Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Dihukum Setelah Diperintah Presiden

Polisi dihukum karena menangkap Eurico Guterres tanpa memperhatikan KUHAP. Akibat polisi baru bergerak setelah diperintah Presiden?

29 Oktober 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UPAYA kepolisian meringkus pemimpin milisi Aitarak Timor Timur, Eurico Guterres, menjadi sia-sia. Senin pekan lalu, hakim praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyalahkan upaya paksa polisi terhadap Guterres. Menurut hakim I.D.G. Putra Jadnya, penangkapan dan penahanan Guterres menyimpang dari ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Berdasarkan hal itu, hakim membatalkan penangkapan dan penahanan Guterres. "Jangan menangkap orang semaunya, dong," ujar Putra Jadnya, yang pernah menjadi Ketua Pengadilan Negeri Dili, Timor Timur. Karena itu, polisi harus melepaskan mantan Wakil Panglima Perang Pejuang Prointegrasi di Timor Timur itu.

Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Guterres ditangkap di Kamar 515 Hotel Ibis, Kemayoran, Jakarta Pusat, pada 4 Oktober 2000. Waktu itu, polisi berpakaian preman yang menangkapnya mengaku hendak menjemput Guterres untuk membicarakan masalah pengungsi Timor Timur di Atambua, Belu, Nusatenggara Timur.

Ternyata, sesampainya di Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia, Guterres ditahan. Lelaki gondrong yang suka mengenakan ikat kepala merah-putih itu dituduh telah menghasut anak buahnya untuk melawan aparat saat penyerahan senjata milik milisi prointegrasi di Kupang pada 24 September 2000.

Sebenarnya, sewaktu penyerahan senjata di Kepolisian Resor Belu, yang dihadiri Wakil Presiden Megawati Sukarnoputri, Guterres juga ada. Namun, lima menit menjelang kedatangan Megawati, Guterres diajak berbincang-bincang oleh Kepala Polres Belu. Pembicaraan di ruang kerja Kapolres, menurut pengacara Guterres, Suhardi Somomoeljono, ngelantur ke sana-sini.

Begitu Guterres usai berbincang dan keluar dari ruang Kapolres, ternyata acara pelucutan senjata api di hadapan Megawati sudah selesai. Keruan saja Guterres, yang juga aktif di organisasi Banteng Muda Indonesia—onderbouw PDI Perjuangan—merasa tertipu. Ia berang dan mengamuk.

Belakangan, Presiden Abdurrahman Wahid menyatakan agar Guterres ditangkap. Waktu itu, Presiden sedang mengikuti KTT OPEC di Caracas, Venezuela. Kabarnya, permintaan Presiden meluncur setelah ada nota diplomatik dari pemerintah Amerika Serikat, yang menuntut agar para pentolan milisi, terutama Guterres, ditangkap.

Benar saja. Tiga hari setelah permintaan Presiden, Guterres diringkus di Jakarta. Ia kemudian ditahan di Markas Besar Kepolisian RI. Sekali lagi, Guterres marah. Melalui Suhardi, ia mempraperadilankan kepolisian.

Rupanya, hakim membenarkan upaya Guterres. Menurut hakim Putra Jadnya, sewaktu menangkap Guterres, polisi tak menunjukkan surat tugas. Demikian pula surat penangkapan dan penahanan, termasuk pemberitahuan kepada keluarga Guterres. "Sudah prosedurnya salah, bukti-bukti untuk menangkapnya pun tak cukup," kata Putra Jadnya.

Buat polisi, tentu vonis itu amat menyakitkan. Padahal, nama Guterres sudah tak asing dalam daftar delik di tangan polisi. Sebelumnya, ayah tiga anak itu terlibat dalam kasus pemilikan dan penggunaan senjata api di Kupang, Nusatenggara Timur. Tapi perkara ini dipatahkan oleh Pengadilan Negeri Kupang. Itu cuma lantaran jaksa tak jelas mencantumkan identitas Guterres: sebagai orang sipil atau militer.

Sikap pengadilan itu ternyata diralat oleh pengadilan tinggi. Hakim banding memerintahkan perkara senjata api tadi dibuka kembali. Sayangnya, sampai pekan lalu, Pengadilan Negeri Kupang tak kunjung menyidangkannya. Ada berita, pengadilan berniat smengusulkan kasus itu diadili di Jakarta. Mereka khawatir anak buah Guterres membanjiri persidangan, seperti sebelumnya.

Namun, Suhardi tetap keberatan bila kliennya diadili lagi. "Sejak di Timor Timur, Guterres sudah membawa senjata api. Ia lantas membawanya ke Atambua. Pihak berwajib juga tahu, tapi diam saja. Kalau memang mau tegas, mereka yang membawa senjata di Ambon juga harus ditangkap," kata Suhardi.

Entah berani entah tidak penegak hukum mengadili Guterres dalam kasus itu. Yang jelas, Sergio de Mello dari UNTAET—penguasa Timor Timur bentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa—juga meminta kepada pemerintah Indonesia agar Guterres dibawa ke Timor untuk diadili dalam kasus kejahatan kemanusiaan.

Guterres, 27 tahun, enteng saja menanggapi tuntutan tersebut. "Saya membela harga diri bangsa Indonesia, memperjuangkan Merah-Putih tetap berkibar. Kok, malah dituduh melanggar hak asasi manusia?" tuturnya.

Dari cerita di atas saja setidaknya ada tiga kasus Guterres. Dengan sederet kasus itu, mestinya polisi sudah lama mengumpulkan bukti-bukti, untuk kemudian secepatnya memproses Guterres. Namun, yang terjadi, polisi baru bergerak setelah Presiden memerintah. Akibatnya, hakim menganggap tindakan polisi telah melanggar KUHAP.

Toh, kuasa hukum Markas Besar Kepolisian RI, Senior Inspektur Rudy Heriyanto, mengaku bahwa instansinya telah bertindak sesuai dengan prosedur hukum. "Sudah cukup bukti untuk menangkap dan menahan Guterres. Ia juga telah menandatangani surat penangkapan. Dan keluarganya sudah pula diberi tahu," kata Rudy kepada Hendriko L. Wiremmer dari TEMPO.

Itu sebabnya polisi kini menempuh upaya kasasi. "Kalau putusan belum berkekuatan tetap, kan, bisa dikasasi," ucap Rudy. Argumentasi itu agak berlebihan karena, menurut KUHAP, putusan praperadilan tentang penangkapan dan penahanan tak bisa dibanding, apalagi dikasasi. Lagi pula, kasasi polisi terhadap vonis praperadilan yang memenangkan Hendra Rahardja baru-baru ini pun ditolak oleh Mahkamah Agung.

Namun, polisi masih pantang surut. Guterres pun tetap ditahan di rumah perlindungan saksi di Kepolisian Daerah Metro Jaya. Sedangkan perkara penghasutannya sudah dilimpahkan polisi ke Kejaksaan Atambua.

Happy Sulistyadi, Ardi Bramantyo, Agus S. Riyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus