Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Gempa buat gudel

Pertunjukan grup lawak ria jaya johny gudel diteater terbuka tim separuh gagal. terjadi kericuhan dalam grup tersebut. pimpinannya bentrok, masing-masing pemain berambisi.

14 Agustus 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GEBRAKAN pertama "Ria Jaya Jony Gudel" bulan Juni yang lalu di Teater Terbuka TIM,boleh dikatakan separoh gagal. Kendati wajah Jony dengan rambut "west-point" ditempelkan dalam poster yang keren: Gudel boyong ke TIM -- toh para petugas pada malam-malam pertunjukan itu tidak terlalu repot menampung arus penonton. Ini kemerosotan yang meskipun normal, akan tetapi menyedihkan bagi TIM yang pernah sukses menyelenggarakan "pertunjukan tengah malam" dengan rombongan Srimulat. Normal karena di samping Gudel sudah terlalu sering muncul dilayar TV,juga karena buat apa penduduk Jakarta mesti memerlukan nonton Gudel di TV kalau setiap malam sudah bisa ditonton di Ria Jaya yang bercokol di kompleks Pekan Raya Jakarta. Apalagi mutu pertunjukan tersebut tidak begitu gempal di samping tidak lagi berhasil menyuguhkan bau pedalaman yang segar dan kocak. Tambahan pula terasa tidak ada tangan pengarah yang jempolan. Ia menjadi kendor, lebih banyak mengarah kepada busana yang gemerlapan dan keinginan menunjukkan diri sebagai sejumlah orang yang sedang menebus keterlambatan rezeki dan lingkungan hidupnya di masa lalu. Sekarang terjadi kericuhan pula. Atmonadi yang merintis berdirinya Ria Jaya dengan keinginan menempatkan "Atmonadi Plus" sebagai intinya, akhir-akhir ini terdepak. Ia mula-mula bebas aktif. Kemudian terdengar beberapa anggota Ria Jaya mulai tak suka kalau "Atmonadi Plus" menjadi semacam barikade yang membuat kehidupan keluarga rombongan pelawak ini tidak sama rata. Juga di antaranya ada yang mulai tidak puas, kenapa kumpulan itu mesti bernama Ria Jaya "Jony Gudel" -- karena merasa Gudel makin lama makin merosot mainnya, sementara beberapa orang mulai mendapat pasaran main di luar acara rutin -- pada pesta atau klab malam misalnya. Tidak dapat dimungkiri bahwa sedang berjangkit suasana berebutan popularitas dan kemudian erat hubungannya dengan soal status dan rezeki -- yang sudah galib menjadi bahan sengketa sebuah grup. Ali Sadikin tentu saja jadi gusar. Dalam kesempatan pemberian piagam dan hadiah bagi 25 artis belum lama ini ia minta agar ada kerukunan sebelum hari Proklamasi. Atmonadi mengaku pada TEMPO bahwa dia sudah disingkirkan, tatkala pangkatnya "dinaikkan" dari Pimpinan Harian Yayasan di samping sebagai pemain, menjadi sesepuh atau pembina dalam Yayasan sendiri. Kendati masih bergaji Rp 25 ribu sebulan, pelawak ini lebih suka mengerjakan ukiran di rumahnya. Dan kalau kemudian ia menyatakan diri keluar itu karena ia merasa tidak puas dengan sistim kerja yang ada. Ia merasa didikte terus. Pernah "Atmonadi Plus" yang beranggota saudara-saudara Atmonadi sendiri -- termasuk Gudel -- diharapkan bubar oleh Yayasan. "Kenapa mesti bubar, kalau Atmonadi Plus main di mana-mana kan sama saja sebagai promosi Ria Jaya", bantah Atmo. Kemudian terjadi gencatan senjata: asalkan kalau dapat objekan di luar Atmonadi Plus memberi upeti pada Ria Jaya sebesar 60% (30% kesejahteraan, 10% kas, selebihnya untuk pemain top yang ditinggal). "Ini ya tidak benar masak yang capek saya, yang dapat besar mereka" keluh Atmo selanjutnya. Apalagi Herman Samadikun yang menjadi cukong Ria Jaya tidak pernah mengizinkan Atmo melongok angka-angka penghasilan Ria Jaya. Orang tua ini mulai curiga. Setahunya kalau ada borongan pertunjukan, paling tidak setengah juta masuk untuk sekali main. Diperkirakannya juga pada awal-awal hidup Ria Jaya satu bulannya bisa mencapai omzet Rp 12 juta. Klik Belakangan menurut Atmo, Ria Jaya mulai mundur lalu jadi kacau karena mulai terjangkit "klik-klikan". Belum lagi peristiwa pemecatan 7 pekerja dekorasi termasuk saudara Parmin, Toto dan Sulistio. Mereka didepak tanpa pesangon apa-apa, sehingga kawan-kawannya terpaksa memberikan sumbangan sukarela. Sulistio begitu marahnya, sehingga ia lupa bahwa Ria Jaya adalah rumah para pelawak -- ia masuk ke kantor menginjak-injak mesin ketik sambil meludah -- cuh-cuh -- ke atas meja Zainal yang ketua harian. Ulah ini segera diadukan pada polisi, akibatnya Sulistio ditahan selama 2 malam di Pos Polisi Pekan Raya Jakarta, kemudian sekitar pukul 2 malam tampak mobil Herman membawanya ke kantor Polisi Jatibaru. Peristiwa ini menyedihkan hati Gudel juga, ia pun segera menampung korban-korban itu sebelum kembali ke Surabaya, lantaran mereka tidak diperkenankan lagi bernaung di asrama Ria Jaya, baik yang ada di Setiabudi maupun yang di jalan Baladewa. "Biar dibayar sejuta, saya tetap tidak mau kembali lagi. Saya akan cari cukong baru", ujar Atmo. "Mereka ada kesalahan yang luar biasa", sahut Zaenal menerangkan ikhwal 7 korban yang diakuinya ditendang tanpa pesangon. Akan Atmo, ia pun bisa menunjukkan berapa banyak pelawak kawakan ini berbuat "salah" Mula-mula Ia menolak sama sekali anggapan bahwa ia menyingkirkan Atmo. "Kami hanya' ingin menempatkan pekerjaan pada orang yang bisa mengerjakan" kata Zaenal. Tersebutlah pada suatu kali Atmo (yang berhonor Rp 3000 sehari plus Rp 1 ribu untuk uang bensin) datang untuk minta uangnya. Ternyata uang bensinnya sudah menjadi hanya Rp 5 ratus dan kemudian malah terus merosot jadi Rp 2 ratus. Lantaran jengkelnya orang tua ini hampir melempar asbak pada Zaenal, meskipun orang ini adalah kakak Herman Samadikun. Mungkin ini di antaranya yang dianggap oleh Zaenal sebagai penghinaan di muka umum, sehingga kedudukan orang tua itu dilimpahkan begitu saja pada Jony Gudel. Sementara itu "Atmonadi Plus" yang seiing main di luar, ternyata tak pernah "nyetor", ini dianggap sangat merugikan. "Kalau mereka tidak mau memberikan pertanggungan jawabnya maka kami akan meneruskan ke Pengadilan", kata Zaenal. Sesudah itu ia berniat untuk menepati ketentuan undang-undang Perburuhan untuk pencoretan nama Atmonadi karena sudah 3 bulan tidak pernah hadir. 'Kalau Atmonadi merasa tidak digaji, itu salah sendiri. Mestinya kalau mau ambil gaji ya datang dong, saya tidak mau mengantarkan ke rumah", katanya selanjutnya. Akan kemungkinan Gudel, sebagai anggota Atmonadi Plus, menunjukkan solidaritas terhadap kakaknya, Ia pun sudah siap. Bahkan kalau sampai keadaannya bertambah kacau sehingga Gudel harus keluar, orang ini kelihatannya berani-berani saja. "Silakan kalau Gudel mau keluar, kami tidak menghalangi. Ria Jaya akan jalan terus. Soal nama kan bisa diganti". Wong Dia Kuasa Gudel yang sebetulnya lebih suka melawak daripada mikir jadi biru karena soal ini. Rasa sayang pada abangnya membuat ia canggung ikut Ria Jaya, tetapi untuk memilih Atmonadi Plus, ia merasa masih berhutang budi pada Herman Samadikun. Apalagi pemilik perusahaan film Djati Jaya ini sedang menggagas juga untuk membuat film berjudul "Jony Gudel Detekti Partikulir" -- bersama Konsorsium Amerika Eropa II. Tatkala Atmo digeser, ia dapat panggilan. Didampingi oleh isterinya ia masih ingat kata-kata Herman Samadikun: "Saya ini cuma tahu kamu dan isterimu? maka sekarang pimpinan kamu pegang ya, nanti kamu saya beri 10% dari hasil pertunjukan setiap bulan". Sekali sesudah itu Gudel memang menerima Rp 70.000, inipun terpotong oleh hutang yang seharusnya ia bayar dengan cicilan. "Sebetulnya saya tak pernah menuntut itu", kata Gudel. "Tapi janjinya pada saya banyak yang tidak ditepati". Mengenai soal main luar ia menyatakan agak heran juga. "Peraturannya untuk melarang ini tidak ada, kok pakai dilarang?" Dengan segala tidak mengertinya, ia merasa main di luar sangat bermanfaat sebagai tambahan maupun untuk promosi. Pernah banyak anggota mengeluh diam-diam, tatkala Gudel pegang pimpinan. Satu hal karena Cudel memang tidak siap untuk itu. Pada hakekatnya ia seorang pelawak yang baik, mungkin sekali jabatan baru itu seperti semacam badutan juga buatnya. Tetapi tatkala kemudian menyangkut soal-soal rutin yang memerlukan formalitas seperti surat menyurat misalnya, keluar juga keluhan. Tetapi yang lebih mengejutkan adalah ketika Herman mendadak menarik jabatan itu kembali. "Pak Herman ini nggak tahu gimana, ketika mengangkat saya sebagai pimpinan memakai surat, tetapi ketika mencabut, tidak. Pak Herman hanya ngomong dengan saya Del, sekarang begini, supaya lebih beres semuanya saya pegang,kamu lebih baik mencurahkan perhatian pada melawak saja". Dasar Gudel sabar dan lugu, dia terima saja tanpa banyak cileong. "Mau ngomong apa, wong dia yang kuasa kok". Tapi kemudian dia mengeluh juga kalau sampai terus ada klik-klikan mungkin dia lebih baik mundur saja. "Wong saya ini keluar dari Srimulat kepingin bebas, sekarang kok malah mau dikurung begini", ujarnya. Kendati ia boleh main di luar asal pakai nama Ria Jaya -- dia tidak diperkenankan lagi bermain bersama kang mas Atmonadi. Ini bagi Gudel sama dengan memecah belah. "Saya tidak mungkin pisah dengan Pak Atmo karena Pak Atmolah yang mengangkat nama saya pertamakali di Jakarta dengan Atmonadi Plus . Silakan Keluar Selain Gudel, orang yang penting kini di Ria Jaya adalah Karjo -- wanita palsu yang "ac-dc' itu. Juga Budi Sr. sang penyanyi eksentrik yang selalu menjadi sekutu Karjo, kalau dapat objekan di klab malam. Keduanya kini bertambah gendut, lebih banyak meneguk bir dan sering gentayangan di jalan raya dengan sepeda motornya. Keduanya memiliki bakat yang baik, keduanya kompak dan keduanya juga mempunyai kepercayaan yang besar, bahkan kalau diberikan kesempatan mereka juga bisa jadi besar. Apalagi ada kabar tercium mereka sedang diintai untuk dipindahkan pada layar perak oleh seorang sutradara film. Pendeknya Gudel ada kemungkinan akan tersaingi kalau lawakannya terus menurun akibat menanggung banyak fikiran seperti sekarang. Mereka berdua tidak mengerti kenapa Atmo keluar dari Ria Jaya, sepengetahuan keduanya Ria Jaya tidak ada niat bertindak begitu. "Memang kedudukannya dipindahkan menjadi pembina, tapi bukan berarti tidak boleh main". ujar Budi. Ia merasa Atmo sendiri yang lucu karena setiap kali dicantumkan sebagai pemain selalu menolak. Tetapi andaikan ada tetamu relasinya sendiri nonton, baru orang tua itu unjuk kebolehannya. "Publik sepel semacarn ini kan merugikan pemain lain", kata Budi dengan mukanya yang angker tetapi sayu itu. Mengenai Atmonadi Plus ia berpendapat -- hal tersebut tidak wajar karena tidak mungkin dalam sebuah organisasi ada grup lain yang anggotanya dari organisasi itu sendiri. "Ini akan merepotkan dan merugikan organisasi di samping itu juga akan membuat permainan menjadi tidak kompak", katanya sambil memberi contoh-contoh. Misalkan saja, ada perbenturan waktu main, Ria Jaya akan dirugikan, penonton kecewa, sementara Atmonadi Plus dapat duit lebih banyak. Budi dan Karjo tak ragu akan kemampuan Atmo dan Gudel dalam soal lawak. Mereka juga tidak keberatan Atmonadi Plus main di luar asalkan tidak lupa menyebutkan "dibantu oleh Ria Jaya" sepanjang mereka membawa angota Ria Jaya. Artinya kadangkala harus juga membawa anggota Ria Jaya yang lain, bukan hanya Gudel dan Djarot. Mengenai pemindahan Atmo dari pimpinan menjadi pembina, Budi malah mengatakan itu tepat karena diharapkan Atmo bisa memberikan petunjuk-petunjuknya. 'DaRipada ia jadi pimpinan tapi tidak becus, ya bagaimana si dia bisa memimpin kalau masih secara kuno"? Sementara Karjo yang tenang-tenang dan yakin pada dirinya sendiri, hanya memberi komentar sedikit, seandainya gempa perpecahan ini sampai mengakibatkan Gudel ikul keluar. "Silakan saja, dia toh cuma menang nama tapi kwalitet lihat saja nanti'. Begitulah, jelas sekarang Ria Jaya sedang mengalami ujian, antara ambisi dari para pemainnya sendiri dau proses pematangannya sebagai sebuah organisasi yang memerlukan pengaturan yang bisa memuaskan semua. Jangan dikira dasar badut mereka juga membutuhkan ketenteraman yang bahasa klisenya "keadilan".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus