Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Malang - Andai sekarang tiada pandemi Covid-19, tentu wisatawan akan berbaur dengan Suku Tengger dalam memperingati Hari Raya Karo atau Yadnya Karo di Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Suku Tengger yang bermukim di salah satu desa wisata Gunung Bromo, di ujung timur Kabupaten Malang, itu sedang merayakan Yadnya Karo Saka Warsa 1942 menurut kalender Suku Tengger. Dalam kalender Masehi, Hari Raya Karo dimulai pada 27 Agustus sampai 10 September 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Masyarakat Tengger biasanya memakai baju baru dan tokoh masyarakat mengenakan busana serba hitam dengan kombinasi sarung yang dililitkan ke tubuh. Tak lupa udeng khas Tengger di atas kepala. Biasanya perayaan Yadnya Karo turut disaksikan masyarakat luar Desa Ngadas dan wisatawan.
Sebanyak 57 homestay yang ada di desa yang letaknya 2.140 meter di atas permukaan laut atau mdpl, itu habis dipesan tamu luar kota. Kebanyakan wisatawan berdatangan dan menginap di Desa Ngadas pada hari-hari terakhir atau jelang penutupan Yadnya Karo.
Batik khas Suku Tengger di Desa Ngadas yang pertama kali dikenalkan saat perayaan Yadnya Karo pada September 2017. Foto: Pemerintah Desa Ngadas
"Biasanya, masyarakat tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk menjajakan beragam kuliner dan suvenir khas desa kami. Jadi, prosesi keagamaannya jalan dan kegiatan ekonomi warga ikut bergerak," kata Mujianto, Kepala Desa Ngadas, saat dihubungi Tempo pada Jumat, 4 September 2020. Salah satu kudapan yang biasanya tersaji saat perayaan Yadnya Karo adalah kentang krawu.
Kentang yang masih bulat utuh dikukus sampai matang. Kemudian diberi suwiran parutan kelapa di sekelilingnya dan disantap saat masih hangat. Selain kentang krawu, wisatawan bisa mencicipi nasi aron. Nasi ini terbuat dari jagung lokal Tengger, yang masa panennya satu kali setelah ditanam selama sekitar delapan bulan.
Ada pula sambal krangean. Sambal ini berbasis sambal terasi seperti biasanya, namun ditambahi buah krangean. Buah yang sulit didapat. Berdasarkan literatur botani, buah krangean (Litsea cubeba L Persoon) merupakan pohon hutan dataran tinggi yang dikenal dengan sebutan lada gunung atau mountain pepper.
Di Indonesia, krangean tumbuh di dataran tinggi Sumatera Utara, Pulau Jawa, dan Pulau Kalimantan. Nama daerahnya, krangean (Jawa Timur dan Jawa Tengah), kelimo (Sunda), antarasa (Batak Toba), dan apokayan (Dayak Malinau, Kalimantan Timur). Bentuk fisik buah krangean mirip merica. Aromanya harum mirip aroma daun kemangi. Warnanya hijau saat masih segar atau baru dipetik dan menghitam jika layu atau mengering.
Peringatan Hari Raya Karo atau Yadnya Karo yang berlangsung pada September 2019. Foto: Dokumentasi Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Malang, Jawa Timur
Buah krangean dimanfaatkan sebagai rempah, obat kejang urat atau otot, obat batuk, dan guna menghangatkan tubuh. Selain buah, daun, bunga, akar, dan batang krangean bisa dimanfaatkan untuk beberapa keperluan industri. Minyak atsiri atau esensial dari krangean dimanfaatkan sebagai bahan baku berbagai industri biofarmaka, seperti kosmetik, sabun, minyak wangi, dan aromaterapi. Juga dapat digunakan untuk industri kimia, seperti cat, tinta, dan resin. Bahkan, krangean dipercaya masyarakat pedesaan untuk meningkatkan libido.
Selain kudapan, Desa Ngadas juga memasarkan kain batik motif bunga adas klaras berwarna dasar coklat. Kain batik yang pertama kali diperkenalkan pada perayaan Karo bulan September 2017 ini jadi suvenir yang diminati wisatawan. Sedikitnya ada empat kelompok pembatik yang memproduksinya.
Batik khas Suku Tengger di Desa Ngadas yang pertama kali dikenalkan saat perayaan Yadnya Karo pada September 2017. Foto: Pemerintah Desa Ngadas
Namun kini kuliner dan batik khas Desa Ngadas itu hanya boleh dicicipi dan dilihat oleh warga Desa Ngadas sendiri. Perayaan Yadnya Karo tahun ini memang oleh dan untuk penduduk Desa Ngadas saja. Pemerintah dan warga Desa Ngadas sepakat memproteksi desa mereka demi menghindari potensi penularan Covid-19.
"Mohon maaf, karena masa pandemi dan mengikuti protokol kesehatan, untuk perayaan Yadnya Karo kali ini kami tidak menerima kunjungan tamu dari luar desa kami," kata Mujianto. "Kami hanya ingin menjaga penduduk tetap sehat dan aman."
Menurut Mujianto, keputusan itu berlaku di luar perayaan Yadnya Karo maupun upacara keagamaan suku Tengger selama masih terjadi pandemi Covid-19. Pemerintah dan warga Desa Ngadas bergeming pada keputusannya saat Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru atau TNBTS mengaktifkan kembali atau reaktivasi wisata Gunung Bromo pada 28 Agustus 2020.