Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Seniman asal Bandung, Widi Asari menyuguhkan karya seni berupa kain tenun yang dibuat dari benang kapas. Untuk menghasilkan karya itu, Widi harus berangkat ke Maumere, Nusa Tenggara Timur, menyaksikan dan terlibat langsung membuat karya itu sepanjang Agustus 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Maumere, Widi melihat satu kebiasaan anak laki-laki yang bersedia mengerjakan pekerjaan domestik, seperti menyapu dan memasak. "Yang aku lihat di KAHE dan Maumere, itu peran laki-laki di ruang domestik sangat dekat, karena didikan mamanya," kata seniman 30 tahun itu kepada Tempo, saat memamerkan karya tenun dengan berbagai motif di Taman Ismail Marzuki, Menteng, pada Selasa, 1 Oktober 2024.
Peran Ibu Dituangkan dalam Motif Kain Tenun
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah mengetahui peran anak laki-laki yang mau mengerjakan pekerjaan domestik, Widi lantas berpikir mengangkat cerita itu dalam karya seninya. Dia mengaku tertarik menggali ingatan anak laki-laki terhadap objek-objek di dapur atau pekerjaan rumah dan disalurkan dalam karya berupa tenunan untuk motif kain. Dia melihat itu melalui cerita anak laki-laki di Komunitas KAHE, kelompok kesenian di Maumere, Kabupaten Sikka, NTT.
"Kenapa menjadi motif kain? Karena saya ingin memposisikan didikan mama itu sama pentingnya dalam pembentukan sejarah kota," ujar perempuan asal Lembang, Bandung, Jawa Barat, itu menceritakan proses residensinya.
Alasannya, yang ia lihat di Maumere, motif kain yang dihasilkan para penenun di sana, merepresentasikan sejarah dari kota tersebut. "Misalnya ada pengaruh Katolik, di kainnya ada motif Salib. Ada pengaruh Jepang, di kainnya ada motif teko," tutur dia.
Sehingga dalam proses kreatif yang Widi pamerkan, katanya, merupakan cara dia menghadirkan peran ibu sama dengan sejarah-sejarah besar untuk membentuk karakter anak laki-laki di Maumere. Ia tiba di Maumere pada 16 Agustus lalu. Proses kreatif itu berlangsung sekitar tiga pekan. Pada 21 September ia kembali ke Bandung.
Dia menerangkan, pertama proses mencipta, mereka mengambil benang kapas, lalu diikat satu-satu, dan menganyam dengan berbagai motif. Motif itu yang biasanya dijahit di dalam tenunan kain. Dalam proses pembuatannya, dia berujar, ada rumus yang ia sebut matematik, membentuk motif seperti katel, ulekan, hingga pohon. "Motif ini dipindahkan ke tenunan kain," ucap dia.
Tradisi Ibu Buatkan Kain Tenun untuk Anak Laki-laki
Dalam kisah lain, dengan perjumpaanya dengan anak-anak pria yang ia temui dalam Komunitas KAHE, Widi mengetahui bahwa setiap anak laki-laki diberikan sepotong kain buatan ibunya. Kain itu yang selalu dibawa dan menemani mereka selama merantau. "Kalau mereka sakit di rantau, tinggal diselimuti kain itu langsung sembuh. Tradisinya seperti itu," ucap dia.
Widi menelusuri kisah kain tenun Maumere dan cerita personal tentang Kain Mama yang ia beri judul dalam tenunannya sebagai "Ingatan Kain Mama". Ia menggali cerita itu serta nilai budaya kain dalam konteks kota dan pasar. Cerita yang menghasilkan produk seninya dalam residensi Baku Konek yang akan dipamerkan dalam Jakarta Biennale 2024, yang mengembangkan motif tenun berdasarkan ingatan anak laki-laki di Komunitas KAHE.
Dalam residensi ini dia berkolaborasi dengan penenun dari Watublapi, Mama Lin, serta mendokumentasikan "Jata Kapa", nyanyian tentang teknik tenun, bersama Dixxxie. "Jadi saya mencoba menggali ingatan masa anak-anak itu lewat bau kain mamanya," ucap dia.
Karya "Ingatan Kain Mama" merupakan tenunan yang dianyam dengan benang yang di dalamnya ada sejumlah motif. Karya itu dipajang di dinding pameran di Galeri Emiria Soenassa, Taman Ismail Marzuki, berwarna krim dan navy atau biru tua.