BISA dimaklumi bila Agus Suryadi menggerutu. Kepala Seksi Taman
Hiburan Sriwedari Sala itu menuturkan: Bila malam Minggu,
bintang top seperti Rusman, Darsih, Surono, Nanik Subroto,
sering tak muncul." Alasannya, menurut Suryadi: mereka ditanggap
di luar.
Para pengunjung Wayang Orang Sriwedari sendiri sudah lebih dulu
menggerutu. Akibatnya, tentu saja, pembeli karcis wayang
berkurang. Padahal ada target. Gedung Wayang orang ini memiliki
sekitar 1.000 kursi, terbagi menjadi empat kelas, dengan harga
masuk: Rp 300, Rp 200 dan Rp 100 dan Rp 75. Diharapkan semalam
bisa memasukkan uang ke kas Pemda Rp 25 ribu atau setahun Rp 7
juta. Dan kalau penonton berkurang, tentu target tak bisa
dipenuhi. Dan akibatnya, taman beserta isinya yang sejak
kemerdekaan menjadi tanggungjawab Pemda Sala itu, bisa sulit
mendapat anggaran yang cukup.
Isteri Nomor Dua
Karena itulah Suryadi yang menjabat kepala seksi sejak 1976,
menurunkan peraturan: setiap malam Minggu, semua pemain wayang
orang harus lengkap datang -- kecuali sakit. "Saya peringatkan
kalau tak mematuhi aturan ini, saya skors. Dan kalau tetap
membangkang, saya keluarkan," kata Suryadi ketua.
Tapi ke manakah para pemain top itu perginya Mereka memang
ditanggap -- dan tak jarang yang menanggap ini para penggede
atau jenderal. Dan ini berarti uang masuk yang sekian kali lebih
besar daripada honor yang diterima kalau bermain di Sriwedari.
Menurut Rusman, hasil tanggapan di luar bisa berkisar antara Rp
10 ribu dan Rp 100 ribu semalam -- untuk seorang setingkat dia.
Yang lain, yang juga warga WO Sriwedari, tentu di bawah jumlah
itu. Namun jelas masih lebih besar dari Rp 270 -- honorarium
setiap pemain semalamnya kalau bermain di gedungnva sendiri.
Memang ada tunjangan bagi orang setop Rusman: Rp 50. Dan bagi
yang di bawahnya Rp 30. Dan honor itu tak berubah, meski ada
Kenop 15. Begitulah sehingga Rusman mengeluh: "Harga diriku ini
seperti sebungkus Gudang Garam."
Rusman (53 tahun), yang menjadi terkenal dan digemari berkat
permainannya sebagai Gatotkaca, dan sudah mengabdi di WO
Sriwedari selama 36 tahun, memang merasa terikat dengan
peraturan tersebut. Tetapi apa boleh buat. "Demi wayang, demi
kesenian, saya mesti patuh. Meski saya tahu betul, tanpa saya
apa artinya Sriwedari," katanya. Hanya saja dia merasa agak
lega, karena peraturan itu hanya berlaku pada malam Minggu.
Hari-hari biasa dia masih bisa ngobyek di luar. Tentang
kesetiaannya kepada Sriwedari, digambarkannya begini: "Kalau
musim hujan, saya sering berhujan-hujan datang untuk main.
Coba."
Bagaimana komentar rekan-rekal Rusman? Nanik Subroto (35
tahun), perneran Srikandi di samping isteri Rus man, Darsih,
memberikan perbandingan penghasilan: "Sekali main di luar, sama
dengan main di Sriwedari dua bulan." Yihuuu! Tapi toh, seperti
Srikandi yang meski isteri nomor dua tapi selalu patuh kepada
Arjuna, suaminya, Nanik pun bilang "Peraturan itu peraturan
Pemerintah. Bagaimana lagi." Dan diam-diam ia baru saja
membangun rumah gedung -- tentu hasil main Srikandi di luaran.
Surono (50 tahun), angkatan Rusman, yang tenar juga berkat
permainan Antareja atau raksasa Cakikatau Petruk, punya suara
agak lain. "Baik atau buruk peraturan wayang Sriwedari, sudah
pantas honor itu atau belum, tak perlu saya pusingkan. Terserah
yang ngurus!" kata seniman hasil didikan R. Wignyopambekso dan
R. Wiryopradoto itu -- dua orang guru wayang orang dari Kraton
Kasunanan Sala.
Itulah kenapa dia tak merasa terhalang langkah ngobyeknya dengan
adanya peraturan harus hadir di malam Minggu. Lagipula, begitu
dijelaskan, tiap pemain WO Sriwedari setiap bulannya mendapat
sumbangan dari Presiden Soeharto -- sebesar Rp 4.500. yang
disedihkan Surono malah ini: "Lighting dan sound di gedung WO
Sriwedari. Itu kurang baik. Memang sudah ada perbaikan, tapi
kurang memuaskan Mengapa tidak beli peralatan seperti
Srimulat?"
Keluhan-keluhan itu memang mengagetkan Suryadi. Tapi yang
dikatakan ialah: "Buktikan sendiri. Sekarang, bila malam Minggu
semua bintang top lengkap tampil di pentas. Tidak seperti
dulu-dulu lagi." Tambahnya: "Peraturan itu harus jalan terus.
Atau saya yang dikeluarkan atau dipindahkan dari Sriwedari."
Suryadi memang keras. Apalagi "Walikota ada di belakang saya,"
katanya. Apalagi Taman Hiburan Sriwedari seluruhnya ditargetkan
memasukkan uang ke kas Pemda Rp 30 juta. Taman yang didirikan
1884 oleh Kraton Kasunanan Sala itu, dulu memang pernah menjadi
incaran setiap warga Sala dan sekitarnya di hari libur. Awal
tahun 50-an, masuk riwedari siang hari berarti menghindar dari
teriknya matahari sambil bercengkerama dengan penghuni kebun
binatang. Malam hari, wayang orang, ketoprak, film, menunggu
dengan ramahnya.
Dan jangan lupa, waktu itu rumah makan seantero Sala yang paling
terkenal adalah Ruman Makan Pak Ahmad di dalam taman itu. Tapi
entah bagaimana makin hari perhatian makin kurang. Pohon-pohon
ditebang atau mati. Gedung pertunjukan banyak yang bocor. Dan
ketoprak sampai sekarang belum dihidupkan lagi. Sementara di
luar Sriwedari, hiburan lain makin banyak. Apalagi sejak awal
1970 gedung bioskop berdiri di segala penjuru Sala, rumah bilyar
pada nongol, dan guest house yang banyak muncul menyediakan
hiburan tersendiri. Tahun 1978 kemarin Srimulat cabang Sala
berdiri pula di Balekambang.
Lailatul Kadar
Semua itu tantangan bagi Suryadi Karcis masuk TH Sriwedari, yang
sekarang Rp 65 itu, tentulah tak banyak yang membeli kalau
Sriwedari tetap gersang. Tapi untuk membenahinya perlu biaya.
Dan dari Pemda tak cukup. Maka, kalau anda sekarang masuk TH
Sriwedari, jangan kaget. Papan-papan reklame bermunculan,
panggung terbuka berdiri di dekat kolam. Semua itu upaya untuk
menarik pengunjung -- dan terutama mencari uang di luar
penjualan karcis. Bahkan Suryadi telah merobah mobil dinasnya
menjadi lokomotif untuk 'kereta api kelinci', yang menarik biaya
Rp 75 setiap kepala yang ingin dikelilingkan. TH Sriwedari tiga
kali. "Demi Sriwedari," kata Suryadi.
Itu semua masih ditunjang oleh Maleman Sriwedari, yang diadakan
setahun sekali pada pertiga bulan puasa -- dan tetap dikunjungi
beratus ribu orang. Tahun lalu misalnya, berhasil ditarik « juta
pengunjung. Menurut tradisi Kasunanan, Maleman Sriwedari dulu
diselenggarakan untuk menyambut Lailatul Kadar. Tak ada salahnya
kalau sekarang dimanfaatkan untuk Lailatul Pemda. Kas Pemda 'kan
harus diisi. Untuk pembangunan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini