Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Keistimewaan Desa Trunyan, Mayat Tak Dikubur Tidak Berbau, Kok Bisa?

Ada yang istimewa di Desa Trunyan. Mayat yang tak dikubur di sana tidak menyisakan bau. Kok bisa? Begini cara menuju ke sana dari Denpasar, Bali.

27 Juli 2023 | 10.19 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Desa Trunyan merupakan desa kuno yang dihuni oleh orang-orang asli Bali yang menyebut diri mereka “Bali Aga” atau Bali tua, yang hidup dengan cara berbeda dari orang Bali lainnya. Bali Aga merupakan keturunan orang-orang yang mendahului kerajaan hindu Majapahit pada abad ke 16. Desa yang terjepit di antara danau dan tepi kawah terluar Batur, yang merupakan gunung berapi maha dahsyat di Kintamani.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Desa ini terkenal dengan pura Pancering Jagat, namun sayangnya pengunjung tidak boleh diperbolehkan masuk. Disana juga terdapat beberapa rumah tradisional bergaya Bali Aga dan pohon beringin besar yang berusia 1.100 tahun. Yang menarik dari desa ini adalah di dusun Kuban terdapat pemakaman misterius yang dipisahkan oleh danau dan hanya dapat diakses dengan perahu, karena tidak ada jalan setapak di sepanjang dinding curam tepi kawah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Keistimewaan Desa Trunyan

Desa Trunyan terkenal di Bali karena tradisi pemakamannya yang aneh namun mengerikan. Mirip dengan pulau tengkorak di film Kingkong, jika Anda mengunjungi desa ini Anda akan menemui tengkorak asli dan sisa-sisa manusia di jalanan.

Bagi sebagian besar umat hindu di Bali melakukan kremasi atau penguburan merupakan cara umum untuk menghormati orang mati. Namun, di desa Trunyan, tradisi pemakamannya sedikit berbeda. Masyarakat di desa Trunyan tidak merekremasi atau menguburkan jenazahnya, melainkan mereka hanya membaringkannya di dalam sangkar bambu membentuk prisma yang disebut ancak sanji, meski anehnya jenazah yang ada di sana tidak pernah memunculkan bau busuk.

Kumpulan tulang dan tengkorak yang dihasilkan dari tradisi pemakaman yang disebut Mepasah ini terletak di platform batu dan sekitarnya. Saat melakukan tradisi pemakaman Mepasah, jenazah disucikan dengan air hujan, kemudian dibaringkan di tanah dan dibungkus dengan kain putih kecuali wajah.

Mayat di sana tidak mengeluarkan bau busuk karena aroma wangi dari pohon besar Taru Menyan yang tumbuh di dekatnya. Taru berarti pohon, sementara menyan berarti bau harum. Nama Desa Trunyan juga berasal dari dua kata tersebut.

Menariknya lagi, para wanita di Desa Trunyan dilarang pergi ke kuburan saat jenazah dibawa ke sana. Hal ini mengikuti kepercayaan yang telah mengakar kuat di masyarakat setempat, bahwa saat seorang wanita datang ke kuburan saat mayat sedang dibawa ke sana, akan terjadi bencana di desa tersebut, misalnya tanah longsor atau letusan gunung berapi.

Sekarang, jika pikiran pertama Anda adalah untuk keluar dari desa dan tidak pernah kembali maka destinasi wisata semacam ini mungkin bukan untuk Anda. Tapi, jika Anda tertarik dengan pengalaman yang unik dan tidak biasa, kunjungan ke Desa Trunyan mungkin menjadi perjalanan yang tepat untuk Anda.

Cara Menuju Desa Trunyan

Berminat mengunjungi Desa Trunyan? Uuntuk mencapai desa ini sebenarnya tidak terlalu sulit, Anda bisa menempuh perjalanan dengan kendaraan umum atau mobil pribadi Anda sekitar 3 jam dari Denpasar.

Lokasinya terletak di sebuah desa kecil di daerah Batur, Anda hanya dapat sampai di tempat ini kemudian dilanjutkan dengan berperahu. Perahu kecil ini sudah menunggu Anda di ujung dermaga kayu di mana Gunung Batur yang menakjubkan terlihat. Menyeberangi danau menuju Desa Trunyan membutuhkan sekitar 20 - 30 menit. .

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus