Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Cinta mariam dan monyet ancol mariam, bercerita atau melawak

6 grup lawak tampil dalam cerita lawak, cinta maraim dan monyet ancol. naskah cerita bisa menjadi masalah bagi pelawak. disutradarai s. bagio. (hb)

11 April 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MARIAM diperkosa, hamil. Lantas oleh para pemerkosanya -- para perampok dari Ancol --- ia dibunuh. Arwah Mariam bangkit dari kubur, tak menuntut apa-apa, kecuali agar anaknya dicarikan bapak. Anak Mariam pun muncul -- dari kubur pula -- dan sembari mengisap dot ia mengejar setiap lelaki yang sedang berziarah di kubur Mariam. Teriaknya: "Bapak, bapak . . . " Itulah cerita lawak, Cinta Mariam dan Monyet Ancol, yang menutup acara ulang tahun Pasar Seni Ancol ke-6, akhir Maret. Dibawakan oleh 6 grup lawak (grup Bagio, Dagelan Ayo Ngguyu, Atmonadi, Kardjo, Bronksonk dan para pelawak Pasar Seni Ancol sendiri) tontonan ini memang seru. "Dibanding malam tahun baru yang lalu, malam ini pengunjung mungkin dua kali lipat," kata Suluh Darmadji, pengelola Pasar Seni Ancol. Penulis naskah sekaligus sutradara dan merangkap pemain pula, S. Bagio, pun nampaknya malam itu puas. Kecuali, soal pengunjung yang berjubel dan memang agak mengganggu. Tapi pertunjukan terasa kompak. Mungkin karena sebagian besar pemain bukanlah pelawak yang menonjol sehingga patuh pada petunjuk Bagio. "Kalau pelawak yang menonjol, biasanya lalu melawak menuruti kehendak hati sendiri, mengacaukan naskah," tuturnya. Diberikannya contoh, pertunjukannya yang lain, Hoeroe Hara Djaman Koempeni, 1979 yang lalu di Taman Ismail Marzuki. Klise Memang Cinta Maria tampil lebih terasa sebagai sebuah sandiwara yang kebehutan dimainkan para pelawak, dan bukannya sebuah pertunjukan lawak dengan cerita. Tak banyak terdengar 'gerrr' dari penonton yang penuh sesak itu. Adegan para monyet alias para perampok yang dipimpin Boedi Sr. -- bekas anggota Srimulat yang kini mendirikan grup sandiwara Bronksonk -- pun hanya mampu menggugah kebekuan sejenak saja. Ini pun berkat ulah Darto Helm, yang memang dengan potongan rambutnya yang khas itu gampang menggelitik syaraf tawa penonton. Bagio, anggota perampok yang berpacaran dengan anak Pak Atmonadi, pun tak banyak menolong. Bahkan tak sedikit klise. Bersembunyi di kolong lincak (tempat duduk dari bambu), memukul seseorang tapi yang kena hantam orang yang berdiri di sampingnya, salah tafsir syarat tangan, misalnya. Cuma Mariam, diperankan Kardjo, agaknya mengumpulkan skor tertinggi dalam memancing tawa. Tak banyak bertingkah, jebolan Srimulat ini tetap tangkas bermain kata. Sehabis diperkosa, katanya: "Kalau cuma jadi satu anak, tidak apa-apa. Lha kalau empat-empatnya jadi anak semua, hidih, ngeri . . . Semua itu mengingatkan pada Srimulat, yang kebehutan awal April ini sedang melawak di TIM. Dengan cerita bagaimanapun, Srimulat tetap pertama-tama menyuguhkan lawak, bukannya cerita. Cerita hanya menjadi pengikat sejumlah pelawak yang kebetulan harus bermain bersama. Gaya masing-masing pelawak adalah yang ditunggu penonton, dan bukannya cerita itu sendiri. Ini menjadi jelas kalau diingat, cerita Srimulat boleh dikata tak membawakan misi apa pun. Lain dengan Bagio. Cinta Mariam yang dikarangnya dalam dua hari, cerita yang berbau sadisme ini ternyata memang membawa pesan. "Bagaimanapun orang yang berbuat jahat itu akan dituntut tanggung jawabnya," katanya sehabis pertunjukan. Tak berarti Bagio tak memberi peluang bagi improvisasi para pemain yang pelawak itu. Kepala perampok Boedi Sr. yang begitu ganas, yang suka menghajar anak buahnya apabila ada yang terlambat berkumpul, di hadapan istrinya (diperankan oleh Rujilah dari Dagelan Ayo Ngguyu bak kucing melihat lidi. Sayang hal ini tak dimanfaatkan betul oleh Boedi. Bahkan jebolan Srimulat yang pernah merebut simpatik penggemarnya dengan 'menyanyi sambil melawak'nya dulu itu, tenggelam di antara anak buahnya, yang diperankan Darto, Diran, Urip Arpan, Basuni dan Bagio sendiri. Sementara di belakang panggung Bagio nampak paling tegang, dan sibuk. Kadang-kadang telinganya ditempelkan di tripleks latar belakang panggung, untuk mendengarkan dialog yang tengah berlangsung. Kadang ia masih memberi petunjuk yang harus dilakukan seorang pemain bila ia muncul. "Latihan cuma dua kali. Tanggal 28 dan 30 yang lalu," alasannya sehingga ia harus mengontrol adegan demi adegan. "Itupun yang sekali cuma duduk sambil ngomong, tak ada latihan adegan." Tapi mungkin masalahnya bukan pada banyak atau sedikitnya latihan. Apabila sutradara menekankan jalannya cerita, seperti Cinta Mariam yang makan waktu hampir 4 jam itu, kreativitas perseorangan memang bisa beku. Apalagi bila pelawaknya, memang bukan kelas wahid.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus