PENGANTAR HUKUM INTERNASIONAL
oleh: Prof.Dr. Mochtar Kusumaatmadja, penerbit: Binacipta,
Bandung, Maret 1976, Buku I -- Bagian Umum, Cetakan pertama,
IX, 149 halaman.
***
PERKARA "tembakau Bremen" pernah ramai. Dan dari situ Profesor
Mochtar Kusumaatmadja menarik satu hal penting: walaupun hukum
nasional Indonesia melandasi tindakan nasionalisasi perusahaan
perkebunan Belanda di tahun 1950-an itu, tidak berarti Indonesia
mengingkari prinsip-prinsip ganti rugi menurut hukum
internasional (HI). Sama halnya dengan Wawasan Nusantara. Dalam
melaksanakan kebijaksanaan hukum laut baru itu, "Indonesia di
samping kepentingannya sendiri, selalu memperhatikan pula
kepentingan pihak lain dan masyarakat internasional pada
umumnya".
Kasus-kasus di atas telah membawa penulis pada kesimpulan,
"bahwa pada masa dan tingkat perkembangan masyarakat
internasional dewasa ini, hukum internasional cukup memiliki
kewibawaan terhadap hukuln nasional, untuk mengatakan bahwa pada
umumnya hukum internasional itu ditaati dan hukum nasional itu
pada hakekatnya tunduk pada hukum internasional" (60). Ini
diperlukan "apabila kita menghendaki adanya masyarakat
internasional yang aman dan sejahtera . . ." Konsekwensinya,
"hukum nasional mau tidak mau harus tunduk pada hukum
internasional" (86).
Dari pembahasan yang menyita 39 halaman berkenaan dengan
masalah hubungan antara HI dan hukum nasional ini, kentara arah
penulis sebagai sarjana yang pro kepada faham monisme dengan
primat HI. Sebab ada pula pemikir yang memilih monisme dengan
primat hukum nasionaL. Di sini HI bersumber pada hukum nasional.
Di samping itu pada kutub lain ada pula penganut dualisme, yang
percaya bahwa HI dan hukum nasional itu merupakan dua sistim
hukum yang terpisah satu dengan lainnya.
Tapi benarkah terjamin adanya "masyarakat internasional yang
aman dan sejahtera", biarpun hukum nasional tunduk pada HI?
Pertanyaan ini mungkin akhirnya kembali mengutik-utik mengenai
ada tidaknya HI, atau betulkah HI merupakan hukum dalam arti
sebenarnya -- seperti yang pernah disangsikan terutama Austin
(sarjana hukum dari Inggeris yang terkemuka itu). HI memang lain
dengan hukum dalam pengertian umum, yang galibnya diasosiasikan
orang dengan kekuasaan legislatif, kehakiman dan polisionil.
Tiadanya badan-badan demikian dalam sistim HI akan bisa
dimengerti, karena toh sifat HI adalah koordinatif. Bukankah tak
ada suatu negara yang mau dibawahi negara lain?
Mochtar tak mengabaikan permasalahan ini. Untuk membantah
Austin, ia menunjukkan adanya hukum adat di Indonesia sebagai
suatu sistim hukum adat di Indonesia sebagai suatu sistim hukum
tersendiri. "Memang adanya badan legislatif badan kehakiman dan
polisi merupakan ciri-ciri yang jelas daripada suatu sistim
hukum positip yang effektip", ujar pengripta, "akan tetapi ini
tidak berarti bahwa tanpa lembaga-lembaga ini tidak ada terdapat
hukum" (43 ).
Lalu, seperti ditanyakan Mochtar sendiri, apa yang menjadi dasar
kekuatan mengikat HI? Ia menerangkan berbagai mazhab dari hukum
alam sampai pada mazhab sosiologis: Mochtar sendiri
berpandangan, hukum itu ada dan berlaku "karena dibutuhkan oleh
kehidupan manusia yang beradab". Pandangan ini juga berlaku bagi
masyarakat internasional. "Jadi adanya hukum dan daya ikat hukum
tidak bersumber kepada kemauan negara", sebutnya ketika menolak
faham dualisme, "melainkan merupakan prasyarat bagi kehidupan
manusia yang teratur dan beradab . . . "
Orang boleh setuju atau tidak dengan penulis. Tapi mereka yang
dapat memahaminya, tak perlu lagi bertanya lebih lanjut:
tindakan apa yang dapat dilakukan secara konkrit bila suatu
negara tak mematuhi ketentuan-ketentuan dalam perangkat HI?
Orang ingat PBB. Karena badan itu bukan sebuah pemerintahan
dunia maka Majelis Umum tidak pula dapat dianggap sebagai
sesesuatu badan legislatip untuk masyarakat ( 144). Lagipula
menurut Pasal 10 Piagam PBB, keputusan MU hanya mempunyai
kekuatan sebagai anjuran. "Walaupun demikian", sela Mochtar
ketika membicarakan kemungkinan keputusan-keputusan organisasi
internasional sebagai sumber HI. "tidak dapat disangkal bahwa
keputusan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa ini ada
kalanya mempunyai kekuatan yang jauh melebihi arti formil
keputusan-keputusan itu sebagaimana diatur dalam Piagam". Ketika
sampai pada contoh Pernyataan Umum Mengenai Hak-Hak Azasi
Manusia, 1948, pengarang menulis "sepanjang pengetahuan penulis
tidak ada satu pemerintahpun di dunia ini yang telah berani
secara terang-terangan menentang pernyataan umum hak azasi
manusia ini" (145).
Sumber HI yang menonjol sekarang ini adalah perjanjian
internasional tidak lagi kebiasaan internasional seperti pada
mula-mula pertumbuhan HI. Itulah sebabnya penulis memerlukan 25
halaman untuk membincangkan masalah traktat ini. Di dalamnya
disinggung juga praktek Indonesia mengenai perjanjian
internasional UUD 1945 serta keluarnya Indonesia dari PBB, 1965.
Sebagai sebuah karya tulis, tentu saja, kitab berwarna hijau ini
tak ada menyelipkan lelucon, humor dan asosiasi-asosiasi
penarik, sebagaimana kerap disuguhkan guru besar HI itu dalam
memantapkan perkuliahannya. Tapi bahasanya jelas, serta gaya
penyajian lempang.
Patut pula dipujikan usaha penulis untuk mendahulukan istilah
Indonesia dari istilah asli dalam bahasa asing: pengesyahan
bunyi naskah (authentication of the text), penerimaan naskah
(adoption ot the text), perjanjian (treaty), persetujuan
(agreement) -- beberapa contoh dalam bidang perjanjian
internasional.
Kalau akan disebutkan kejanggalan barangkali adalah komposisi
alinea, ada yang amat panjang, padahal bisa dipenggal-penggal.
Tiadanya indeks dan daftar kepustakaan memang mungkin
menyulitkan, tapi sudah disadari lebih dahulu oleh penulis.
"Keinginan untuk menyajikan naskah yang sebaik mungkin",
sebutnya dalam Pengantar, "harus mengalah pada kebutuhan yang
mendesak" (IX). Karena itu Buku I ini baru menyangkut
pengertian-pengertian pokok. Akan menyusul Buku II, di samping
jilid kawan (istilahnya untuk companion volume) yang akan memuat
kasus-kasus dan bahan-bahan lain
Buku-buku HI yang ditulis bangsa sendiri bukan tak ada
sebelumnya. Tapi munculnya sebuah kitab HI umum dari orang"nya
patut disambut dengan agak istimewa. Apalagi ia banyak berpijak
pada buminya sendiri Indonesia.
Zen Umar Purba SH
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini