Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JOKO Widodo penasaran. Dengan pesawat pertama, Selasa subuh pekan lalu, Wali Kota Solo yang dikenal energetik dan kreatif ini—ia pernah terpilih sebagai salah satu kepala daerah terbaik versi majalah ini—terbang ke Jakarta. Begitu mendarat di Bandar Udara Soekarno-Hatta, Joko pindah pesawat. Kali ini tujuannya Makassar. ”Saya diundang Chairul Tanjung untuk melihat Trans Studio Theme Park,” katanya.
Pucuk tertinggi Trans TV tersebut perlu mengundang Joko untuk meyakinkan wali kota ini, Solo bakal untung besar jika memiliki tempat hiburan seperti Trans Studio. Chairul sudah mengunjungi Solo dan menjajaki kemungkinan kawasan hiburan itu dibangun di sana.
Tak hanya Chairul yang naksir berat dengan Solo. Sekitar setahun silam tim Disneyland juga sudah bertemu dengan Joko, mengajukan permintaan serupa: membangun pusat hiburan sekelas Disneyland di Solo. Disneyland sudah melakukan survei. Kesimpulan mereka, posisi Solo yang berada di tengah Jawa berikut fasilitasnya yang ada—bandara, jalan tol, hotel—merupakan tempat paling pas untuk mendirikan ”Disneyland Indonesia” itu.
Joko setuju. Ia segera menyediakan tanah seluas 15 hektare di Solo utara. Tapi belakangan Disneyland meminta luas lahan 45 hektare. Itu, antara lain, untuk membangun hotel. ”Saya enggak punya tanah seluas itu, ya sudah batal,” ujarnya. Lalu datanglah Chairul Tanjung. Bos Para Group yang biasa dipanggil Ce Te (CT) oleh sejawatnya itu bercerita proyek sejenis sudah mulai ia bangun di Makassar dan ia mengincar Solo untuk berikutnya.
Joko tak langsung menganggukkan kepala. ”Saya tak mau kalau kelasnya hanya THR-THR-an,” katanya. Karena itulah, ia terbang ke Makassar, menyaksikan kawasan hiburan yang diresmikan Wakil Presiden Jusuf Kalla, Rabu pekan lalu itu.
SUASANA gemerlap langsung menyergap begitu memasuki area Trans Studio Theme Park yang terletak di Tanjung Bunga, sekitar lima kilometer dari Makassar. Di tempat hiburan seluas 2,7 hektare itu, sekalipun siang hari, suasana yang dihidangkan selalu ”malam”. Begitu kepala mendongak ke atas, yang terlihat gemerlap bintang. Trans Studio, yang dibangun dengan biaya sekitar Rp 1 triliun dan disuplai listrik 10 megawatt, memang berkonsep indoor. ”Ini indoor terbesar di dunia,” ujar Chairul Tanjung. Dengan model seperti ini, sekalipun di luar hujan lebat atawa panas terik, udara tetap sejuk berkat, antara lain, mesin penyejuk udara.
Trans Studio merupakan hasil patungan Para Group (55 persen) dan Kalla Group (45 persen). Lahan tempat hiburan yang bertetangga dengan Pantai Losari ini milik Grup Kalla. ”Tempat ini diharapkan jadi magnet baru Makassar,” kata Jusuf Kalla. Selain Theme Park yang gemerlap tadi, di Tanjung Bunga ini akan dibangun Trans Studio Walk, pusat belanja, dan dua hotel berbintang. Dengan konsep terpadu inilah, pengunjung bisa menginap, berbelanja di mal, sekaligus menghibur diri di Theme Park. Luas total kawasan wisata terpadu tersebut 47 hektare.
Tapi magnet semua itu tetap Theme Park. Di sini tersedia 22 wahana hiburan yang sebagian besar diadopsi dari Disneyland dan Universal Studio. Ada roller coaster, bom-bom car, bioskop empat dimensi yang menampilkan petualangan SpongeBob, dan juga dragon’s tower, permainan yang mengangkat pengunjung ke puncak menara setinggi sekitar 18 meter lalu secara mengejutkan mengempaskan ”tamunya” ke bumi.
Untuk membuat konsep Theme Park itu, Chairul menyewa pakar kreatif Hollywood, Gary Goddar, perancang, antara lain, The Jurassic Park River Adventure di Hollywood. Setiap hari Theme Park juga akan menggelar parade yang menampilkan ”artis-artis” sejumlah acara di Trans TV. Parade ini tak pelak memang ”menjiplak” parade di Disneyland yang menampilkan tokoh-tokoh kartun ”dunia Disney”.
Sejumlah nama acara Trans TV yang populer juga hadir di Theme Park, seperti Si Bolang, Jelajah, atau Dunia Lain. Seperti di layar kaca, di Dunia Lain pengunjung dengan kereta diajak memasuki ”alam” hantu-hantuan. Di sini ada suster ngesot, kuntilanak, kamar mayat, peti mati, kuburan (dengan potongan kaki yang menyembul), dan sejenisnya. Kendati dari luar terlihat seram, Dunia Lain tak amat membuat bulu kuduk berdiri. ”Kalau menyeramkan kan nanti enggak ada yang masuk,” kata Chairul terkekeh.
Kecuali peralatan permainan seperti roller coaster atau dragon’s tower yang total nilainya Rp 300 miliar, semua pernak-pernik di Theme Park, seperti menciptakan para demit dan pohon-pohon ”bernyala”, merupakan hasil kreativitas seniman lokal. ”Saya bawa mereka ke Disneyland untuk mempelajari tempat hiburan itu,” kata Chairul. Sekitar seribu pegawai, hampir semuanya warga lokal, direkrut untuk mengoperasikan tempat wisata yang buka mulai pukul 10 pagi hingga 10 malam tersebut.Tak ada pembayaran cash untuk bersenang-senang di Theme Park. Untuk menikmati berbagai wahana di sana, pengunjung memakai kartu—semacam kartu anjungan tunai mandiri—bernama Studio Pass seharga Rp 100 ribu. Dengan kartu ini, pengunjung bisa memasuki 15 wahana, yang harga masuknya Rp 10-25 ribu. Kartu tersebut bisa diisi ulang dengan batas maksimal Rp 5 juta. Selain untuk masuk Theme Park, Studio Pass bisa digunakan makan-minum di restoran atau berbelanja di toko-toko yang bekerja sama dengan Bank Mega, bank milik Chairul.
Dengan konsep hiburan terintegral seperti ini, Chairul memang tak hanya membidik pengunjung Trans Studio dari Makassar atau Indonesia bagian timur. ”Pengunjung yang ke sini juga akan dari Surabaya, Jakarta, Singapura.” Dia memprediksi setahun sedikitnya 2 juta orang bakal membanjiri Theme Park. Setelah Makassar, dua tahun berikutnya Chairul akan membangun proyek sejenis di Bandung.
Kendati terhitung spektakuler, bagi Direktur Utama Pembangunan Jaya Ancol Budi Karya Sumadi, Trans Studio Theme Park tidak akan menyaingi Dunia Fantasi (Dufan) yang kini jadi ikon tempat hiburan Jakarta. ”Theme Park itu untuk famili, Dufan untuk teenager,” ujarnya. Menurut Budi, hal yang terpenting dalam konsep hiburan seperti ini adalah selalu memunculkan permainan atau pertunjukan baru. ”Kalau hanya begitu-begitu saja akan membuat bosan pengunjung,” ujarnya.
Mungkin ini tantangan besar untuk Theme Park ciptaan Ce Te.
L.R. Baskoro (Makassar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo