Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Yogyakarta - Pedagang batik di Pasar Beringharjo Kota Yogyakarta belum bisa merasakan untung. Kendati sudah kembali berjualan sejak Mei 2020, pendapatan mereka masih seret karena belum banyak wisatawan atau penduduk setempat yang berbelanja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak Pandemi Covid-19 merebak, omzet para pedagang Pasar Beringharjo sejak Maret sampai Mei 2020 nyaris nol atau anjlok total. Mereka harus tutup. Tiada pemasukan. Hingga pada Juli lalu Pemerintah DI Yogyakarta mulai uji coba pembukaan sejumlah destinasi wisata. Wisatawan perlahan berdatangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kami bersyukur bulan Juli kemarin sudah ada wisatawan yang belanja. Meski belum banyak, dagangan bisa laku dan ada hasil sedikit-sedikit," ujar Ambar Yuliastuti, pedagang Pasar Beringharjo pada Rabu, 5 Agustus 2020. Pemilik lapak Wahyu Batik itu menuturkan meski dagangan mulai laku, jelas perbandingan omzetnya masih sangat jauh dengan sebelum pandemi Covid-19.
Sudut Pasar Beringharjo Yogyakarta yang masih sepi pengunjung di awal Agustus 2020. TEMPO | Pribadi Wicaksono
Sekarang Ambar bersyukur dapat menjual tiga sampai empat potong baju batik setiap hari. Dari situ, dia bisa mengantongi sekitar Rp 200 - 300 ribu. Pelanggan Ambar dari wilayah Jawa Tengah juga sudah mulai berbelanja, meski masih sangat terbatas. "Padahal sebelum pandemi omzet saya sehari bisa sampai Rp 10 juta," ucap perempuan yang mempekerjakan dua pegawai itu.
Supaya baju batiknya tetap diburu, Ambar kini pilih-pilih dalam memajang busana. Jika dulu dia memamerkan baju batik yang formal dengan desain dan motif yang elegan, kini Ambar lebih banyak menjajakan batik rumahan, berupa daster atau baby doll. Memang harganya murah dan memangkas keuntungannya menjadi separuh. "Tapi memang baju ini yang paling banyak dicari, bukan kemeja atau blus batik," ujar Ambar.
Salah satu model daster yang paling diburu adalah daster batik kelelawar. Baju santai ini memiliki motif batik cap, khas Pekalongan, namun dengan ukuran yang lumayan jumbo. Harganya sekitar Rp 75 ribu per potong. Yang juga laris adalah baju sibori atau sejenis setelan santai seharga Rp 50 ribu per potong. Ambar sengaja tidak menambah stok baju batik formal karena belum banyak peminat dan harganya mahal, di atas Rp 150 ribu per potong.
Busana santai santai seperti daster kelelawar banyak diminati pengunjung Pasar Beringharjo, Yogyakarta di masa pandemi Covid-19. TEMPO | Pribadi Wicaksono
Mengenai waktu buka toko, Ambar mengatakan hanya berjualan mulai pukul 10.00 sampai 16.00. Dia juga bersyukur Pemerintah DI Yogyakarta memangkas beban retribusi untuk pedagang di Pasar Beringharjo sebesar 75 persen.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Yogyakarta, Yunianto Dwi Sutono mengatakan selama Juli hingga awal Agustus 2020, jumlah pengunjung Pasar Beringharjo mencapai 500 orang setiap hari. Sementara sebelum pandemi Covid-19, jumlah pengunjung pasar di kawasan Malioboro itu mencapai 5.000-7.000 orang. "Yang penting tetap menerapkan protokol kesehatan. Pakai masker dan sering mencuci tangan," katanya.
Seorang pedagang Pasar Beringharjo Yogyakarta sedang mencuci tangan di sela aktivitas pasar yang masih cukup sepi kunjungan pada awal Agustus 2020. TEMPO | Pribadi Wicaksono