Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Lagu Biasa, Sajian Istimewa

Di tangan Paduan Suara Mahasiswa Universitas Parahiyangan, Bandung, musik-musik serius beralih rupa menjadi hiburan segar, penuh daya pikat.

29 Oktober 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GEMPA berkekuatan 6,5 Richter menggoyang Jakarta, Rabu pekan lalu. Namun, Esther Santoso seperti tak peduli. Alunan Ave Maria, Crucifixus, dan Der 23 Psalm, yang menggetarkan dinding-dinding Grand Ballroom Hotel Darmawangsa, Jakarta, tetap membuatnya terpaku di kursi penonton. Nomor-nomor abadi dari abad pertengahan itu seolah membangkitkan kembali daya sihir roh-roh komponisnya dari masa silam: Antonio Lotti, Franz Schubert, dan Bogoroditsye Dyevo.

Dan Esther tak sendirian. Lebih dari 800 penonton lain yang memadati bangsal utama hotel itu tampak terkesima bagai tikus-tikus yang menikmati sajian musik sang Pied Piper. Padahal, di atas pentas, yang hadir hanyalah sekelompok siswa Universitas Parahiyangan yang menyajikan pergelaran berjudul The Highlights. Menunya pun tak istimewa: sejumlah repertoar klasik dan etnis. Tapi penyajinya memang bukan kelompok mahasiswa biasa. Paduan suara asal Bandung ini baru saja memperoleh tiga medali emas di Olimpiade Kor, Juli 2000, di Linz, Austria. Acara The Highlights adalah cara mereka mengucapkan terima kasih kepada masyarakat yang telah mendukung upaya ini.

Ucapan terima kasih yang mempesona. Didukung 54 penyanyi bersuara emas, The Highlights mencatat sebuah terobosan: paduan suara ternyata mampu menjadi alternatif hiburan memikat. Pementasan itu berhasil menghapus citra paduan suara sebagai sajian musik yang "kuno" dan membosankan—di televisi saja acara semacam ini hanya muncul pada hari-hari nasional atau disiarkan menjelang tengah malam.

Kuncinya terletak pada persiapan yang matang dan seleksi yang ketat. "Inilah lagu-lagu terbaik yang kami bawakan dalam lima tahun terakhir," ujar Avip Priatna. Konduktor kelompok Parahiyangan ini adalah sosok penting yang mengantarkan paduan suara mahasiswa itu ke arena internasional. "The Highlights juga akan menjadi tradisi terima kasih saban kami usai mengikuti kompetisi internasional," katanya.

Ia membuka acara dengan mengarahkan para penyanyi melantunkan sejumlah repertoar musica sacra—musik-musik rohani. Selain membawakan karya tiga komponis di atas, anak-anak Kota Kembang itu menyajikan karya komponis Italia, Giovanni Pierluigi da Palestrina: Jubilate Deo. Delapan lagu klasik dengan sentuhan aransemen modern diperdendangkan pada babak pertama.

Warna musik lebih profan muncul di babak kedua melalui lagu-lagu rakyat Asia yang ritmis dan dinamis, antara lain River Qing Jiang (Cina), Illi-Illi Tulog Anay (Filipina), dan Noyosa (Jepang). Jalinan vokal sopran Anny, suara alto Vivi, dan alunan bas Bambang—tiga anggota Parahiyangan—memimpin nomor-nomor ini dengan cemerlang. Harmoni nada para vokalis—dalam bentuk a cappella—mencerminkan tahun-tahun latihan yang serius: "Bergabung dalam paduan suara menumbuhkan motivasi saya untuk menyanyi dengan baik," ujar Haryanto, mahasiswa teknik arsitektur yang ikut memperkuat paduan suara itu.

The Highlights tak cuma mahir mengunyah lagu asing. Satu karya anak negeri—Tony Prabowo—dilantunkan menjelang akhir pertunjukan: Meditation on Lu-xun. Sajian ini mendapat aplaus panjang semua hadirin, termasuk dari kursi Tony, yang juga hadir. Apa komentarnya? "Lu-xun adalah nomor sulit yang telah mereka sederhanakan. Esensinya tidak berubah, tapi unsur dramanya berkurang. Tapi saya puas. Ini penampilan orkes musik yang terbaik," ujarnya.

Kepuasan Tony dan ratusan penonton malam itu tak bisa dilepaskan dari peran Avip Priatna, sang konduktor. Pria itu menyelesaikan studi magister paduan suara di Wina. Bekal pengetahuan itu membuatnya mampu membawa anak-anak Parahiyangan ke sejumlah pementasan internasional prestisius. Sebelum menang di Olimpiade Linz, kelompok ini menyabet pula sejumlah penghargaan internasional di Belanda (1995) dan Italia (1996).

Kelompok musik itu lahir pada 1962 dan berkali-kali memenangi kompetisi nasional sebelum go international pada 1991. "Ini semua berkat latihan keras dan disiplin," ujar Avip. Tak aneh, nomor-nomor sulit musica sacra abad pertengahan bisa mereka bawakan dengan akrab di kuping "penonton kebanyakan". "Baru kali ini saya menonton paduan suara. Terharu betul," ujar Esther Santoso, yang berasal dari Kedoya, Jakarta Barat, dengan mata berbinar-binar.

Gempa memang telah menggetarkan kursi ibu muda ini, tapi tak sedahsyat The Highlights mengguncang kalbunya.

Hermien Y. Kleden, Edy Budiyarso

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus