara. TEMPO/Fardi Bestari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Danau Matano dengan kedalaman nyaris 590 meter, ia menjadi danau terdalam di dunia urutan kedelapan. Sementara di Asia Tenggara, ia juaranya. Berlokasi di Kecamatan Nuha, Kabupaten Luwu Timur. Desa Soroako, yang terletak di sisi barat danau, telah berkembang jadi kota modern yang rapi, terutama karena sebagian besar daerah ini dikelola PT Vale Indonesia (dulu PT Inco), perusahaan tambang nikel yang beroperasi sejak 1968.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rumah peristirahatan milik perusahaan berjejer di sepanjang tepi danau, termasuk lapangan golf. Danau ini tersambung melalui sungai dengan Danau Mahalona, dan Danau Towuti di bagian selatan. Towuti, yang luasnya 561 kilometer persegi, merupakan danau terluas kedua di Indonesia. Ketiga danau ini terbentuk akibat kegiatan tektonik jutaan tahun silam.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Soroako dapat ditempuh dengan angkutan udara dan darat dari Makassar. Dari Makassar, perjalanan ke Sorowako dengan pesawat baling-baling memakan waktu sejam. Hanya ojek satu-satunya angkutan umum di kota kecil itu. Sementara bis hanya melayani antar kota dan provinsi. 

Berlibur ke Soroako, aktivitas utama tentu bersantai di Pantai Ide dan Pantai Salonsa yang permai. Di dermaga kayu kecil yang menjorok sekitar 20 meter ke tengah danau itu, seorang remaja menukik, melesat ke dalam air yang jernih dan tenang.

Tak jauh dari situ, seseorang berenang bolak-balik di antara dua cabang dermaga. Di kejernihan air bak kaca itu, terlihat serombongan ikan opudi, ikan kecil endemik di danau ini, berenang lamat-lamat di sela tiang penyangga kade.

Di kejauhan terlihat jajaran bukit Torukuno Lela. Seekor burung mirip bangau, mungkin pecuk ular (Anhinga melanogaster), yang lazim dijumpai di kawasan ini, melayang-layang di atas air. Burung itu menuju danau, menyambar ikan di air, lalu terbang dan hinggap di rerimbunan pohon yang memperdengarkan teriakan-teriakan kera.

Di tempat ini memang masih banyak monyet dare hitam (Macaca maura). Matahari perlahan muncul dari celah-celah bukit. Danau Matano, di fajar itu, persis foto pemandangan di kartu pos.

Mencebur ke dalam danau berair dingin itu, tak membuat badan menggigil. Kejernihan air Matano membuat siapapun yang berenang dapat melihat ikan dan tetumbuhan di dasar pantai. Penduduk Soroako menyebut kawasan pantai danau itu sebagai Pantai Ide, meski tak ada laut di sini. 

Satu kilometer ke arah barat laut, ada Pantai Salonsa, yang tanpa dermaga dan tepian dangkalnya lebih luas. Kedua kawasan wisata ini terawat baik dan terbilang bersih. 

Pantai Salonsa tak berdermaga, tapi dipenuhi rumput hingga ke batas air. Airnya hingga agak ke tengah juga tak begitu dalam, sehingga banyak anak-anak bermain di sana. Mereka berenang bertelanjang bulat dan orang tua mereka terlihat mengawasi sambil duduk di rerumputan.

Di danau itu terdapat dermaga Soroako yang merupakan gerbang utama menuju dua desa di seberang danau: Desa Matano dan Desa Nuha, Kecamatan Nuha. Untuk menyinggahi beberapa spot, bisa menggunakan kapal atau perahu motor yang biasa disebut ketinting, perahu kayu bercadik. 

Sebuah perahu katinting melintas di danau Mahalona di Kecamatan Towuti, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, 7 Oktober 2016. Danau Mahalona terbentuk dari lipatan perbukitan atau diperkirakan terbentuk dari jalur sungai yang melebar antara Danau Matano dan Danau Towuti. Tempo/Fardi Bestari

Hendra warga si pemilik ketinting asli asal Desa Matano dan sehari-hari bekerja di sebuah perusahaan kontraktor di Soroako. Dengan cekatan dia menarik ketinting merapat ke dermaga, sehingga kami bisa naik dan segera berlayar. 

Perahu hijau bercadik itu bergerak tak jauh dari tepi danau, sehingga terlihat Pantai Ide dan Salonsa serta perumahan milik Vale yang khas—semuanya dari kayu dan tanpa pagar.

Sekitar 20 menit kemudian, mesin perahu mati dan Hendra mendorong perahunya pelan merapat ke tebing karang yang dipenuhi semak belukar. Persis di bawah tebing itu, tampak sebuah lubang yang sebagian tenggelam di air. "Ini gua bawah air. Anda bisa menyelam dan muncul di dalam gua sana atau melompat dari lubang di atas," ujarnya. 

Dengan merambat pada akar dan dahan pohon, dinding karang itu bisa digapai puncaknya. Dari atas tebing itu, tampaklah sebuah lubang selebar sedepa yang dikelilingi batu dan tanah. Ada tiga tempat yang tampaknya bekas diinjak orang. 

Di bawah tampak di sana air yang tenang dan hijau berkilauan. Tinggi lubang ini 10-15 meter. Bagi yang tak biasa, butuh keberanian untuk melompat dari tebing ke dalam gua air itu. 

Gua itu kira-kira separuh luas lapangan badminton. Karangnya kebanyakan menonjol ke bawah. Airnya jernih, sehingga bayang-bayang batu besar di dasar sana tampak jelas dari permukaan. Kolam itu hijau ditimpa cahaya matahari dari lubang tadi dan lubang kecil yang menghadap ke danau. Ini betul-betul gua rahasia. Kecantikannya hanya bisa dinikmati dengan memasukinya.

Banyak gua di sepanjang tepian danau, tapi Hendra tak mengizinkan untuk dicoba. "Beberapa tempat berbahaya karena jadi sarang ular dan buaya," katanya. Buaya dan ular memang kerap dijumpai di sekitar Danau Matano. Tapi, menurut sejumlah orang, buaya di sini lebih "bersahabat" daripada yang ada di Danau Towuti, yang bahkan pernah menyerang manusia.

Hanya beberapa menit dari gua bawah air, terdapat gua lain. Kali ini harus memanjat dinding tebing agak lebih tinggi. Gua itu, seperti gua umumnya, kering dan berbatu. Tak seberapa luas, tapi ada tulang yang berserakan di situ. Penduduk sekitar menyebutnya Gua Tengkorak karena dulu banyak tulang-belulang manusia di sana yang konon sudah ada sejak masa pra-Islam.

Masih banyak tempat menarik lain di sana, seperti Pulau Kucing, gugusan karang kecil dengan dua pohon mangga besar, dan Kali Dingin, sungai yang airnya tetap dingin hingga bertemu dengan air danau yang hangat. Di Desa Mahalona, kurang dari sejam dari dermaga Soroako, kita bisa membasuh muka di Mata Air Bora-bora, yang letaknya hanya beberapa langkah dari tepi danau dan dasarnya sering mengeluarkan gelembung udara.

Desa itu dulu merupakan cikal-bakal Kerajaan Luwu dan penghasil besi terbaik di Nusantara. Hasil penelitian Australian National University menyebutkan desa itu sudah dihuni sekitar 2.000 tahun lalu dan tanahnya mengandung bijih besi. Besi dari desa inilah yang diperkirakan menjadi sumber bagi "pamor Luwu", kandungan khas pada keris dari Luwu, yang sudah dikenal sejak zaman Majapahit. Peneliti memperkirakan pengolahan besi besar muncul di Matano pada abad ke-15 dan ke-16.

Gua Tengkorak dipenuhi tulang belulang, yang jadi salah satu spot terpencil di sekitar Danau Matano. TEMPO/Nita Dian

Air Danau Matano mengalir ke Danau Mahalona melalui Sungai Petea dan terus tersambung ke Danau Towuti setelah melewati Danau Tominanga. Danau Towuti merupakan danau terluas kedua di Indonesia—setelah Danau Toba.

Sayang, danau ini hanya dipenuhi rumah penduduk dan hutan, belum menjadi tempat wisata yang memadai. Bahkan tepian danaunya sudah padat dengan rumah penduduk, sehingga tak ada ruang bagi wisatawan untuk bermain-main menikmati airnya.

Dari sini, petualangan dilanjutkan ke Danau Towuti. Jalan menuju Towuti belumlah mulus. Jalan itu masih berupa tanah merah dan batu. Jelas, bila hujan deras, jalan itu akan jadi kubangan lumpur. Jalannya menanjak dengan hutan di kiri-kanan. Selama satu jam kendaraan kami nyaris sendirian menyusuri jalan itu, hingga akhirnya bertemu dengan sebuah jembatan beton dan sebuah desa di seberangnya.

Desa Tolu menjadi desa pertama dari deretan lima desa dengan Desa Mahalona sebagai desa induk berada paling ujung. Penduduknya kebanyakan berkebun merica. Erwin, seorang pemilik perahu, lalu mengantar kami menyusuri Sungai Tominanga menuju Danau Mahalona.

Danau Mahalona, danau terkecil dari tiga danau di Luwu Timur, Air danau itu jernih dan biru. Tepiannya banyak ditumbuhi semak dan bakau. Permukaan airnya tenang, sangat bagus untuk bersampan-sampan. Menurut Erwin, warga desa sering piknik ke sana bila air sedang surut. 

Danau-danau di Luwu Timur masih alami dan belum banyak diketahui orang. Lokasinya memang tersembunyi dan transportasi ke sana masih sulit. Keindahan tersembunyi itu, betapa pun, tentu akan menarik minat "petualang" wisata yang ingin melihat tempat-tempat yang belum terungkap di Nusantara.

Perahu ketinting di Danau Matano, Sorowaki, Luwu Timur, Sulawesi Selatan. TEMPO/Fardi Bestari

Iwan Kurniawan

Iwan Kurniawan

Kini meliput isu internasional. Sebelumnya menulis berbagai topik, termasuk politik, sains, dan seni. Pengasuh rubrik Pendapat dan kurator sastra di Koran Tempo serta co-founder Yayasan Mutimedia Sastra. Menulis buku Semiologi Roland Bhartes (2001), Isu-isu Internasional Dewasa Ini: Dari Perang, Hak Asasi Manusia, hingga Pemanasan Global (2008), dan Empat Menyemai Gambut: Praktik-praktik Revitalisasi Ekonomi di Desa Peduli Gambut (Kemitraan Partnership, 2020). Lulusan Filsafat Universitas Gadjah Mada.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus