Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Salah satu humor yang masih melekat hingga detik ini yaitu humor Gus Dur, Presiden RI ke-4, yang mengatakan, "Ada tiga polisi jujur di Indonesia, yaitu polisi tidur, patung polisi, dan Jenderal Hoegeng". Hoegeng dikenal sebagai sosok yang berintegritas. Ia diceritakan tidak suka menjilat hanya untuk keuntungan dan kenyamanan pribadinya.
Dengan integritasnya, tidak heran jika pria kelahiran Pekalongan, Jawa Tengah ini dijuluki polisi antisuap. Ia pernah mengatakan, “Baik menjadi orang penting, tapi lebih penting menjadi orang baik." Hal ini ia ungkapkan sebab ia tahu betul dengan tradisi menjilat di kalangan pejabat Orde Baru. Demi duduk berada lingkup kekuasaan, banyak yang menarik simpati Presiden Soeharto meski harus mempermalukan diri sendiri.
Hoegeng yang menolak keras dengan tindakan korupsi, tidak segan-segan melempar barang yang diberikan cukong keluar jendela. Selain itu ia juga tidak segan-segan untuk memarahi bawahannya yang membeli rumah dan mobil mewah. “Memangnya gaji polisi cukup untuk bermewah-mewah?” tidak heran jika kita mengenal ungkapan, “Selesaikan tugas dengan kejujuran karena kita masih bisa makan nasi dengan garam,” darinya.
Dalam buku Hoegeng: Oase Menyejukkan di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa, ketika ia menceritakan kasus pemerkosaan atau Sumarijem atau yang lebih dikenal Sum Kuning yang disinyalir melibatkan anak pejabat tinggi kepolisian dan Pemerintah DIY—bahkan salah satunya anak tokoh pahlawan revolusi, ia menyadari ada kekuatan besar yang berusaha untuk menutupi kasus tersebut sehingga menjadi bias.
Ketika itu ia memerintahkan Komandan Jenderal Komando Reserse (sekarang Kabareskrim) untuk membentuk tim pemeriksaan kasus Sum Kuning. “Perlu diketahui bahwa kita tidak gentar menghadapi orang-orang gede siapa pun. Kita hanya takut kepada Yang Tuhan Maha Esa. Jadi kalau salah, tetap kita tindak,” ujarnya.
Kasus yang tersebut semakin bergulir dan membuat Presiden Soeharto turun tangan untuk mengatasi maslaah tersebut. Soeharto memerintahkan Tim Pemeriksaan Pusat Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban atau Kopkamtib untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Padahal, Kopkamtib lembaga yang menyelesaikan kasus politik besar dan keamanan yang mengganggu stabilitas negara.
Hoegeng yang dipensiunkan pada Oktober 1971, banyak yang mengira ia dipensiunkan dikarenakan kasus Sum Kuning. Tidak heran jika hipotesis tersebut muncul kepermukaan sebab, ia dan Soeharto sudah sejak lama menunjukkan ketidakcocokan.
Ketika dicopot dari jabatan dan pensiun, Hoegeng ditawari Soeharto untuk menjadi diplomat atau duta besar untuk Indonesia di Belgia. Menurutnya, ini kebiasaan yang dilakukan oleh Pemerintah Orde Baru kuntuk menutup mulut mereka yang kritis dengan kebijakan yang dikeluarkan mereka.
Jenderal Hoegeng merespon tawaran tersebut dengan nada satire, “Saya tidak bisa jadi diplomat. Diplomat harus bisa minum koktail, saya tidak suka koktail,” ujarnya.
GERIN RIO PRANATA
Baca: Hari Bhayangkara, Mengenang Polisi Jujur Hoegeng Iman Santoso
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini