Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Meyakini hukum internasional

Pengarang: prof.dr.mochtar kusumaatmadja bandung: binacipta, 1976 resensi oleh: zen umar purba. (bk)

14 Agustus 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENGANTAR HUKUM INTERNASIONAL oleh: Prof.Dr. Mochtar Kusumaatmadja, penerbit: Binacipta, Bandung, Maret 1976, Buku I -- Bagian Umum, Cetakan pertama, IX, 149 halaman. *** PERKARA "tembakau Bremen" pernah ramai. Dan dari situ Profesor Mochtar Kusumaatmadja menarik satu hal penting: walaupun hukum nasional Indonesia melandasi tindakan nasionalisasi perusahaan perkebunan Belanda di tahun 1950-an itu, tidak berarti Indonesia mengingkari prinsip-prinsip ganti rugi menurut hukum internasional (HI). Sama halnya dengan Wawasan Nusantara. Dalam melaksanakan kebijaksanaan hukum laut baru itu, "Indonesia di samping kepentingannya sendiri, selalu memperhatikan pula kepentingan pihak lain dan masyarakat internasional pada umumnya". Kasus-kasus di atas telah membawa penulis pada kesimpulan, "bahwa pada masa dan tingkat perkembangan masyarakat internasional dewasa ini, hukum internasional cukup memiliki kewibawaan terhadap hukuln nasional, untuk mengatakan bahwa pada umumnya hukum internasional itu ditaati dan hukum nasional itu pada hakekatnya tunduk pada hukum internasional" (60). Ini diperlukan "apabila kita menghendaki adanya masyarakat internasional yang aman dan sejahtera . . ." Konsekwensinya, "hukum nasional mau tidak mau harus tunduk pada hukum internasional" (86). Dari pembahasan yang menyita 39 halaman berkenaan dengan masalah hubungan antara HI dan hukum nasional ini, kentara arah penulis sebagai sarjana yang pro kepada faham monisme dengan primat HI. Sebab ada pula pemikir yang memilih monisme dengan primat hukum nasionaL. Di sini HI bersumber pada hukum nasional. Di samping itu pada kutub lain ada pula penganut dualisme, yang percaya bahwa HI dan hukum nasional itu merupakan dua sistim hukum yang terpisah satu dengan lainnya. Tapi benarkah terjamin adanya "masyarakat internasional yang aman dan sejahtera", biarpun hukum nasional tunduk pada HI? Pertanyaan ini mungkin akhirnya kembali mengutik-utik mengenai ada tidaknya HI, atau betulkah HI merupakan hukum dalam arti sebenarnya -- seperti yang pernah disangsikan terutama Austin (sarjana hukum dari Inggeris yang terkemuka itu). HI memang lain dengan hukum dalam pengertian umum, yang galibnya diasosiasikan orang dengan kekuasaan legislatif, kehakiman dan polisionil. Tiadanya badan-badan demikian dalam sistim HI akan bisa dimengerti, karena toh sifat HI adalah koordinatif. Bukankah tak ada suatu negara yang mau dibawahi negara lain? Mochtar tak mengabaikan permasalahan ini. Untuk membantah Austin, ia menunjukkan adanya hukum adat di Indonesia sebagai suatu sistim hukum adat di Indonesia sebagai suatu sistim hukum tersendiri. "Memang adanya badan legislatif badan kehakiman dan polisi merupakan ciri-ciri yang jelas daripada suatu sistim hukum positip yang effektip", ujar pengripta, "akan tetapi ini tidak berarti bahwa tanpa lembaga-lembaga ini tidak ada terdapat hukum" (43 ). Lalu, seperti ditanyakan Mochtar sendiri, apa yang menjadi dasar kekuatan mengikat HI? Ia menerangkan berbagai mazhab dari hukum alam sampai pada mazhab sosiologis: Mochtar sendiri berpandangan, hukum itu ada dan berlaku "karena dibutuhkan oleh kehidupan manusia yang beradab". Pandangan ini juga berlaku bagi masyarakat internasional. "Jadi adanya hukum dan daya ikat hukum tidak bersumber kepada kemauan negara", sebutnya ketika menolak faham dualisme, "melainkan merupakan prasyarat bagi kehidupan manusia yang teratur dan beradab . . . " Orang boleh setuju atau tidak dengan penulis. Tapi mereka yang dapat memahaminya, tak perlu lagi bertanya lebih lanjut: tindakan apa yang dapat dilakukan secara konkrit bila suatu negara tak mematuhi ketentuan-ketentuan dalam perangkat HI? Orang ingat PBB. Karena badan itu bukan sebuah pemerintahan dunia maka Majelis Umum tidak pula dapat dianggap sebagai sesesuatu badan legislatip untuk masyarakat ( 144). Lagipula menurut Pasal 10 Piagam PBB, keputusan MU hanya mempunyai kekuatan sebagai anjuran. "Walaupun demikian", sela Mochtar ketika membicarakan kemungkinan keputusan-keputusan organisasi internasional sebagai sumber HI. "tidak dapat disangkal bahwa keputusan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa ini ada kalanya mempunyai kekuatan yang jauh melebihi arti formil keputusan-keputusan itu sebagaimana diatur dalam Piagam". Ketika sampai pada contoh Pernyataan Umum Mengenai Hak-Hak Azasi Manusia, 1948, pengarang menulis "sepanjang pengetahuan penulis tidak ada satu pemerintahpun di dunia ini yang telah berani secara terang-terangan menentang pernyataan umum hak azasi manusia ini" (145). Sumber HI yang menonjol sekarang ini adalah perjanjian internasional tidak lagi kebiasaan internasional seperti pada mula-mula pertumbuhan HI. Itulah sebabnya penulis memerlukan 25 halaman untuk membincangkan masalah traktat ini. Di dalamnya disinggung juga praktek Indonesia mengenai perjanjian internasional UUD 1945 serta keluarnya Indonesia dari PBB, 1965. Sebagai sebuah karya tulis, tentu saja, kitab berwarna hijau ini tak ada menyelipkan lelucon, humor dan asosiasi-asosiasi penarik, sebagaimana kerap disuguhkan guru besar HI itu dalam memantapkan perkuliahannya. Tapi bahasanya jelas, serta gaya penyajian lempang. Patut pula dipujikan usaha penulis untuk mendahulukan istilah Indonesia dari istilah asli dalam bahasa asing: pengesyahan bunyi naskah (authentication of the text), penerimaan naskah (adoption ot the text), perjanjian (treaty), persetujuan (agreement) -- beberapa contoh dalam bidang perjanjian internasional. Kalau akan disebutkan kejanggalan barangkali adalah komposisi alinea, ada yang amat panjang, padahal bisa dipenggal-penggal. Tiadanya indeks dan daftar kepustakaan memang mungkin menyulitkan, tapi sudah disadari lebih dahulu oleh penulis. "Keinginan untuk menyajikan naskah yang sebaik mungkin", sebutnya dalam Pengantar, "harus mengalah pada kebutuhan yang mendesak" (IX). Karena itu Buku I ini baru menyangkut pengertian-pengertian pokok. Akan menyusul Buku II, di samping jilid kawan (istilahnya untuk companion volume) yang akan memuat kasus-kasus dan bahan-bahan lain Buku-buku HI yang ditulis bangsa sendiri bukan tak ada sebelumnya. Tapi munculnya sebuah kitab HI umum dari orang"nya patut disambut dengan agak istimewa. Apalagi ia banyak berpijak pada buminya sendiri Indonesia. Zen Umar Purba SH

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus