Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Kisah Toleransi dan Penghangat Makanan di Museum Biara Ursulin

Inilah jejak toleransi antar umat yang sudah dipraktikkan saat Indonesia masih di masa kolonial.

21 Januari 2019 | 12.35 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Toleransi beragama bukan sekadar slogan di Museum Biara Ursulin Santa Maria di Jakarta. Jejaknya masih terlihat jelas dan masih dipraktikkan hingga sekarang. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Ini adalah penghangat makanan yang sering digunakan pelajar muslim untuk menyimpan makanan sahur,” ujar Suster Museum Biara Ursulin Santa Maria saat sedang memandu kami-rombongan pengunjung dari Ngopi Jakarta-berkeliling, bulan lalu di Jakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saya terdiam, lalu menatap lekat kotak seukuran satu kali satu meter itu. Kotaknya berbahan kayu dengan cantelan gembok. Masih terlihat kokoh walaupun usianya sudah lebih dari seratus tahun. Suster membuka bagian atap kotak dan menunjukkan kepada kami kain serupa karung goni. Kasar, tebal, dan luas.

Pada masa itu belum ada alat-alat dapur berteknologi tinggi semacam kulkas, magic com, apalagi microwave. Biasanya, Suster yang bertugas di area dapur akan masak sehari tiga kali untuk seluruh penghuni biara. Lalu, makanan yang dimasak akan habis dalam satu kali hidang.

Tantangan muncul saat Ramadan, bulannya wajib berpuasa bagi umat muslim. Tidaklah memungkinkan bagi suster untuk memasak sahur bagi pelajar muslim saat dini hari. Tapi, membiarkan para siswa berpuasa tanpa makan juga di luar kesanggupan nurani para pengajar. Inilah jejak toleransi antar umat yang sudah dipraktikkan saat Indonesia masih di masa kolonial. 

Setelah satu, dua, dan sekian percobaan, kotak penghangat makanan jadi pemenang. Kotak itu sukses menyusup masuk, menjadi salah satu peralatan dapur wajib milik biara yang dibangun pada tahun 1875 ini.

Sepanjang suster bercerita, otak saya memproduksi banyak pertanyaan. Soal pelajar muslim, soal Katolik, dan soal biara. Lalu, sebelum sempat saya hamburkan semuanya ke luar, Suster berkata, “Meskipun ini sekolah Katolik, kami menerima pelajar dari berbagai agama.”

Sekolah pada zaman dahulu, khususnya untuk perempuan, adalah wujud kemewahan. Biara menjadi salah satu lembaga yang mengambil peran mendidik para perempuan. Karena sedikitnya pilihan, anak-anak perempuan, meskipun bukan Katolik, disekolahkan juga ke biara. Namun, Biara Ursulin Santa Maria, dengan amanah yang diberikan,  mengambil peran yang melebihi kewajiban.

Tidak hanya memberi pendidikan baca tulis agar para perempuan mampu menciptakan nasibnya sendiri, Biara juga memberi pengajaran soal iman dan kasih sayang. Soal berbagi, meski tidak menyembah satu tuhan yang sama di bumi. Soal tanggung jawab dan langkah untuk melaksanakannya sepenuh hati. Keberagaman dan toleransi sejatinya sudah dipraktikkan sejak dulu, saat ini kita mungkin sedikit melupakannya.

Salam damai

Museum Santa MariaBuka: Senin-Jumat, jam 08.00 – 14.00; Sabtu 08-13.00; Minggu/libur nasional sesuai perjanjian.Telp: 021(344-7273) HP/WA : 0896-5589-3880

Tulisan sudah tayang di Atemalem 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus