Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Mataram - Sore itu, Sabtu 2 Nopember 2019, di halaman selatan Islamic Center Nusa Tenggara Barat di Mataram, puluhan perempuan muda memperagakan gaun-gaun muslimah berbahan kain tenun lokal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Mereka mengenakan karya 20 orang desainer muda dan 20 orang pengrajin busana tamatan SMK. Dengan kepercayaan diri yang luar biasa, mereka menampilkan rancangan dari kain tenun usai diberi pelatihan oleh desainer Wignyo Rahadi bersama teman-temanya dari Dewan Kerajinan Nasional (Dekranas).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Wignyo Rahadi adalah salah satu desainer mitra Bank Indonesia untuk mengembangkan kriya wastra. Ia berhasil memoles para anak-anak muda itu, untuk menghadirkan parade koleksi busana muslim bertema “Tropical Vibes” dengan menggunakan tenun pringgasela. Tema tropis memang sangat mewakili alam Lombok.
Koleksi ini terinspirasi dari keindahan warna alami pulau tropis. Garis-garis warna yang kuat itu dipadukan secara harmonis dengan warna alami tenun pringgasela, seperti coklat muda, coklat tua, hijau, dan lime green yang dituangkan dalam desain berupa longdress, outer, blouse, dan celana panjang.
Selain para desainer pemula, acara ini juga menampilkan desainer senior asal Mataram Linda Hamidy Grander. Ia alumni Fashion Institute of Design & Merchandising (FIDM) San Fransisco, California, Amerika Serikat. Dalam perhelatan “NTB Goes to Moslem Fashion Industry” ini, Linda Hamidy Grander menampilkan koleksi busana tenun bertajuk “Life in Black and White” yang menggambarkan kemewahan dalam kesederhanaan hidup.
Bank Indonesia NTB membina puluhan pengrajin kain tenun untuk meningkatkan kualitas. TEMPO/Supriyantho Khafid
Linda terinspirasi dengan kesederhanaan warna hitam putih, namun begitu mewah dan kuat, yang mampu menggugah emosi. Koleksi ini menunjukan bahwa kain tradisional pun dapat menjadi pakaian yang terlihat mewah dan berkelas internasional. Dengan sentuhan modern dengan mengambil siluet klasik bercampur dengan esensi keberanian mencampur motif, terciptalah pakaian-pakaian yang unik dan kuat.
Mixing pattern atau pencampuran berbagai macam motif dan tekstur menjadi ciri khas koleksi ini. Daya tarik kain pringgasela Lombok Timur dan sukarare Lombok Tengah, menjadi pilihan utama karya Linda dengan menggunakan kombinasi bahan-bahan polos dan bermotif.
Perhelatan pertunjukan busana itu menjadi titik awal, Lombok menjadi moslem fashion industry. Ini berawal dari kegelisahan mengingat NTB sebagai provinsi yang ditetapkan sebagai destinasi wisata prioritas atau Bali Baru, yang memiliki produk unggulan di bidang tekstil dan roduk tekstil yang layak untuk dikembangkan berupa kain tenun.
"Untuk dimaklumi, sejak empat tahun terakhir ini, BI NTB membina berbagai UMKM se NTB agar dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi," kata Kepala Kantor Perwakilan Bank ndonesia NTB Achris Sarwani.
Selain itu, mempertimbangkan juga bahwa NTB mendapatkan penghargaan sebagai World’s Best Halal Tourism Destination dan World’s Best Halal Honeymoon Destination serta konsumsi belanja busana muslim di Indonesia tahun 2017 mencapai US$20 miliar.
Pasar yang terbuka luas itu, membuat NTB memiliki kesempatan besar menjadi pelaku utama industri fesyen, khususnya moslem fashion. Pasalnya, selain ketersediaan bahan baku namun juga didukung dengan ketersediaan konsumen potensial, yaitu jumlah penduduk yang mayoritas muslim dengan kehidupan religius.
Kain tenun dari Pringgasela dan Sukarare, kini mulai menyampurkan berbagai macam motif dan tekstur. TEMPO/Supriyantho Khafid
Tren dunia fesyen merupakan salah satu tren yang paling diminati di dunia, perkembangan dunia fesyen sangat cepat dan dinamis, layaknya dunia informasi dan teknologi. Berbagai macam mode dan gaya busana mulai dari generasi tua maupun generasi muda. Dan dari kalangan papan atas sampai menengah ke bawah, menjadi daya tarik dan magnet tersendiri.
Selama ini para pengrajin kain tradisional menghasilkan produksi berupa kain lembaran atau sarung. Hasil produksinya langsung dijual kepada konsumen, baik digunakan untuk acara adat atau dibeli oleh turis untuk cinderamata.
Salah seorang penenun asal Pringgasela, Idayanti, 33 tahun, dari kelompok Inges binaan BI NTB, mengatakan ada 100 penenun -- yang dibagi lima kelompok -- yang telah empat tahun dibina BI. Idayanti yang sejak Sekolah Dasar sudah mulai belajar menenun, mengatakan setiap anak perempuan di kampungnya akrab dengan alat tenun. ''Dulu, anak perempuan mengisi waktu dengan menyesek (menenun). Sambil menunggu jodoh,'' ujarnya seraya tersenyum.
Maka tidak mengherankan jika motifnya ada yang disebut sari menanti. Berupa garis-garis lurus. Juga ada motif sundawa yang berupa gambaran aliran sungai Sungai Sundawa di kampungnya. Mata airnya berasal dari Gunung Rinjani, dan digunakan warga untuk keperluan irigasi sawah penduduk. Sungai Sundawa ini kelanjutan dari aliran air sungai Menjerit dan Seleman (menyelam) di daerah sebelum Pringgasela.
Ada pula motif bayan yang digunakan untuk mandi pengantin dan motif pucuk rebung, yang merupakan gambar anak bambu di bagian pinggirnya, merupakan kain sarung digunakan untuk salat Jumat.
Idayanti mengisahkan nenek moyangnya yang memulai menenun setelah waktunya menunggu panen padi dan tanaman kebun. "Dulu menggunakan kapas dan akar kayu sebagai bahan benang dan pewarnanya," ucapnya mengulang kisah yang diperoleh dari neneknya Papuk Rebang, yang sudah meninggal setelah berusia 100an tahun.
Untuk menghasilkan selembar kain tenun, semula ia memerlukan waktu sebulan. Tetapi setelah menggunakan alat tenun bukan mesin, jika rajin menenunnya, bisa diselesaikan dalam waktu dua minggu. Produk Idayanti berupa kain selebar 90 cm dan panjangnya hingga empat meter. Harganya bervariasi mulai dari Rp400.000 hingga Rp600.000.
Menurutnya, sebelum terjadinya Bom Bali, Pringgasela didatangi oleh pengusaha asal Jepang yang memborong semua produk tenunan di kampungnya.
Mereka menyukai tenunan berwarna Tarum Indigo (biru) untuk bahan baju. ''Sebelum terjadinya Bom Bali, kain tenunan di Pringgasela laris manis,'' ujarnya mengulang kata neneknya. Kini, setelah dibina BI NTB, mereka menjualnya melalui media sosial secara online.
Ilustrasi kain tenun Lombok. Shutterstock
Ketua Dekranas Daerah NTB Niken Saptarini Widyawati pun mengatakan moslem fashion industry ini langkah pertama menjadi industri busana. ''Kain tenunan NTB yang berkualitas harganya ada yang mencapai Rp1,5 juta,'' ucapnya.
Senada dengan Niken, Linda Hamidy Grander mengakui semula kesulitan mendapatkan tenunan yang berkwalitas dan cepat luntur. "Sekarang ini sudah tidak sulit lagi. Pengrajin sangat semangat," katanya.
SUPRIYANTHO KHAFID