Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Akrobatik Sepe da Diiringi Musik Keras

Pemain skateboard dan BMX pamer adegan akrobatik di Senayan. Olahraga orang kota ini ternyata disukai anak-anak muda.

29 Oktober 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dedy Lunx mencengkeram setang sepeda BMX-nya. Wajahnya berpeluh terbakar terik matahari siang itu. Dari raut mukanya tampak ia sedang melakukan konsentrasi tinggi. Para penonton yang mengitari arena di Parkir Timur Senayan ikut terpompa adrenalinnya, seirama dengan dentuman musik speed metal dari pengeras suara. "Three sixty, Lunx," teriak penonton. Lalu, hanya dalam hitungan detik, Lunx dengan BMX-nya meluncur deras dari atas papan yang melengkung seperti bulan sabit, kemudian melenting ke atas dan melakukan gerakan berputar 360 derajat. Lunx mendarat dengan selamat. Tepukan meriah menyambut keberaniannya.

Three sixty adalah nama gerakan. Ini gerakan paling sukar kedua setelah back lift—melenting dan berputar ke belakang sehingga membentuk huruf "O". Kesukaran itu dihitung dengan tingkat risikonya yang tinggi. Kalau si pembawa BMX tidak sukses berputar 360 derajat dengan keseimbangan penuh, niscaya dia terbanting dengan posisi sepeda telentang. Keberhasilan Dedy Lunx itu membuat pria 21 tahun itu menjuarai perlombaan BMX tingkat lanjut.

Sebenarnya, yang dilakukan Dedy Lunx itu hanya sebagian kecil dari tontonan akrobatik dari para pemain skateboard dan penunggang sepeda BMX. Mereka, baik yang tingkat pemula maupun lanjutan, menunjukkan kemampuan selama tiga hari (20-22 Oktober 2000). Acara olahraga ekstrem yang diiringi dengan musik keras itu juga berlangsung di Bandung (27-29 Oktober 2000). Acara serupa memang sudah sering digelar di negara seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand. Yang seru, dalam acara yang diadakan oleh sebuah perusahaan elektronik multinasional itu, juga hadir pemain tingkat internasional seperti skater Mike Peterson, Choppy Omega, dan biker Jon Peacy dan Pat Miller

Semua atraksi yang mendebarkan itu dilakukan di atas street course, papan memanjang bergelombang untuk landasan meluncur para skater dan penunggang BMX. Di atas papan itu pula, gerakan berbahaya seperti melenting, memutar, meluncur mundur, dilakukan oleh para peluncur. Segala macam gerakan yang penuh variasi, dan tidak jarang berbahaya, memiliki nama unik yang hanya familiar di kalangan skater ataupun penyepeda BMX. Mongo-foot, fakie, McTwist, goofiefoot, Caballerial, misalnya, adalah istilah gerakan yang dikenal di kalangan para skater. Demikian juga di antara para biker, dikenal istilah seperti three sixty dan lift back. "Karena gaya berkembang terus, kita tidak jenuh," kata Gita Rusdinar, penunggang BMX dari kelompok Poor Boys, Cianjur, Jawa Barat.

Skateboard dan sepeda BMX memang memiliki banyak adegan pemacu adrenalin. Untuk itulah kedua olah raga itu masuk dalam jenis olah raga ekstrem, seperti juga halnya dengan wakeboarding (terbang dengan papan), snowboarding, dan surfing. Dan, seperti sudah menjadi ritual, dalam kompetisi ataupun pertunjukan, kedua olah raga itu selalu diiringi musik keras dan rancak. Acara yang di Senayan, misalnya, terasa semakin menggairahkan dengan raungan musik speed metal, hip metal, dan ska.

Pada akhirnya, suasana di arena perlombaan lebih mirip pesta anak jalanan ketimbang sebuah kompetisi olahraga. Para penonton yang datang—rata-rata masih remaja—berpakaian warna-warni dengan gaya sangat kasual. Mereka berbicara dalam bahasa slank khas remaja, tertawa lepas, dan berekspresi bebas. Sedangkan para pemainnya tampil seperti anak-anak muda di kawasan Bronx, New York, dengan celana gombrong sedengkul, T-shirt gombrong, plus rambut dicat merah dan warna mentereng lainnya. Lalu, di telinganya ada anting-anting, plus hiasan gelang, rantai, dan sebagainya.

Tapi, dalam pentas yang bergaya kota besar itu, ternyata pesertanya datang dari daerah atau kota kecil juga. Poor Boys, misalnya, adalah klub sepeda BMX asal Cianjur yang beranggotakan anak-anak sederhana. Dedy Lunx itulah ketuanya. Nama aslinya Dedy Merdian, dan pekerjaan sehari-harinya hanyalah loper koran. Temannya, Gita, adalah anak seorang penjual makanan.

Peralatan yang mereka gunakan juga yang murahan. Pelindung tulang kering yang mereka pakai hanya seharga Rp 50 ribu. Padahal, pelindung yang lengkap dan bermerek bisa mencapai Rp 1 juta. Untuk datang ke Jakarta, anak-anak Cianjur ini menyewa Suzuki Carry bak terbuka dengan ongkos Rp 500 ribu. Di atas mobil terbuka itulah lima sepeda BMX dan empat orang peserta diangkut. Toh, Poor Boys memiliki semangat tinggi. Setelah ke Jakarta, mereka juga ikut kompetisi di Bandung.

Kompetisi olah raga ekstrem ini terbukti berhasil menarik perhatian remaja dari berbagai kelas sosial. Yang lebih penting, tontonan yang sedikit liar itu justru memiliki pengaruh baik, yaitu melawan rasa takut dengan menghadapi rasa takut itu sendiri, bukan bersembunyi di belakang obat-obat terlarang. Mungkin yang perlu dipikirkan adalah siapa yang membina mereka.

Bina Bektiati, Ardi Bramantyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus