Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

hiburan

Cerita Puro Pakualaman Ciptakan Batik Dari Inspirasi Naskah Kuno Berusia Ratusan Tahun

Keraton Kadipaten Puro Pakualaman Yogyakarta sampai hari ini tak henti terus menciptakan motif-motif batik khas sebagai upaya pelestarian.

7 Juli 2024 | 14.27 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Yogyakarta - Keraton Kadipaten Puro Pakualaman Yogyakarta sampai hari ini tak henti terus menciptakan motif-motif batik khas sebagai upaya pelestarian. Sebagian batik yang diciptakan Pura Pakualaman itu terinspirasi dari naskah kuno yang usianya ratusan tahun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Batik yang kami ciptakan terinspirasi dari manuskrip kuno yang tersimpan di Widyapustaka, Perpustakaan Pakualaman Yogyakarta," kata Gusti Kanjeng Bendara Raden Ayu Adipati (GKBRAA) Paku Alam di sela pengenalan buku Batik Pakualaman: Antara Tradisi, Sastra dan Wastra di Pakualaman, Yogyakarta, Kamis 4 Juli 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bukan tanpa alasan Gusti Putri, sapaan, GKBRAA Paku Alam, mengambil inspirasi motif batik dari manuskrip kuno Pakualaman yang sudah berusia ratusan tahun itu. Naskah-naskah kuno Pakualaman tersebut juga bukan cetakan atau print. Namun semua ditulis tangan dan setiap gambarnya juga digambar manual tangan. Salah satu keistimewaan manuskrip itu tak lain keberadaan aneka gambar yang menyertai teksnya.

Naskah kuno di Pakualaman ini umumnya berusia 200 tahun. Setiap lembar naskah itu digambar dengan sangat baik dan memiliki filosofi luar biasa. "Sehingga kami pun berniat mengalihwahanakan gambar-gambar dari manuskrip kuno itu ke wastra batik," tutur perempuan yang sejak kecil tumbuh besar di keluarga yang suka membatik di Batang, Pekalongan Jawa Tengah itu.

Untuk mengintepretasikannya ke media batik, kata Gusti Putri, tidak bisa sembarangan. Mengingat naskah naskah itu di dalamnya mengandung sejarah dan nilai nilai kebijaksanaan yang diturunkan generasi ke generasi Pakualaman. "Kami jelas tidak bisa melakukan kegiatan membatik sesuai keinginan saya,” kata dia. 

Gusti Putri pun lantas bersama tim perpustakaan dan tim pembatik bekerjasama mulai membuat Batik Pakualaman. Tak hanya itu. Gusti Putri mengatakan juga ada laku prihatin yang harus dilaksanakan sebelum menerjemahkan manusrip itu dalam media batik. Seperti menep, hening dulu, untuk melakukan giat membatik dari naskah menjadi batik.

Diakuinya, untuk menjadikan satu lembar kain batik itu tidaklah mudah. Terutama saat memikirkan gambar apa yang akan dibuat batik. Karena tidak semua iluminasi yang ada di naskah bisa dibatik. 

Proses menerjemahkan naskah kuno ke media batik selama ini dilakukan dengan memanfaatkan Bangsal Batikan, sebuah area khusus di komplek Puro Pakualaman Yogya untuk membatik. Semua proses itu lantas dibukukan sebagai bahan dokumentasi sekaligus referensi pembelajaran para pecinta batik.

Batik Puro Pakualaman yang dibuat terinspirasi naskah kuno leluhur. Dok. Istimewa

Sejumlah kain-kain Batik Pakualaman yang telah selesai dibuat itu pun turut ditampilkan dalam peragaan. Di antaranya Batik Sestra Lukita, Batik Indra Widagda, Batik Yama Linapsuh. Batik Surya Mulyarjo, Batik Bayu Krastala, Batik Wisnu Mamuja, Batik Brama Sembada, Batik Baruna Wicaksana dan Batik Asthabrata Jangkep. 

Batik-batik ini adalah sebagian kecil dari 120 Batik Pakualaman yang telah dibuat. Motif batik Indra Widagda terinspirasi dari renggan tentang Bhatara Indra dalam Ajaran Asthabrata. Dalam Asthabrata versi Pakualaman, Dewa Indra adalah dewa ilmu pengetahuan. Seorang pemimpin dituntut untuk cerdik cendekia dan menjadi tempat bertanya bagi rakyatnya.

Ilmu pengetahuan digambarkan dalam gambar bulu angsa yang pada jaman dahulu menjadi pena atau alat tulis, tertancap pada bola dunia, serta gambaran kitab sebagai lambang ilmu pengetahuan. 

Batik Indra Widagda menjadi tema utama dalam Dhaup Ageng Bendara Pangeran Haryo Kusumo Kunto Nugroho, putra ke-2 Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Paku ALam X. Ada juga Batik Baruna Wicaksana, motif yang terinspirasi dari renggan Lung Janggi Milet Tranggana dari naskah Babar Palupyan. 

Batara Baruna dalam Asthabrata Pakualaman digambarkan sebagai teladan kepemimpinan yang pandai, bersahaja, dan mampu mengayomi. Untaian sulur dan bunga adalah lambang berlikunya masalah yang harus dihadapi seorang pemimpin dengan sikap tenang dan  bersahaja, sehingga mengayomi rakyat yang dipimpinnya.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus