Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Yogyakarta - Sebelum pandemi Covid-19, wisatawan mancanegara yang melancong ke Yogyakarta bisa berlama-lama tinggal dan melakukan berbagai aktivitas dilatari sejumlah faktor. Selain biaya hidup Yogya yang relatif murah, ekosistem yang terbentuk di kawasan yang banyak tersebar pusat kesenian, kebudayaan dan pendidikan itu menjadi latar belakang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Di Kampung Prawirotaman misalnya, ada wisatawan asing yang tidak hanya tinggal sehari atau seminggu tapi bisa setahun dengan berbagai macam kegiatan," kata Wakil Wali Kota Yogya Heroe Poerwadi, Kamis, 28 Oktober 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan situasi seperti itu, ujar Heroe, Yogya mencoba mengembangkan wisata karakter khusus, yaitu sebuah konsep wisata yang tak hanya mendatangkan dampak pada putaran uang, namun sebuah kultur pertukaran budaya yang menguatkan industri kreatif di Yogyakarta. "Wisatawan mancanegara ini kebanyakan juga para digital nomad yang bisa membawa angin ekosistem untuk pertumbuhan dan perkembangan industri kreatif di Kota Yogyakarta,” kata dia.
Untuk mendorong terbentuknya ekosistem wisata itu, menurut Heroe, perlu ruang yang mendukung di kawasan yang menjadi arena utama pergerakan turis asing itu. Salah satunya co-working space yang bisa menaungi pengembangan industri kreatif.
Pemkot Yogyakarta, kata Heroe, telah mencoba mewujudkan co-working space itu dengan sasaran wisatawan mancanegara di Pasar Prawirotaman, tepatnya di lantai 4. Di sana ada ruang-ruang pertemuan skala kecil, menengah dan besar, studio podcast, studio musik, editing hingga perbankan untuk transaksi.
"Co-working space di Pasar Prawirotaman lantai 4 itu untuk mengakomodasi para pelaku industri kreatif, termasuk wisatawan manca, para pelaku digital nomad yang kini mulai banyak," kata Heroe.
Tak hanya di Prawirotaman, Heroe menyebut saat ini sebuah pusat desain industri nasional akan dibangun di Kota Yogyakarta, tepatnya di Kampung Terban tak jauh dari Universitas Gadjah Mada atau UGM.
Pusat desain industri nasional itu akan dikembangkan menjadi coworking space baru sebagai tempat bertemunya para desainer industri dalam konteks luas, seniman hingga budayawan dengan mendekatkan para korporasi untuk membuat pekerjaan bersama. "Misalnya industri fesyen di Kota Yogyakarta dengan potensi produsen kain batik bisa dikembangkan menjadi lebih kompetitif dan produktif," kata Heroe.
Menurut dia, coworking space, digital nomad dan pusat desain industri nasional menjadi ekosistem yang harus dibangun. "Yang penting membangun inkubasi di pusat desain industri nasional sehingga para inkubator yang akan membangun ekosistem industri berdasarkan potensi yang dimiliki di Kota Yogyakarta," ujarnya.
Menurut Heroe, Yogya punya industri kecil menengah batik, kain dan lainnya tapi yang menjadi persoalan adalah bagaimana menjadikannya industri fashion yang besar dan mapan. "Jadi di Kampung Terban yang akan menjadi pusat desain industri nasional itu diharapkan menjadi daya ungkit. Terutama agar para desainer industri bertemu para pelaku usaha dan mengembangkannya di Kota Yogyakarta," kata dia.
Heroe mengakui di Yogya keberadaan coworking space mulai semakin banyak yang mengadopsi baik yang diselenggarakan pemerintah maupun pelaku usaha. "Namun yang terpenting coworking space itu bisa connect, membangun inkubasi dan ekosistem industri berdasarkan potensi yang dimiliki Kota Yogyakarta, sehingga pariwisata dan ekonomi masyarakat hidup," ujarnya.