Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Arkeolog di Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Tri Wurjani mengungkap adanya peradaban zaman besi di Danau Matano, Luwu Timur, Sulawesi Selatan, yang diduga hilang karena gempa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tri Wurjani menjelaskan bahwa kawasan Danau Matano dulu terkenal sebagai penghasil besi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Danau ini berkesinambungan dengan Danau Towuti dan Danau Mahalona jadi ada 3 danau. Danau Matano dulu terkenal dengan danau penghasil besi,” ujar Triwurjani di Auditoriun Gedung A Kemdikbud, Jakarta Pusat, Kamis, 5 Desember 2019.
Danau Matano merupakan danau tektonik yang berada di ketinggian 384 meter dari permukaan laut. Ini merupakan danau terdalam ke-8 di Asia Tenggara yang mempunyai kedalaman 519 meter.
Tri Wurjani dan timnya menuliskan penelitian itu dengan judul “Mengungkap Peradaban Zaman Besi dan Mitigasi Bencana Gempa di Danau Matano, Sulawesi Selatan Melalui Kajian Arkeologi.” Penelitian tersebut disampaikan dalam Seminar Arkeologi Tahun 2019.
Tri Wurjani mengatakan bahwa pemanfaatan besi juga diceritakan dalam naskah kuno Negarakertagama, tentang bagaimana Kerajaan Majapahit pergi ke Sulawesi yang ditaksir mengambil besi untuk membuat senjata.
Dalam penelitiannya tertulis bahwa secara tidak langsung, kondisi itu juga membuat masyarakat Matano sudah mengenal cara melebur bijih besi dari bahan mentah logam, bahkan mengenal perdagangan sampai pada tingkat ekspor ke luar daerahnya.
“Namun budaya Matano masih belum banyak dikenal, hanya hasil produksinya yang dikenal dengan sebutan Pamor Luwu. Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa bahan mentah dari Pamor Luwu tersebut ternyata berasal dari Matano,” kata Trii Wurjani.
Danau Matano juga mengandung situs arkeologi yang terendam (submerged landscape). Situs ini terbentuk akibat dari bencana alam gempa bumi karena situs ini berada tepat di jalur lempeng Matano.
“Belum diketahui secara pasti kapan bencana tersebut terjadi, tapi dari cerita masyarakat setempat yang berasal dari orang tua dahulu, pernah ada kampung yang tenggelam,” kata lulusan Program Studi Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) itu. “Yang kemudian dibangun kembali di tepian danau, dan seterusnya.”
Hasil analisis penanggalan menunjukkan angka abad ke-8 M di situs bawah air Pulau Ampat (Danau) dan abad ke-10 M untuk situs di daratan atau yang disebut situs Rahampu’u, Desa Matano.
Para peneliti menggunakan sampel tembikar untuk diteliti lebih lanjut, mengingat tidak semua temuan tembikar dapat diangkat dari dalam danau. Begitu pula tidak semua temuan pecahan tembikar dapat diambil dari situs-situs yang terdapat di darat, seperti gua dan tepi pantai.
Faktanya menurut penduduk setempat, kata Tri Wurjani, daerah Matano dan sekitarnya sering terjadi gempa kecil dan banyak terjadi pada 2018, kurang lebih terjadi 20 kali guncangan.
CATATAN:
Artikel ini telah diubah pada Selasa 15 Juni 2021, Pukul 19.00 WIB, dengan menghapus keterangan identifikasi sesar aktif yang diprediksi bisa memicu gempa 7-8 Magnitudo. Keterangan dihapus mengikuti permintaan narasumber yang memutuskan meralat keterangannya dengan alasan tidak ingin menyebabkan keresahan masyarakat. Terima kasih.