Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sebuah desa di Turki memiliki kebiasaan berkomunikasi dengan cara bersiul. Cara berkomunikasi warga Desa Kuskoy itu dijuluki sebagai berbicara bahasa burung. Menurut UNESCO perkembangan teknologi, secara perlahan menyebabkan keadaan yang tidak pasti terkait kelangsungan berbicara bahasa burung itu, seperti dikutip dari BBC.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut UNESCO bahasa burung warga Desa Kuskoy termasuk bagian dari warisan dunia yang terancam punah. Sebab, dipengaruhi oleh dampak perubahan sosial dan teknologi. Pasalnya, minat menggunakan ponsel dianggap sebagai peralihan cara berkomunikasi bahasa burung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada sekitar 10.000 orang yang menggunakan bahasa burung di antara warga Desa Kuskoy. Cara bersiul digunakan untuk berkomunikasi melintasi jarak jauh di daerah pegunungan yang berbatu.
UNESCO mewanti-wanti agar kelangsungan bahasa burung tetap bertahan dalam modernisasi penggunaan ponsel, sebagai peranti komunikasi. Warga Desa Kuskoy pun mencoba menjaga praktik bersiul itu melalui Festival Bahasa Burung.
"Orang-orang lokal telah menyambut kabar itu dengan sukacita sebagai mimpi yang menjadi kenyataan," kata Ketua Asosiasi Budaya Bahasa Burung, Seref Kocek. Kabarnya, upaya menjaga bahasa burung juga melalui pendidikan sekolah dasar, pada 2014.
Menurut National Public Radio (NPR), warga Desa Kuskoy antara lain adalah petani teh, jagung, dan memelihara ternak. Bahasa burung yang digunakan warga Desa Kuskoy memikat minat ahli biopsikologi, Onur Gunturkun.
"Saya benar-benar terpesona ketika pertama kali mendengarnya. Saya langsung melihat relevansi bahasa ini untuk sains," katanya.
Untuk menguji keistimewaan bahasa burung, Gunturkun melakukan penelitian di Desa Kuskoy. Ia melakukan pengujian penduduk desa menggunakan penyuara kuping (headphone) dengan rekaman bicara bahasa Turki suku kata, maupun siulan.
Gunturkun menemukan bahwa memutar siulan dan percakapan suku kata, penduduk desa itu cenderung mendengar keduanya. Hal itu menunjukkan bahwa warga Desa Kuskoy menggunakan kedua belahan otak mereka ke tingkat yang jauh lebih besar.
Desa Kuskoy yang berbukit-bukit memungkinkan siulan seperti suara burung bisa didengar sampai jauh. Foto: @giresundanesintiler
"Ada kontribusi seimbang dari kedua belahan otak. Jadi memang, tergantung cara kita berbicara, belahan otak memiliki pekerjaan yang berbeda dalam pemrosesan bahasa," kata Gunturkun yang juga ahli ilmu syaraf. Ia telah bekerja untuk penelitian asimetri otak.
Penelitian Gunturkun menyisakan pertanyaan untuk sumbangsih kehidupan. Ia masih mempertanyakan kemungkinan cara berkomunikasi bersiul, membantu penderita strok dengan kerusakan otak kiri yang mengalami kesulitan memproses bahasa lisan.
BBC | NATIONAL PUBLIC RADIO