Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Jajaran bangunan batu bata neogotik berdiri di sepanjang tepi kanal di Brugge, Belgia.
Belgia adalah surga bagi pencinta bir dan Brugge adalah salah satu pusat produksi bir di masa lalu.
Salah satu ikon penting di tengah Kota Brugge adalah Grote Markt, pasar yang ada sejak awal abad ke-10.
PASCAL segera menyalakan mesin setelah penumpang berjumlah 20 orang. “Welcome on board, welcome in Brugge,” katanya lewat pelantang suara yang bersaing dengan deru mesin. Dia memegang kemudi di ujung dek perahu yang terbuka dan berbahan fiber.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Isi perahu siang itu penuh oleh turis sehingga saya hanya kebagian tempat duduk di tengah, lokasi yang tak strategis untuk mengambil foto dibanding di bagian depan, belakang, atau samping. Tapi saya tak punya pilihan lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pria yang sudah bekerja menjadi kapten perahu selama delapan tahun itu kemudian bertanya mengenai pilihan bahasa. Selain Inggris, sebagian penumpang rupanya memilih bahasa Prancis. Segera dengan lincah Pascal menjelaskan masa lalu Brugge dalam dua bahasa sambil memutar roda kemudi ke kanan dan ke kiri.
Meski pelan, air sungai berkecipak saat perahu mulai melaju. Jajaran bangunan batu bata neogotik berdiri di sepanjang tepi kanal. Beberapa dicat dengan warna-warna alam yang lembut dan selaras. Embusan angin membuat suhu 1 derajat Celsius terasa menjadi lebih dingin. Saya segera ingat adegan saat dua pembunuh bayaran, Ken dan Ray, dalam film In Bruges (2008), duduk di perahu seperti ini melintasi kanal yang sama pada musim dingin, menikmati kota sambil menanti misi selanjutnya.
Awal Desember lalu, saya mendatangi Brugge, Provinsi Flandria Barat, Belgia, yang dapat dicapai dengan kereta api selama 1,5 jam dari Kota Brussels. Saya hanya punya 36 jam untuk mengeksplorasi kota ini sebelum kembali ke Indonesia. Dengan jaringan kanal-kanal tua yang membentuk perkembangan kota, tur perahu menjadi hal yang tak boleh dilewatkan di salah satu wilayah Flanders ini.
Tur perahu menikmati bangunan-bangunan batu bata new-Gotik di Brugge, Belgia, 1 Desember 2024. TEMPO/Ika Ningtyas
Dari lima dermaga perahu yang dikelola oleh agen, saya memilih titik di Jalan Huidenvettersplein 13 yang dekat dengan pusat kota. Tur seharga 12 euro per orang dewasa ini bisa dibeli secara online atau langsung di loket keberangkatan.
Kanal-kanal yang disebut reine dalam bahasa Flemish ini adalah saksi saat Brugge menjadi pusat perdagangan internasional di Eropa barat laut pada abad pertengahan, terutama pada abad ke-12 hingga ke-16. Kanal-kanal saat itu digali dan diperluas untuk memudahkan membawa orang ataupun barang menuju Pelabuhan Zeebrugge di Laut Utara, atau sebaliknya.
Saya membayangkan hilir-mudik perahu-perahu itu, dulunya cukup sibuk mengangkut wol, kain flemish, dan barang-barang lain. Brugge pada abad ke-12 tumbuh besar karena tekstilnya, terutama kain wol dari kulit domba. Perkembangan ini mendorong Brugge menjadi rumah bagi para bangsawan dan konglomerat yang kemudian mendirikan hunian mewah, istana, gereja, rumah sakit, serta gedung-gedung administratif di sepanjang tepi kanal.
Sebagian besar bangunan di Brugge dari era abad pertengahan telah direstorasi ulang dengan corak neogotik pada awal abad ke-20 karena banyak yang rusak atau mengalami kebakaran. Semua bangunan itu masih terawat. Pada 2000, UNESCO menetapkan Brugge sebagai kota warisan dunia. Kanal-kanal tua yang bertahan hingga sekarang, meski fungsinya tak lagi seperti dulu, membuat Brugge mendapat julukan “Venesia dari Utara”, kota di Italia yang juga terkenal dengan wisata kanal-kanalnya.
Langit sedang mendung, tapi salju belum kunjung turun. Burung-burung beterbangan di atas langit. Tur ini berdurasi 45 menit, yang membawa saya memasuki lebih dari selusin lorong jembatan batu yang melengkung, menghubungkan satu jalan dengan jalan lain yang juga terbuat dari batu. Tinggi lorong tidak selalu sama dan membuat kami harus menunduk saat melintasi lorong yang lebih rendah. Saya menikmati beberapa spot menawan dan kaya sejarah.
Mula-mula adalah Jembatan Nepomuceno yang diambil dari nama Santo Yohanes dari Nepomuk (Nepomuceno), seorang santo dari Bohemia, Republik Cek. Patung Yohanes berdiri di tepi jembatan yang dianggap sebagai pelindung dari banjir dan tenggelam. Di sekitar jembatan di Jalan Wollestraat ini, kanal seolah-olah membelah bangunan-bangunan tua yang kini beralih fungsi sebagai kedai bir, restoran, toko suvenir cokelat, dan hotel dengan warna-warna yang cerah.
Pengunjung melewati 2BE Beerwall Street yang menyimpan lebih dari seribu merek bir Belgia dan gelasnya, di Brugge, Provinsi Flandria Barat, Belgia, 1 Desember 2024. TEMPO/Ika Ningtyas
Di depan terlihat pepohonan yang tersisa batang dan ranting, juga menara bata tertinggi di dunia, The Church of Our Lady, yang menjulang setinggi 115,6 meter. Spot ini salah satu favorit turis yang hari itu berlimpah. Mereka antre di jembatan, berpose, dan mengarahkan kameranya saat perahu-perahu melintas, menjadi latar yang sempurna sekaligus ikonik.
The Church of Our Lady, dengan menara lancip yang menghunjam langit, dibangun pada 1230 dan baru selesai sekitar 200 tahun kemudian pada abad ke-15. Pada abad ini, Brugge, yang telah lama menjadi ibu kota County of Flanders dan rumah bagi bangsawan mereka yang makmur, menjalani ikatan perkawinan dengan Burgundia, bangsa Skandinavia yang berasal dari pesisir selatan Laut Baltik. Para adipati Burgundia terkenal sebagai pangeran terkaya dan terkuat di Eropa. Masa ini pula yang membawa ekonomi Brugge ke puncak kesuksesan.
Di dalam The Church of Our Lady terdapat monumen makam Mary dari Burgundia yang meninggal pada 27 Maret 1482. Monumen itu dibangun oleh suaminya, Kaisar Romawi Suci Maximilian I.
Meninggalkan Jembatan Nepomuceno, perahu melewati halaman belakang rumah keluarga Gruuthuse yang besar dan megah bak istana. Rumah tersebut dibangun oleh salah satu keluarga Gruuthuse, Louis, pada abad ke-15. Ia seorang penasihat penguasa Burgundia, Philip the Good, sekaligus bangsawan kaya yang memonopoli impor dan penjualan gruit, campuran rempah-rempah untuk produksi bir pada abad pertengahan.
“Ini bangunan-bangunan yang dulunya digunakan untuk mengolah bir,” ujar Pascal sambil menunjuk rumah-rumah kosong di sekitar halaman istana. Rumah tersebut sekarang menjadi Gruuthuse Museum yang menyimpan koleksi seni, permadani, kaca patri, dan lain-lain.
Belgia adalah surga bagi pencinta bir dan Brugge adalah salah satu pusat produksi bir di masa lalu. Hingga akhir 1600-an, sebanyak 425 pabrik bir rumahan tumbuh di kota ini. Salah satu produsen tertua, De Halve Maan, yang pertama kali membuat bir pada 1564, masih beroperasi hingga sekarang.
Perahu kemudian mengarah ke Jan van Eyck Square, area untuk mengabadikan nama pelukis maestro dari abad pertengahan itu. Monumen Jan van Eyck berdiri di tengah, yang berbatasan dengan ujung kanal. Van Eyck lahir sekitar 1390. Ia menjadi salah satu pendiri seni lukis Flemish Primitif pada abad ke-15 dan ke-16 yang mempopulerkan penggunaan cat minyak.
Setelah bekerja selama beberapa tahun di Belanda Utara, Van Eyck tinggal di Brugge pada 1425, menjadi pelukis istana bagi Philip the Good. Di sinilah ia melukis karya-karya masterpiece hingga kematiannya pada 1441. Museum Brugge menyimpan dua karya Van Eyck yang paling terkenal: Madonna with Canon Joris van der Paele dan Portrait of Margareta van Eyck.
“Dengan gayanya yang unik dan penggunaan teknik melukis cat minyak yang inovatif, ia membawa revolusi total dalam seni Eropa. Realismenya yang rinci memiliki daya tarik yang tak tertahankan,” demikian laman Musea Brugge menulis saat sebuah ekshibisi Van Eyck in Bruges digelar di Groeninge Museum pada 2020.
Meninggalkan Jan van Eyck Square, perahu berbelok menuju Begijnhof sebagai putaran terakhir. Di spot ini saya bertemu dengan angsa-angsa putih yang berenang di sepanjang kanal, berjemur di tepian, atau di bawah pepohonan yang daunnya telah berguguran. Di seberangnya, biara suster Saint Vincent de Paul, yang kini digunakan sebagai panti asuhan, berdiri dengan warna merah yang kontras. Kereta-kereta kuda berjajar di depannya menanti pengunjung. Ini spot yang cukup tenang dan aduhai cantiknya.
Begijnhof sendiri berada di balik pagar tembok yang tidak terlihat sepenuhnya dari perahu. Ini adalah kawasan yang didirikan pada sekitar 1244 oleh Margaret dari Konstantinopel sebagai tempat tinggal para beguine, wanita saleh yang membaktikan diri kepada iman Kristiani. Bangunan itu kini telah dialihfungsikan menjadi tempat komunitas Ordo Santo Benediktus. Tempat ini cukup damai dengan hamparan rumput hijau yang luas, ditumbuhi pohon-pohon tua dan tinggi, serta deretan rumah bercat putih.
Selepas menjelajahi kanal-kanal, saya bergantian mengikuti walking tour gratis selama dua jam bersama pemandu lokal, Emile van de Gracht. Rombongan saya kali ini sekitar 15 orang dari berbagai negara. Kami mengunjungi beberapa situs yang sama. Namun, bedanya, kami bisa mengeksplorasi dari sudut lain dengan memasuki area-area itu, seperti Istana Gruuthuse dan Begijnhof.
Salah satu ikon penting di tengah Kota Brugge adalah Grote Markt, pasar yang sudah ada sejak awal abad ke-10 sekaligus sebagai alun-alun yang menghubungkan jalan-jalan utama di Brugge—pola jalan abad pertengahan yang tetap dipertahankan hingga kini. Pasar Natal saat itu sedang berlangsung, dengan puluhan kedai yang berdiri melingkar. Beberapa di antaranya menyemburkan aroma wafel dan cokelat panas.
Begijnhof yang menjadi tempat tinggal para beguine di Brugge pada abad pertengahan, 1 Desember 2024. TEMPO/Ika Ningtyas
Di bagian selatan pasar, menara lonceng atau belfry berdiri sejak abad ke-13 setinggi 83 meter. Saya memasuki halaman di lantai dasar yang dikelilingi bangunan bata merah dengan pintu-pintu besar melengkung dan jendela-jendela kaca patri. Dari puncak menara, carillon menghasilkan alunan musik syahdu yang terdengar ke sudut-sudut kota. Saya beruntung mengunjungi Brugge pada hari Minggu dan bisa menikmati alunan musik carillon yang hanya tersedia pada Rabu, Sabtu, dan Minggu, pukul 11.00-12.00.
“Jika ke atas, Anda akan melihat carillon dengan 47 lonceng yang terhubung dengan keyboard menghasilkan alunan musik seperti ini,” ucap Emile, lalu menengadahkan kepalanya ke arah puncak menara yang memiliki 366 anak tangga.
Selain belfry, Grote Markt dikelilingi tiga bangunan ikonik, yakni pengadilan provinsi, Historium, dan restoran-restoran mewah. Lalu di bagian tengah terdapat monumen Jan Breydel dan Pieter de Coninck, pemimpin serikat yang melawan Prancis pada abad ke-14. Kereta-kereta kuda juga terparkir di dekat pasar sebagai pilihan transportasi untuk berkeliling Brugge, selain berjalan kaki atau bersepeda.
Situs penting lain adalah Basilika Darah Kudus (Basilica of the Holy Blood) di dekat balai kota. Siang itu, pengunjung antre untuk meminta berkat di kapel atas yang menyimpan Relik Darah Kudus, yang dipercaya telah dibawa ke Bruges oleh para pejuang perang salib. Tak satu pun pengunjung boleh memotret bagian di kapel atas atau selama prosesi meminta berkat.
Kapel atas yang disucikan tersebut dibangun pada abad ke-15 dengan sentuhan dekorasi neogotik pada akhir abad ke-19. Sementara itu, kapel bawah didedikasikan untuk Santo Basil, dengan arsitektur Romawi yang langka. Setelah meminta berkat, beberapa pengunjung duduk di kapel bawah untuk berdoa.
Salah satu peserta tur yang ikut bersama saya, Abdeslam Khard dari Maroko, terkesima oleh Brugge yang merawat dengan baik semua warisan dari masa lalunya. Saat itu dia mengunjungi Brugge setelah perjalanan bisnis di Paris. “Saya senang pada wisata sejarah seperti di Brugge,” ucap Abdeslam, pengusaha elektronik di kotanya. Namun dia juga mengeluh karena kesulitan mencari hotel berharga miring akibat banyaknya turis yang datang menjelang Natal. “Sekarang harga-harga hotel cukup mahal.”
Selepas dua tur, saya tak ingin melewatkan menikmati wafel dengan topping pisang dan segelas cokelat hangat menjelang sore. Setelah itu, saya mampir sejenak ke 2BE Beerwall Street, salah satu kedai bir yang memajang 1.250 merek bir asli Belgia plus gelasnya di lemari kaca dinding sepanjang 30 meter. Letak keduanya berdekatan, hanya selemparan batu dari Jembatan Nepomuceno.
Hujan mulai jatuh dari langit Brugge, tapi bir dan cokelat panas menjadi teman sempurna saya hingga hari mulai gelap.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo