SERATUS ribu tangan mengacung ke atas langit. Pemiliknya bergoyang-goyang dan bernyanyi lebih tepat kalau dibilang berteriak. Mereka seolah melepas "dendam" yang lama mengimpit, ketika tokoh mereka melagukan syair yang berjam-jam dinanti: aku menang, persetan orang susah karena aku, yang penting asyik, sekali lagi asyik .... Maka, seratus ribu mulut itu pun ikut mengumpat keras: asyik!. Itu adalah salah satu adegan ketika Iwan Fals bersama kelompoknya, Swami, menggelar lagunya yang paling populer saat ini: Bento. Lagu yang berkisah tentang seorang pengusaha besar bernama Bento itu memang sarat dengan ejekan. Bahasanya tanpa tedeng aling-aling. Tak heran jika seratus ribu massa di Stadion Utama Senayan, Sabtu pekan lalu, yang hampir semuanya anak muda akrab dengan syair nakal itu. Di tengah Bento pula kawula muda yang meluap sampai memanjat koldron dan atap stadion itu terbakar emosinya. Mereka menyalurkannya dengan membakar kursi-kursi tribun VIP di Stadion Utama Senayan, tempat pertunjukan yang diberi label Kantata Takwa itu digelarkan. Segera saja api marak melahap kursi fibreglass, mengepulkan asap hitam pekat. Mereka yang di tengah lapangan terus berjoget. Sebagian mengacung-acungkan potret Iwan Fals. Asyik. Selain syairnya yang lugas dan komunikatif, Bento disuguhkan dalam susunan melodi yang mudah ditangkap. Komposisi akordnya menggunakan pola 12 bar rock'n roll yang juga akrab dengan semua orang. Kelebihan Swami memang ada pada totalitas komunikasi dengan penikmatnya. Vokal Sawung Jabo malam itu berkarakter begitu kuat. Di tengah lagu ia berimprovisasi, menyebut satu per satu nama rekannya. "Iwan ... Iwan ... Naniel ... Naniel ..." dan tiap nama disambut penonton dengan "Asyik . . . asyik." kadang "Bento . . . Bento . . .". Belum lagi pukulan drum Innisisri, yang kadang tak rapi rancak, tapi mantap mengentak. Menghasilkan beat berat yang membuat orang secara tak sadar akan menggoyangkan badannya. Api boleh membakar kursi sampai sebuah mobil pemadam kebakaran memadamkannya, dua puluh menit kemudian. Sementara itu, yang bergoyang tetap bergoyang. Sebenarnya, pertunjukan Kantata Takwa bukan untuk Swami dan Iwan Fals saja. Justru ini dimaksudkan sebagai selingan dan pemancing penonton. Tokoh utama adalah kelompok yang memproklamasikan diri sebagai pembawa warna baru dalam musik Indonesia, yakni Kantata Takwa sendiri. Iwan dan Sawung memang tergabung dalam kelompok ini. Sementara itu, komandan adalah Setiawan Djody, pengusaha tanker. Lainnya Jockie Soeryoprayogo dan "Si Burung Merak" Rendra. Buat Setiawan Djody, sang produser yang sudah mengeluarkan Rp 350 juta dari saku pribadinya untuk pergelaran ini, Kan- tata adalah kesenian alternatif yang bersifat eksperimental. "Bagi saya, ini pendobrakan besar-besaran dalam seni musik Indonesia," katanya. Yang dimaksud Setiawan Djody adalah memasukkan warna religius dalam musiknya, yang konon diilhaminya saat salat Jumat di Masjid Demak. "Pokoknya, kami tak mau direkayasa pasar, kami yang merekayasa pasar," katanya. Dan ini unik, religius Islami yang sarat dengan akord minor "gurun pasir" dicobanya dipadu dengan melodi musik rock yang sangar. Bukannya mudah. Seperti diceritakan Jockie, yang juga pemain keyboard kelompok God Bless, mereka dibingungkan bagaimana menerjemahkan musik Islam itu. Apakah harus tanpa organ atau penuh dengan "bau" kasidah. Dan akhirnya, "Warna musik tidak kami perhatikan lagi. Totalitaslah yang terpenting," katanya. Alhasil, cuma satu nomor Kantata Takwa yang bisa disebut membawa "bau" musik gurun pasir, yaitu yang berjudul sama, Kantata Takwa. Sisanya, macam-macam. Ada aransemen art rock yang rumit dengan lengkingan gitar Setiawan Djodi seperti pada Orang-Orang Kalah. Ada musik balada. Dalam warna inilah puisi Rendra, Kesaksian, dilagukan. Buat Rendra, puisi diembel-embel musik memang soal baru. Sebelumnya ia tak pernah tertarik dengan iringan musik buat puisinya. Toh ia berkilah, "Musik ini bukan ilustrasi, pementasan itu suatu kesatuan." Maka, penonton bisa menyaksikan Rendra berjingkrak seperti rockers diiringi irama heavy metal rock yang pekat sambil meneriakkan puisi. Ada juga paduan suara Universitas Trisakti. Panggung seluas 60 x 23 meter yang dihiasi kepala burung rajawali raksasa pun tak dibiarkan kosong. Ada personel Bengkel Teater membuat blocking: dari ibu menggendong bayi sampai garong menggotong televisi. Sayangnya, pertunjukan yang digembar-gemborkan luar biasa ini terkesan kurang urus. Di belakang panggung penonton meluap bercampur dengan petugas. Sound system buruk. Gitar Djody bahkan sempat tak bunyi ketika intro Orang-Orang Kalah. Padahal, ia harus berimprovisasi di situ. Apalagi pengeras suara berkali-kali macet dan mendenging tiap kali sistem cahaya berkekuatan 600 ribu watt itu dinyalakan. "Bagaimana mau bikin film, saya tak tahu bagaimana hasilnya," omelan Eros Djarot, sutradara beken yang diminta Djody memfilmkan pementasan ini. Tapi penonton tetap tak peduli. Baginya hanya satu, Iwan Fals atau Bento. Apresiasi mereka memang hanya pada Iwan Fals dan Swaminya. Jadi, persetan dengan acara yang mau dibilang dahsyat. Yang penting: asyik! Yopie Hidayat, Leila S. Chudori, dan Ardian T. Gesuri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini