Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Domi Sasake, warga Negeri Nuruwe, Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku, memperhatikan tetes demi tetes dari uap hasil pembakaran sageru ditadahi dua jerigen yang masing-masing berukuran lima liter. Satu jerigen yang menadah ke plastik yang tersambung bambu ke drum yang dibakar itu hampir terisi penuh. Satunya lagi baru setengah. “Ini sudah jerigen keempat,” kata Domi pada Senin, 9 November 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di walang alias gubuk terbuka di tengah-tengah kebun kelapa itu, Domi sedang membuat minuman alkohol tradisional atau sopi. Ia memulai menyuling sopi sedari pukul 08.00 pagi dan biasanya rampung pada pukul 16.00. Produksi sopi ini ia sebut sebagai tipar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam satu kali produksi, Domi biasanya menggunakan bahan berupa sageru alias legen yang diambil dari pucuk bunga kelapa. Ia membutuhkan 180 liter sageru untuk menghasilkan 40 liter sopi.
Bobby Hehanusa sedang menunjukkan kopra yang telah diasap hasil panen di kebunnya di Pulau Nuruwe, Kabupaten Maluku Tengah, Senin, 9 November 2020. Tempo/Linda Trianita
Sageru sebanyak itu ia tadah selama tiga hari dari kebun kelapanya seluas satu hektare. Laki-laki 27 tahun itu memanjat pohon kelapa tiap pagi dan sore untuk mengambil tadahan sageru. Setelah terkumpul selama 180 liter tadi, Domi baru mengolahnya menjadi sopi.
Dia menjual hasil produksinya itu Rp 100 ribu per lima liter. Namun jika ada yang membeli Rp 500 ribu, Domi akan memberinya delapan jerigen lima literan. “Pembeli kadang datang ke sini, ada pula yang pesan minta dikirim,” ujarnya. Penghasilan dari memproduksi sopi tersebut ia gunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Sama halnya dengan Domi, Marces Sisinupui juga memproduksi sageru untuk menyambung hidup dan menyekolahkan dua anaknya. Ia memulai usaha ini selama 10 tahun terakhir. Sebelum menekuni bisnis turun-temurun dari orang tuanya tersebut, Marces bekerja di perusahaan milik keluarga Presiden Soeharto, Jayanti Grup.
Karena perusahaan kayu itu bangkrut, Marces akhirnya pulang kampung dan meneruskan usaha orang tuanya. “Kami punya dua hektare kebun kelapa sebagai bahan baku sopi,” kata dia.
Tak mudah menjalani bisnis ini. Menurut Marces, sering ada razia sopi di pelabuhan oleh polisi. “Kalau bernasib sial ya ditahan,” ujarnya. Penjualan sopi di Maluku masih sembunyi-sembunyi karena dianggap sebagai sumber konflik antar-warga. Kandungan alkohol sopi sebanyak 36 persen dianggap sangat memabukkan. Dalam kondisi warga yang kerap mabuk itulah, sopi dianggap sebagai pemantik konflik.
*
TANAH Nuruwe, Kabupaten Seram Bagian Barat, memang menjadi salah satu tempat subur tumbuhnya pohon kopra. Selain banyak warga yang memanfaatkan pohon kelapa sebagai bahan baku sopi, kopra biasanya dipasok untuk industri perusahaan sabun di Surabaya atau daerah lainnya.
Proses produksi sopi di Nuruwe, Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku, pada Senin, 9 November 2020. Tempo/Linda Trianita
Bobby Hehanusa dan istrinya, Mama Gina, berkebun kopra selama 20 tahun terakhir. Mereka memiliki tiga lokasi kebun kopra seluas dua hektare. Dalam setahun, Bobby bisa panen empat kali. Dalam satu musimnya, Bobby menghasilkan dua ton. Harga jual per kilogram bisa mencapai Rp 6 ribu.
Sebelum dikirim ke pabrik, kopra-kopra itu ia olah terlebih dahulu. Ia mengupas kopra tersebut lalu diasap selama tiga hari. Setelah kering dan kelapa menjadi kehitaman, Bobby memasukkannya ke karung goni untuk kemudian diangkut ke Kota Ambon lalu dikirim ke pabrik sabun di Surabaya.
Sebenarnya, kata Bobby, harga jual kopra per kilogramnya bisa lebih tinggi Jika kondisinya putih. “Tapi ribet, lama, harus jemur, bergantung ke sinar matahari,” ujarnya. Setelah penjemuran, untuk menghasilkan kopra putih itu perlu dikasih obat khusus. “Kami bertahan menjual kopra hitam, karena tidak repot mengolahnya.”
Kepala Negeri Nuruwe, Frida Hetharia, kopra dan sopi memang komoditas unggulan di daerahnya. Selain itu, ada juga ikan tangkapan nelayan dan budi daya rumput laut. “Ada sekitar 900 Hektare kebun-kebun di sini,” ujar Frida.
LINDA TRIANITA