Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kejadian Tsunami Aceh pada 26 Desember 2004 tak bisa dilupakan. Korban demikian banyak, kerusakan pun sangat masif di Acer Parussala. Untuk mengenang bencana alam dahsyat itu pemerintah Aceh membangun Museum Tsunami.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Museum ini didesain oleh arsitektur Ridwan Kamil. Sosok yang kini menjadi Gubernur Jawa Barat itu ternyata punya kisah menarik saat mendesain museum bertema dark tourism ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Museum Tsunami Aceh terletak di Lapangan Blang Padang, Jalan Sultan Iskandar Muda, Nomor 3 Sukaramai, Kecamatan Baiturrahman, Banda Aceh. Bangunan ini diresmikan pada Februari 2008 silam oleh Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono. Rencana pembangkit Museum Tsunami telah dicanangkan pada 2005.
Panitia pendirian museum tersebut bahkan membuat sayembara untuk mendesain bentuknya. Total hadiahnya ratusan juta. Bangunan itu dicita-citakan jadi pengingat untuk generasi penerus kelak. Kriteria yang dicari adalah desain yang mempresentasikan semangat kegiatan penanggulangan darurat, rehabilitasi, serta rekonstruksi secara global.
Selain itu, desain harus bernafaskan kebudayaan Aceh, mempunyai inovasi secara estetika dan dapat diterima oleh semua masyarakat. Kriteria bangunan juga harus memenuhi keandalan terhadap bencana gempa bumi, tsunami, kebakaran, mudah dalam perawatan dan pengoperasian, mempunyai sistem pencahayaan yang memadai, dan bisa menjadi salah satu obyek wisata tsunami.
Desain yang diajukan Ridwan Kamil memenuhi kriteria itu. Dialah yang memenangkan sayembara desain Museum Tsunami Aceh ini. Boleh dibilang, Kang Emil, sapaannya, membuat sketsa museum tersebut dari hati. Tak jarang dirinya meneteskan air mata saat menggores arsiran sketsanya.
“Termasuk dalam proses presentasinya, saya terbata-bata karena ratusan ribu nyawa melayang akibat tsunami Aceh,” kata Kang Emil saat menghadiri acara peringatan 18 tahun tsunami Aceh di Ulee Lheu, Banda Aceh, tahun lalu, seperti dikutip Antara.
Menurut Ridwan Kamil, proses rancang bangun Museum Tsunami Aceh itu memakan waktu sekitar satu bulan. Kang Emil membangun nuansa museum tersebut agar pengunjung dapat merasakan bagaimana para korban ketakutan, basah, gelap, dan lainnya. Disebut bertemakan dark tourism lantaran bangunan ini merepresentasikan ketakutan, kesedihan, sekaligus harapan.
“Jadi, setelah rasa takut yang ditandai lorong gelap dan gemercik air di bagian pintu masuk, lalu kesedihan dengan adanya sumur doa, dan terakhir harapan dengan hadirnya lorong menuju atap bangunan,” kata Ridwan Kamil.
Hebatnya, bangunan ini tak dibuat hanya sekadar untuk tempat mengenang. Atap bangunan Museum Tsunami Aceh, Kang Emil menjelaskan, bisa berfungsi sebagai tempat evakuasi. Bahkan mampu menampung ribuan orang apabila terjadi bencana. Dia menyebut atap bangunan ibarat dataran tinggi untuk evakuasi jika tsunami kembali terjadi.
HENDRIK KHOIRUL MUHID
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “http://tempo.co/”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.