MARIAM diperkosa, hamil. Lantas oleh para pemerkosanya -- para
perampok dari Ancol --- ia dibunuh. Arwah Mariam bangkit dari
kubur, tak menuntut apa-apa, kecuali agar anaknya dicarikan
bapak. Anak Mariam pun muncul -- dari kubur pula -- dan sembari
mengisap dot ia mengejar setiap lelaki yang sedang berziarah di
kubur Mariam. Teriaknya: "Bapak, bapak . . . "
Itulah cerita lawak, Cinta Mariam dan Monyet Ancol, yang menutup
acara ulang tahun Pasar Seni Ancol ke-6, akhir Maret. Dibawakan
oleh 6 grup lawak (grup Bagio, Dagelan Ayo Ngguyu, Atmonadi,
Kardjo, Bronksonk dan para pelawak Pasar Seni Ancol sendiri)
tontonan ini memang seru. "Dibanding malam tahun baru yang lalu,
malam ini pengunjung mungkin dua kali lipat," kata Suluh
Darmadji, pengelola Pasar Seni Ancol.
Penulis naskah sekaligus sutradara dan merangkap pemain pula, S.
Bagio, pun nampaknya malam itu puas. Kecuali, soal pengunjung
yang berjubel dan memang agak mengganggu. Tapi pertunjukan
terasa kompak. Mungkin karena sebagian besar pemain bukanlah
pelawak yang menonjol sehingga patuh pada petunjuk Bagio. "Kalau
pelawak yang menonjol, biasanya lalu melawak menuruti kehendak
hati sendiri, mengacaukan naskah," tuturnya. Diberikannya
contoh, pertunjukannya yang lain, Hoeroe Hara Djaman Koempeni,
1979 yang lalu di Taman Ismail Marzuki.
Klise
Memang Cinta Maria tampil lebih terasa sebagai sebuah sandiwara
yang kebehutan dimainkan para pelawak, dan bukannya sebuah
pertunjukan lawak dengan cerita. Tak banyak terdengar 'gerrr'
dari penonton yang penuh sesak itu. Adegan para monyet alias
para perampok yang dipimpin Boedi Sr. -- bekas anggota Srimulat
yang kini mendirikan grup sandiwara Bronksonk -- pun hanya mampu
menggugah kebekuan sejenak saja. Ini pun berkat ulah Darto Helm,
yang memang dengan potongan rambutnya yang khas itu gampang
menggelitik syaraf tawa penonton.
Bagio, anggota perampok yang berpacaran dengan anak Pak
Atmonadi, pun tak banyak menolong. Bahkan tak sedikit klise.
Bersembunyi di kolong lincak (tempat duduk dari bambu), memukul
seseorang tapi yang kena hantam orang yang berdiri di
sampingnya, salah tafsir syarat tangan, misalnya.
Cuma Mariam, diperankan Kardjo, agaknya mengumpulkan skor
tertinggi dalam memancing tawa. Tak banyak bertingkah, jebolan
Srimulat ini tetap tangkas bermain kata. Sehabis diperkosa,
katanya: "Kalau cuma jadi satu anak, tidak apa-apa. Lha kalau
empat-empatnya jadi anak semua, hidih, ngeri . . .
Semua itu mengingatkan pada Srimulat, yang kebehutan awal April
ini sedang melawak di TIM. Dengan cerita bagaimanapun, Srimulat
tetap pertama-tama menyuguhkan lawak, bukannya cerita. Cerita
hanya menjadi pengikat sejumlah pelawak yang kebetulan harus
bermain bersama. Gaya masing-masing pelawak adalah yang ditunggu
penonton, dan bukannya cerita itu sendiri. Ini menjadi jelas
kalau diingat, cerita Srimulat boleh dikata tak membawakan misi
apa pun.
Lain dengan Bagio. Cinta Mariam yang dikarangnya dalam dua hari,
cerita yang berbau sadisme ini ternyata memang membawa pesan.
"Bagaimanapun orang yang berbuat jahat itu akan dituntut
tanggung jawabnya," katanya sehabis pertunjukan.
Tak berarti Bagio tak memberi peluang bagi improvisasi para
pemain yang pelawak itu. Kepala perampok Boedi Sr. yang begitu
ganas, yang suka menghajar anak buahnya apabila ada yang
terlambat berkumpul, di hadapan istrinya (diperankan oleh
Rujilah dari Dagelan Ayo Ngguyu bak kucing melihat lidi. Sayang
hal ini tak dimanfaatkan betul oleh Boedi. Bahkan jebolan
Srimulat yang pernah merebut simpatik penggemarnya dengan
'menyanyi sambil melawak'nya dulu itu, tenggelam di antara anak
buahnya, yang diperankan Darto, Diran, Urip Arpan, Basuni dan
Bagio sendiri.
Sementara di belakang panggung Bagio nampak paling tegang, dan
sibuk. Kadang-kadang telinganya ditempelkan di tripleks latar
belakang panggung, untuk mendengarkan dialog yang tengah
berlangsung. Kadang ia masih memberi petunjuk yang harus
dilakukan seorang pemain bila ia muncul.
"Latihan cuma dua kali. Tanggal 28 dan 30 yang lalu," alasannya
sehingga ia harus mengontrol adegan demi adegan. "Itupun yang
sekali cuma duduk sambil ngomong, tak ada latihan adegan."
Tapi mungkin masalahnya bukan pada banyak atau sedikitnya
latihan. Apabila sutradara menekankan jalannya cerita, seperti
Cinta Mariam yang makan waktu hampir 4 jam itu, kreativitas
perseorangan memang bisa beku. Apalagi bila pelawaknya, memang
bukan kelas wahid.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini