Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - HUT Yogyakarta ke-268 tidak lupa dari sejarah kota ini yang berawal dari Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755 dengan membagi Negara Mataram menjadi dua, yaitu hak Kerajaan Surakarta dan Pangeran Mangkubumi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdasarkan perjanjian tersebut, Pangeran Mangkubumi diakui menjadi Raja atas setengah daerah Pedalaman Kerajaan Jawa dengan sebutan Sri Sultan Hamengkubuwono I. Setelah selesai Perjanjian Pembagian Daerah, ia menetapkan daerah Mataram di dalam kekuasaannya dinamakan Ngayogyakarta Hadiningrat yang memiliki ibu kota di Ngayogyakarta (Yogyakarta). Ketetapan ini diumumkan pada 13 Maret 1755.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut jogjakota.go.id, setelah penetapan tersebut diumumkan, Hamengkubuwono segera memerintahkan kepada rakyat untuk mendirikan Keraton Yogyakarta.
Sebelum keraton jadi, Hamengkubuwono I menempati pesanggrahan Ambarketawang, Gamping pada 9 Oktober 1755. Satu tahun kemudian, ia memasuki Istana Baru sekaligus meresmikan pendirian Kota Yogyakarta atau Negari Ngayogyakarta Hadiningrat. Pada 7 Oktober 1756, pesanggrahan Ambarketawang ditinggalkan oleh Hamengkubuwono I untuk menetap di keraton.
Profil Sri Sultan Hamengkubuwono I
Jasa Hamengkubuwono I bagi Kota Yogyakarta sangat besar lantaran menjadi pendiri dan raja pertama. Ia lahir pada 5 Agustus 1717 dengan nama Bendara Raden Mas (BRM) Sujono yang merupakan putra Sunan Amangkurat IV melalui garwa selir bernama Mas Ayu Tejawati.
Sejak kecil, Hamengkubuwono I dikenal sangat cakap dalam keprajuritan, seperti berkuda dan bermain senjata. Ia juga dikenal taat beribadah dan menjunjung nilai luhur budaya Jawa. Berkat kecakapan ini, ketika sang paman, Mangkubumi, meninggal dunia pada 1730, ia diangkat menjadi Pangeran Lurah, yaitu dituakan di antara para putra raja.
Berdasarkan kratonjogja.go.id, Hamengkubuwono I juga dinilai memiliki kesetiaan yang sangat tinggi terhadap para pengikutnya. Pada 1746, ketika melawan VOC, ia memiliki pengikut sebanyak 3.000 prajurit. Lalu, pada 1747, jumlah pengikutnya meningkat menjadi 13.000 prajurit, di antaranya terdapat 2.500 prajurit berkuda. Kesetiaan dan kesediaan mengikuti Hamengkubuwono I meluas sampai ke masyarakat umum pada 1750. Dengan pengikut yang mencapai ribuan ini, pasukan Hamengkubuwono I berhasil membuat VOC menyerah.
Berdasarkan Babad Nitik Ngayogya, Hamengkubuwono I digambarkan sebagai sosok yang bijaksana dan cerdas tentang ilmu tata kota serta arsitektur. Ia menentukan posisi Keraton Yogyakarta dengan mempertimbangkan letak dan keadaan lahan.
Cara ini dilakukan agar berpotensi menyejahterakan dan memberi keamanan untuk penduduk Yogyakarta. Selain tata ruang Keraton Yogyakarta, hiasan dan tumbuhan yang ditanam dirancang oleh Hamengkubuwono I dengan memasukkan nilai filosofis dan spiritual yang tinggi. Atas hasil karya serta karakter kuat Hamengkubuwono I, sejarawan menjulukinya sebagai “a great builder”.
Sri Sultan Hamengkubuwono I meninggal dunia pada 24 Maret 1792 yang dimakamkan di Astana Kasuwargan, Pajimatan, Imogiri. Lalu, pada November 2006, Hamengkubuwono I ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Meskipun telah tiada, tetapi jasa dan perannya selalu dikenang oleh masyarakat umum, terutama warga Yogyakarta. Dengan demikian, perayaan HUT Yogyakarta juga menjadi momen menghargai jasa Hamengkubuwono I.