Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri menyinggung nama eks Kapolri ke-5 Jenderal Polisi (Purn) Hoegeng Iman Santoso saat menyampaikan pidato politiknya di hari pertama Rakernas PDIP ke-5. Megawati mengenang sosok Kapolri periode 1968 hingga 1971 itu sebagai sosok teladan lantaran hidup sederhana meski memiliki jabatan tinggi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Lalu Polri, ada sumber keteladanan dari Pak Jenderal Hoegeng. Pak Hoegeng itu hidupnya sederhana, dia sahabat saya," kata Presiden ke-5 RI itu dalam agenda di Beach City International Stadium, Ancol, Jakarta, Jumat, 24 Mei 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kesederhanaan hidup seorang Jenderal Hoegeng tampaknya terekam jelas dalam ingatan Megawati. Pada Juli 2023, putri Presiden Pertama RI Sukarno itu juga menyampaikan kekagumannya kepada Jenderal Hoegeng. Kesan itu kembali disampaikan Megawati kala menyentil sikap aparat kepolisian kekinian yang menurutnya senang mengintimidasi.
"Kapan polisi bisa seperti Pak Hoegeng lagi, ya? Kapan, ya, polisi sekarang ini tidak mengintimidasi rakyatnya, sedikit-dikit, kalau ini terus diintimidasi," katanya.
Megawati mengaku acap datang ke rumah Hoegeng lantaran putri sang Jenderal merupakan sahabatnya. Karena itulah Megawati tahu betul keseharian Hoegeng kerap menggunakan sepeda untuk pergi bekerja. Ibunda Ketua Umum DPR RI Puan Maharani ini sering berpapasan dengan Hoegeng di jalan. Jenderal polisi itu tak malu mengayuh sepeda dengan pakaian dinas.
"Kalau saya mau ke Jakarta itu suka berpapasan dengan Om Hoegeng, saya panggil itu pakaian lengkap polisi jenderal, bintang, terus apa coba? Naik sepeda," ujar Megawati.
Lantas siapakah sosok Jenderal Hoegeng Iman Santoso yang disebut Megawati sebagai sosok teladan karena kesederhanaan hidupnya ini?
Profil Jenderal Hoegeng Iman Santoso
Jenderal Hoegeng Iman Santoso merupakan Kapolri ke-5 yang menjabat era 1968-1971. Dia dikenal sebagai petinggi polisi berintegritas yang pernah dimiliki Indonesia. Bahkan Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid alias Gus Dur membuat sentilan lucu untuk menggambarkan "bersihnya" sosok Hoegeng. Gus Dur bilang, hanya ada tiga polisi jujur: polisi tidur, patung polisi, dan Jenderal Hoegeng.
Hoegeng lahir di Pekalongan pada 14 Oktober 1921. Nama lahirnya sebenarnya hanya Iman Santoso. Hoegeng, dibaca Hugeng, merupakan julukan masa kecil yang dipelesetkan dari kata bugel, artinya gemuk. Kata bugel ini lambat laun menjadi bugeng yang kemudian pada akhirnya berubah jadi Hoegeng. Julukan itu lalu disematkan menjadi nama asli, jadilah Hoegeng Iman Santoso.
Hoegeng lahirnya dari pasangan Soekarjo Kario Hatmodjo dan Oemi Kalsoem. Ayahnya dari Tegal dan bekerja sebagai seorang jaksa di Pekalongan. Hoegeng memiliki dua adik perempuan: Titi Soedjati dan Soedjatmi. Hoegeng ingin menjadi polisi karena dipengaruhi oleh teman ayahnya, Ating Natadikusumah, yang menjadi kepala kepolisian di kampung halamannya.
Hoegeng bersekolah di Hollandsch-Inlandsche School Pekalongan dan lulus pada 1934. Ia kemudian mendaftar di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs di kota yang sama dan lulus tiga tahun kemudian. Ia pindah ke Yogyakarta untuk melanjutkan studinya di Algemene Middelbare School jurusan bahasa dan sastra Barat. Selama di AMS, Hoegeng berteman dengan Burhanuddin Harahap, Soedarpo Sastrosatomo, Usmar Ismail dan Rosihan Anwar.
Pada 1940, setelah lulus, Hoegeng pindah ke Batavia melanjutkan studi perguruan tingginya di Rechtshoogeschool (RHS) te Batavia. Semasa kuliah itu, ia bergabung dengan organisasi kemahasiswaan bernama Unitas Studiosorum Indonesiensis. Di organisasi tersebut, ia bertemu dengan Soebadio Sastrosatomo, Subandrio, Oemar Senoadji, Chairul Saleh, dan Hamid Algadrie.
Awalnya, Hoegeng merasa lega dengan kedatangan Jepang ke Hindia Belanda pada Maret 1942. Tapi, kemudian militer Jepang menutup RHS. Hoegeng pun kembali ke kampung halaman pada April. Di Pekalongan, Hoegeng menghabiskan waktu dengan berjualan telur dan buku sekolah bahasa Jepang. Dagangannya itu diider dari satu kota ke kota lain, termasuk Pati dan Semarang bersama Soehardjo Soerjobroto.
Di Semarang, Hoegeng bertemu kerabatnya dan ditawari bekerja di stasiun radio Hoso Kyoku. Dia diterima dan mulai bekerja satu bulan. Saat bekerja di stasiun tersebut, ia mendaftar ke pembukaan kursus polisi di Pekalongan. Hoegeng kemudian melamar dan diterima sebagai satu dari sebelas anggota kepolisian dari 130 pelamar. Dia bergabung dengan Marshall General School di Military Police School, Fort Gordon, Georgia, Amerika Serikat.
Setelah jadi polisi, Hoegeng memulai kariernya di posisi penting saat ditunjuk menjadi Kepala DPKN (Djawatan Polisi Keamanan Negara) Kantor Polisi Jawa Timur di Surabaya pada 1952. Empat tahun menjabat, Hoegeng lalu dimutasi jadi Kepala Bagian Reserse Kriminal Kantor Polisi Sumatra Utara di Medan pada 1956. Setelah itu, pada 5 Mei 1968 Hoegeng diangkat menjadi Kepala Kepolisian Negara menggantikan Soetjipto Joedodihardjo.
Selanjutnya: Integritas seorang Jenderal Hoegeng
Salah satu cerita menarik tentang Hoegeng adalah saat dirinya dilantik jadi Kepala Jawatan Imigrasi. Kala itu ia meminta istrinya yang saat itu membuka toko bunga untuk menutup usahanya. Hal ini dilakukannya guna mengurangi benturan kepentingan antara pihak yang berurusan dengan imigrasi dengan memesan kembang pada toko bunga istrinya.
Tak hanya itu, Hoegeng juga pernah merasakan godaan suap. Dia dirayu seorang pengusaha yang terlibat kasus penyelundupan. Pengusaha itu meminta Hoegeng agar kasus yang dihadapinya tak dilanjutkan ke pengadilan. Berbagai hadiah sogokan pun dikirimkan kepada Hoegeng. Hoegeng menolak mentah-mentah. Hadiah ini langsung dikembalikan.
Hoegeng telah membuktikan dirinya tidak bisa dibeli. Sejak menjadi perwira polisi di Sumatera Utara, Hoegeng dikenal karena keberanian dan kejujurannya. Dia tak sudi menerima suap sepeser pun. Barang-barang hadiah pemberian penjudi dilemparkannya keluar rumah. Kata-kata mutiara yang terkenal dari Hoegeng adalah, “Baik menjadi orang penting, tapi lebih penting menjadi orang baik."
Jasa Hoegeng kala jadi Kapolri
Saat menjabat menjadi Kapolri Hoegeng melakukan pembenahan di beberapa bidang, terutama terkait struktur organisasi di tingkat Mabes Polri. Aturan itu dicetuskan dalam Keppres No.52 Tahun 1969. Lewat beleid ini, Panglima Angkatan Kepolisian RI (Pangak) diubah menjadi Kepala Kepolisian RI (Kapolri). Lalu nama Markas Besar Angkatan Kepolisian menjadi Markas Besar Kepolisian (Mabes Pol). Sebutan Panglima Daerah Kepolisian (Pangdak) juga diubah menjadi Kepala Daerah Kepolisian RI atau Kadapol.
Saat jadi Kapolri, Jenderal Hoegeng juga tercatat tak segan memberantas kejahatan besar. Antara lain Hoegeng mengusut kasus penyelundupan mobil mewah oleh Robby Tjahjadi. Saat itu, pengusaha keturunan China itu menyelundupkan puluhan mobil mewah seperti Rolls Royce, Jaguar, Alfa Romeo, BMW, Mercedes Benz dari luar negeri dengan jumlah sangat besar. Alhasil, menyebabkan banyak kerugian bagi negara hingga Rp 716.243.400, saat itu.
Hoegeng juga menanggani kasus pemerkosaan dari seorang penjual telur di Yogyakarta. Perempuan bernama Sumarijem atau Sum Kuning itu diduga diperkosa anak-anak pejabat teras di Yogyakarta. Namun ironisnya, korban lantas dipenjara oleh polisi karena tuduhan memberi keterangan palsu. Mendengar hal itu, Hoegeng kemudian membuat tim khusus Tim pemeriksa Sum Kuning yang dibentuk pada Januari 1971. Namun kasus ini diambil alih oleh Tim Pemeriksa Pusat atau Kopkamtib dan Soeharto memintanya untuk tak ikut campur.
Hoegeng wafat dalam usia 82 tahun pada 15 Juli 2004 di Jakarta dan dimakamkan di Taman Pemakaman Bukan Umum atau TPBU Giri Tama, Kemang, Kabupaten Bogor Jawa Barat.
HENDRIK KHOIRUL MUHID | ASMA AMIRAH | KHUMAR MAHENDRA