Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Lalu lalang berita menggambarkan gerbong wanita commuter line sangat menyeramkan. Bahkan, diibaratkan seperti di neraka. Padahal, entah macam mana bentuk neraka itu. Sebetulnya, keadaannya tak sepenuhnya seperti digambarkan. Meski kadang menemukan hal-hal yang tidak menyenangkan, tapi perkara menggembirakan juga ada.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saya pribadi lebih suka masuk gerbong wanita dengan berbagai alasan. Pertama, ketika kereta penuh, sepenuh-penuhnya saya lebih nyaman masuk ke gerbong wanita. Kalau kereta sesak, dan harus berdesak-desakan dengan kaum lelaki rasanya itu segan. Cari aman lagi, kalau pegangan ke atas gak perlu menutupi tangan karena kadang lengan baju jatuh ke siku. Tapi kalau gerbong campuran kosong, saya asyik-asyik aja masuk ke bagian gerbong ini. Macam-macam cerita, banyak ditemui selama menjadi pengguna commuter line.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pernah, suatu pagi di perjalanan. Di antara penumpang yang berjejal, seorang perempuan muda tiba-tiba pingsan. Rusuh, tentu saja. Ibu-ibu yang dekat dengannya langsung turun tangan. Dilepaskannya ikat rambut yang bersangkutan, lalu hidung dan jidatnya dibalur minyak kayu putih tanpa sungkan. Tak lama kemudian, perempuan muda kembali siuman.
"Belum sarapan, Dik?"
Perempuan muda mengangguk.
Berteriaklah si ibu mencari makanan. Tak sampai tiga puluh detik, minuman dan makanan ringan terhidang. Perempuan muda minum perlahan-lahan, tapi menolak mencicipi makanan ringan.
Rupanya, dia baru pertama naik commuterline, tanpa sarapan hendak mengikuti interview pekerjaan.
Tak ada cekcok, tak ada perang mulut. Semua berjalan aman, atas nama kemanusiaan.
"Anak saya seumuran dia, baru lulus juga. Jadi ingat anak saya," ujar si ibu yang paling repot.
Lain hari, hal serupa kembali terjadi. Seorang perempuan pingsan dan hal seperti di atas kembali dilakukan. Atau ketika tiba-tiba ada yang kesurupan di dalam kereta, barulah para perempuan berteriak nyaring memanggil petugas.
Suatu hari, saya berangkat jam 7 pagi karena ada acara. Sudah bisa ditebak, di jam-jam sibuk penumpang memang lebih padat. Di antara sesak penumpang, masing-masing sibuk dengan keadaannya. Karena sangat dekat, saya bisa melihat aktivitas mereka di gawai.
Ada yang sedang membaca Al Qur'an, sekadar membuka media sosial, nonton drama korea, juga tampak ada yang khusuk berzikir. Layar androidnya dipenuhi gambar bulatan biji tasbih besar juga nominal angka. Saya melirik sekilas-sekilas (dan baru tahu kalau ada tasbih digital, jadi penasaran aplikasinya )
Yang lebih mencengangkan bagi saya, tentunya adalah ibu-ibu peniaga kereta. Peniaga? Iya, di dalam commuterline, rupanya ada yang menjual macam-macam makanan ringan. Sepertinya, mereka sudah saling mengenal dan menjadi langganan. Sampai-sampai penumpang di belakang saya memaksa mendekat ke arah ibu penjual.
Awalnya saya sebal ketika didorong-dorong. Tapi rupanya perempuan di belakang saya hanya ingin membeli snack yang dijual. Tampak sekali jika mereka sering bertransaksi di dalam gerbong. Perempuan-perempuan itu, sungguh luar biasa.
Gerbong wanita, tetap menyenangkan bagi saya dengan segala keriuhannya. Banyak, kok, perempuan-perempuan yang toleran sesama mereka. Meski tak sedikit yang bebal juga. Kalau saya, nikmatin aja. Mau berharap orang baik semua, rasanya tidak mungkin.
Artikel ini sudah tayang di Catatan Anazkia