GEBRAKAN pertama "Ria Jaya Jony Gudel" bulan Juni yang lalu di
Teater Terbuka TIM,boleh dikatakan separoh gagal. Kendati wajah
Jony dengan rambut "west-point" ditempelkan dalam poster yang
keren: Gudel boyong ke TIM -- toh para petugas pada malam-malam
pertunjukan itu tidak terlalu repot menampung arus penonton. Ini
kemerosotan yang meskipun normal, akan tetapi menyedihkan bagi
TIM yang pernah sukses menyelenggarakan "pertunjukan tengah
malam" dengan rombongan Srimulat. Normal karena di samping
Gudel sudah terlalu sering muncul dilayar TV,juga karena buat
apa penduduk Jakarta mesti memerlukan nonton Gudel di TV kalau
setiap malam sudah bisa ditonton di Ria Jaya yang bercokol di
kompleks Pekan Raya Jakarta. Apalagi mutu pertunjukan tersebut
tidak begitu gempal di samping tidak lagi berhasil menyuguhkan
bau pedalaman yang segar dan kocak. Tambahan pula terasa tidak
ada tangan pengarah yang jempolan. Ia menjadi kendor, lebih
banyak mengarah kepada busana yang gemerlapan dan keinginan
menunjukkan diri sebagai sejumlah orang yang sedang menebus
keterlambatan rezeki dan lingkungan hidupnya di masa lalu.
Sekarang terjadi kericuhan pula. Atmonadi yang merintis
berdirinya Ria Jaya dengan keinginan menempatkan "Atmonadi Plus"
sebagai intinya, akhir-akhir ini terdepak. Ia mula-mula bebas
aktif. Kemudian terdengar beberapa anggota Ria Jaya mulai tak
suka kalau "Atmonadi Plus" menjadi semacam barikade yang membuat
kehidupan keluarga rombongan pelawak ini tidak sama rata. Juga
di antaranya ada yang mulai tidak puas, kenapa kumpulan itu
mesti bernama Ria Jaya "Jony Gudel" -- karena merasa Gudel makin
lama makin merosot mainnya, sementara beberapa orang mulai
mendapat pasaran main di luar acara rutin -- pada pesta atau
klab malam misalnya. Tidak dapat dimungkiri bahwa sedang
berjangkit suasana berebutan popularitas dan kemudian erat
hubungannya dengan soal status dan rezeki -- yang sudah galib
menjadi bahan sengketa sebuah grup. Ali Sadikin tentu saja jadi
gusar. Dalam kesempatan pemberian piagam dan hadiah bagi 25
artis belum lama ini ia minta agar ada kerukunan sebelum hari
Proklamasi.
Atmonadi mengaku pada TEMPO bahwa dia sudah disingkirkan,
tatkala pangkatnya "dinaikkan" dari Pimpinan Harian Yayasan di
samping sebagai pemain, menjadi sesepuh atau pembina dalam
Yayasan sendiri. Kendati masih bergaji Rp 25 ribu sebulan,
pelawak ini lebih suka mengerjakan ukiran di rumahnya. Dan kalau
kemudian ia menyatakan diri keluar itu karena ia merasa tidak
puas dengan sistim kerja yang ada. Ia merasa didikte terus.
Pernah "Atmonadi Plus" yang beranggota saudara-saudara Atmonadi
sendiri -- termasuk Gudel -- diharapkan bubar oleh Yayasan.
"Kenapa mesti bubar, kalau Atmonadi Plus main di mana-mana kan
sama saja sebagai promosi Ria Jaya", bantah Atmo. Kemudian
terjadi gencatan senjata: asalkan kalau dapat objekan di luar
Atmonadi Plus memberi upeti pada Ria Jaya sebesar 60% (30%
kesejahteraan, 10% kas, selebihnya untuk pemain top yang
ditinggal). "Ini ya tidak benar masak yang capek saya, yang
dapat besar mereka" keluh Atmo selanjutnya. Apalagi Herman
Samadikun yang menjadi cukong Ria Jaya tidak pernah mengizinkan
Atmo melongok angka-angka penghasilan Ria Jaya. Orang tua ini
mulai curiga. Setahunya kalau ada borongan pertunjukan, paling
tidak setengah juta masuk untuk sekali main. Diperkirakannya
juga pada awal-awal hidup Ria Jaya satu bulannya bisa mencapai
omzet Rp 12 juta.
Klik
Belakangan menurut Atmo, Ria Jaya mulai mundur lalu jadi kacau
karena mulai terjangkit "klik-klikan". Belum lagi peristiwa
pemecatan 7 pekerja dekorasi termasuk saudara Parmin, Toto dan
Sulistio. Mereka didepak tanpa pesangon apa-apa, sehingga
kawan-kawannya terpaksa memberikan sumbangan sukarela. Sulistio
begitu marahnya, sehingga ia lupa bahwa Ria Jaya adalah rumah
para pelawak -- ia masuk ke kantor menginjak-injak mesin ketik
sambil meludah -- cuh-cuh -- ke atas meja Zainal yang ketua
harian. Ulah ini segera diadukan pada polisi, akibatnya Sulistio
ditahan selama 2 malam di Pos Polisi Pekan Raya Jakarta,
kemudian sekitar pukul 2 malam tampak mobil Herman membawanya ke
kantor Polisi Jatibaru. Peristiwa ini menyedihkan hati Gudel
juga, ia pun segera menampung korban-korban itu sebelum kembali
ke Surabaya, lantaran mereka tidak diperkenankan lagi bernaung
di asrama Ria Jaya, baik yang ada di Setiabudi maupun yang di
jalan Baladewa. "Biar dibayar sejuta, saya tetap tidak mau
kembali lagi. Saya akan cari cukong baru", ujar Atmo.
"Mereka ada kesalahan yang luar biasa", sahut Zaenal menerangkan
ikhwal 7 korban yang diakuinya ditendang tanpa pesangon. Akan
Atmo, ia pun bisa menunjukkan berapa banyak pelawak kawakan ini
berbuat "salah" Mula-mula Ia menolak sama sekali anggapan bahwa
ia menyingkirkan Atmo. "Kami hanya' ingin menempatkan pekerjaan
pada orang yang bisa mengerjakan" kata Zaenal. Tersebutlah pada
suatu kali Atmo (yang berhonor Rp 3000 sehari plus Rp 1 ribu
untuk uang bensin) datang untuk minta uangnya. Ternyata uang
bensinnya sudah menjadi hanya Rp 5 ratus dan kemudian malah
terus merosot jadi Rp 2 ratus. Lantaran jengkelnya orang tua ini
hampir melempar asbak pada Zaenal, meskipun orang ini adalah
kakak Herman Samadikun. Mungkin ini di antaranya yang dianggap
oleh Zaenal sebagai penghinaan di muka umum, sehingga kedudukan
orang tua itu dilimpahkan begitu saja pada Jony Gudel. Sementara
itu "Atmonadi Plus" yang seiing main di luar, ternyata tak
pernah "nyetor", ini dianggap sangat merugikan. "Kalau mereka
tidak mau memberikan pertanggungan jawabnya maka kami akan
meneruskan ke Pengadilan", kata Zaenal. Sesudah itu ia berniat
untuk menepati ketentuan undang-undang Perburuhan untuk
pencoretan nama Atmonadi karena sudah 3 bulan tidak pernah
hadir. 'Kalau Atmonadi merasa tidak digaji, itu salah sendiri.
Mestinya kalau mau ambil gaji ya datang dong, saya tidak mau
mengantarkan ke rumah", katanya selanjutnya. Akan kemungkinan
Gudel, sebagai anggota Atmonadi Plus, menunjukkan solidaritas
terhadap kakaknya, Ia pun sudah siap. Bahkan kalau sampai
keadaannya bertambah kacau sehingga Gudel harus keluar, orang
ini kelihatannya berani-berani saja. "Silakan kalau Gudel mau
keluar, kami tidak menghalangi. Ria Jaya akan jalan terus. Soal
nama kan bisa diganti".
Wong Dia Kuasa
Gudel yang sebetulnya lebih suka melawak daripada mikir jadi
biru karena soal ini. Rasa sayang pada abangnya membuat ia
canggung ikut Ria Jaya, tetapi untuk memilih Atmonadi Plus, ia
merasa masih berhutang budi pada Herman Samadikun. Apalagi
pemilik perusahaan film Djati Jaya ini sedang menggagas juga
untuk membuat film berjudul "Jony Gudel Detekti Partikulir" --
bersama Konsorsium Amerika Eropa II. Tatkala Atmo digeser, ia
dapat panggilan. Didampingi oleh isterinya ia masih ingat
kata-kata Herman Samadikun: "Saya ini cuma tahu kamu dan
isterimu? maka sekarang pimpinan kamu pegang ya, nanti kamu saya
beri 10% dari hasil pertunjukan setiap bulan". Sekali sesudah
itu Gudel memang menerima Rp 70.000, inipun terpotong oleh
hutang yang seharusnya ia bayar dengan cicilan. "Sebetulnya saya
tak pernah menuntut itu", kata Gudel. "Tapi janjinya pada saya
banyak yang tidak ditepati". Mengenai soal main luar ia
menyatakan agak heran juga. "Peraturannya untuk melarang ini
tidak ada, kok pakai dilarang?" Dengan segala tidak mengertinya,
ia merasa main di luar sangat bermanfaat sebagai tambahan
maupun untuk promosi.
Pernah banyak anggota mengeluh diam-diam, tatkala Gudel pegang
pimpinan. Satu hal karena Cudel memang tidak siap untuk itu.
Pada hakekatnya ia seorang pelawak yang baik, mungkin sekali
jabatan baru itu seperti semacam badutan juga buatnya. Tetapi
tatkala kemudian menyangkut soal-soal rutin yang memerlukan
formalitas seperti surat menyurat misalnya, keluar juga keluhan.
Tetapi yang lebih mengejutkan adalah ketika Herman mendadak
menarik jabatan itu kembali. "Pak Herman ini nggak tahu gimana,
ketika mengangkat saya sebagai pimpinan memakai surat, tetapi
ketika mencabut, tidak. Pak Herman hanya ngomong dengan saya
Del, sekarang begini, supaya lebih beres semuanya saya
pegang,kamu lebih baik mencurahkan perhatian pada melawak saja".
Dasar Gudel sabar dan lugu, dia terima saja tanpa banyak
cileong. "Mau ngomong apa, wong dia yang kuasa kok". Tapi
kemudian dia mengeluh juga kalau sampai terus ada klik-klikan
mungkin dia lebih baik mundur saja. "Wong saya ini keluar dari
Srimulat kepingin bebas, sekarang kok malah mau dikurung
begini", ujarnya. Kendati ia boleh main di luar asal pakai nama
Ria Jaya -- dia tidak diperkenankan lagi bermain bersama kang
mas Atmonadi. Ini bagi Gudel sama dengan memecah belah. "Saya
tidak mungkin pisah dengan Pak Atmo karena Pak Atmolah yang
mengangkat nama saya pertamakali di Jakarta dengan Atmonadi
Plus .
Silakan Keluar
Selain Gudel, orang yang penting kini di Ria Jaya adalah Karjo
-- wanita palsu yang "ac-dc' itu. Juga Budi Sr. sang penyanyi
eksentrik yang selalu menjadi sekutu Karjo, kalau dapat objekan
di klab malam. Keduanya kini bertambah gendut, lebih banyak
meneguk bir dan sering gentayangan di jalan raya dengan sepeda
motornya. Keduanya memiliki bakat yang baik, keduanya kompak dan
keduanya juga mempunyai kepercayaan yang besar, bahkan kalau
diberikan kesempatan mereka juga bisa jadi besar. Apalagi ada
kabar tercium mereka sedang diintai untuk dipindahkan pada layar
perak oleh seorang sutradara film. Pendeknya Gudel ada
kemungkinan akan tersaingi kalau lawakannya terus menurun akibat
menanggung banyak fikiran seperti sekarang. Mereka berdua tidak
mengerti kenapa Atmo keluar dari Ria Jaya, sepengetahuan
keduanya Ria Jaya tidak ada niat bertindak begitu. "Memang
kedudukannya dipindahkan menjadi pembina, tapi bukan berarti
tidak boleh main". ujar Budi. Ia merasa Atmo sendiri yang lucu
karena setiap kali dicantumkan sebagai pemain selalu menolak.
Tetapi andaikan ada tetamu relasinya sendiri nonton, baru orang
tua itu unjuk kebolehannya. "Publik sepel semacarn ini kan
merugikan pemain lain", kata Budi dengan mukanya yang angker
tetapi sayu itu. Mengenai Atmonadi Plus ia berpendapat -- hal
tersebut tidak wajar karena tidak mungkin dalam sebuah
organisasi ada grup lain yang anggotanya dari organisasi itu
sendiri. "Ini akan merepotkan dan merugikan organisasi di
samping itu juga akan membuat permainan menjadi tidak kompak",
katanya sambil memberi contoh-contoh. Misalkan saja, ada
perbenturan waktu main, Ria Jaya akan dirugikan, penonton
kecewa, sementara Atmonadi Plus dapat duit lebih banyak.
Budi dan Karjo tak ragu akan kemampuan Atmo dan Gudel dalam soal
lawak. Mereka juga tidak keberatan Atmonadi Plus main di luar
asalkan tidak lupa menyebutkan "dibantu oleh Ria Jaya" sepanjang
mereka membawa angota Ria Jaya. Artinya kadangkala harus juga
membawa anggota Ria Jaya yang lain, bukan hanya Gudel dan
Djarot. Mengenai pemindahan Atmo dari pimpinan menjadi pembina,
Budi malah mengatakan itu tepat karena diharapkan Atmo bisa
memberikan petunjuk-petunjuknya. 'DaRipada ia jadi pimpinan tapi
tidak becus, ya bagaimana si dia bisa memimpin kalau masih
secara kuno"? Sementara Karjo yang tenang-tenang dan yakin pada
dirinya sendiri, hanya memberi komentar sedikit, seandainya
gempa perpecahan ini sampai mengakibatkan Gudel ikul keluar.
"Silakan saja, dia toh cuma menang nama tapi kwalitet lihat
saja nanti'. Begitulah, jelas sekarang Ria Jaya sedang mengalami
ujian, antara ambisi dari para pemainnya sendiri dau proses
pematangannya sebagai sebuah organisasi yang memerlukan
pengaturan yang bisa memuaskan semua. Jangan dikira dasar badut
mereka juga membutuhkan ketenteraman yang bahasa klisenya
"keadilan".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini