SABTU dua pekan lalu selesai mengadakan pertemuan dengan
Presiden di Bina Graha, Menteri Pertanian Prof. Soedarsono
mengatakan: Akan ada kewajiban bagi para pemegang HPH untuk
menyediakan 40% kayunya bagi kebutuhan dalam negeri. Lebih tegas
lagi, Senin berikutnya Menperdag Radius Prawiro menjelaskan
Kebijaksanaan itu akan diambil untuk mengendalikan harga kayu di
dalam negeri. Kapan peraturan itu akan turun, dua menteri
tersebut memberi ancar-ancar awal April ini.
Sebetulnya rencana itu sudah lama dipikirkan pemerintah. Ir. R.
Soemarsono, yang berbicara atas nama Kepala Dinas Kehutanan
Propinsi Riau, di hadapan pengusaha kayu Riau Pebruari lalu
telah menyebut-nyebut "kebijaksanaan ekspor kayu." Dan pengusaha
kayu Riau umumnya menyambut baik kabar tersebut. Soalnya sejak
1978 pengusaha kayu Riau sudah mulai membangun industri kayu
sendiri, terutama kilang papan.
Tapi dengan demikian memang keuntungan eksportir turun. Selama
ini dengan harga US$ 75/m3 saja -- harga Nopember 1978
--pengeluaran untuk ongkos produksi plus biaya ekspor hanya
US$45/m3. Setelah Kenop-15 keuntungan yang semula Rp 31.075/m3
itumenjadi Rp 46.875/m3. Apalagi Maret 1979 harga kayu melonjak
menjadi US$ 90/m3. Jadi kalau seorang eksportir bisa
memberangkatkan kayu bundar ke luar negeri satu kapal saja
(sekitar 6 ribu m3) dalam waktu sebulan, keuntungan bersih yang
akan diperolehnya sekitar Rp 200 juta. Bayankan.
Drastis
Maka tidak mengherankan kalau eksportir kayu berlomba-lomba
mengapalkan kayunya. Akibatnya: persediaan kayu untuk industri
dalam negeri sangat tipis. Dan harga kayu masak di dalam negeri
pun mengalami kenaikan. Kalau di Pasar Ikan Jakarta semula hanya
Rp 45.000/m3, sekarang sudah mencapai Rp 49.000/m3. Di
Kalimantan sendiri harganya sudah mencapai Rp 45.000/ m3.
Padahal semula hanya Rp 40.000/ m3. "Sebab bahan bakunya yang
semula hanya Rp 10.000/m3 sekaran sudah Rp 15.000/m3," ujar
Handi Sulistio dari PT Sumber Baru Samarinda.
Selama ini, untuk kebutuhan bahan baku dalam negeri ditentukan
10% dari produksi kayu. Dan karena pengusaha sawmill
(penggergajian) umumnya juga punya HPH, tidak ada kesulitan
untuk menyisihkan yang 10% tersebut. "Sebab selama ini memang
ada sekitar 10% kayu yang keluar dari hutan diapkir. Apkiran
inilah yang dimasukkan ke sawmill," ujar Handi pula. "Hanya saja
dengan menghebatnya harga kayu ekspor belakangan ini, kayu
apkiran yang 10% itu sebagian masih ada yang diekspor lagi,"
tambahnya.
Kenaikan drastis itu sendiri, sebagaimana lagu lama yang sudah
bertahun-tahun terdengar, akibat tipisnya persediaan gara-gara
musim hujan bulan Desember Januari dan Pebruari. Di saat kayu
agak langka begini, pembeli di luar negeri pun tidak begitu
ketat melakukan sortir sehingga yang apkir tidak sampai 10%.
Kalau peraturan itu nanti jadi turun, kiranya yang masih akan
ditunggu para pengusaha adalah berapa harga patokan kayu yang
40% tadi. Kemudian, bagaimana cara mengatasi 'bahaya' kelebihan
produksi. Sebab dari 40% tersebut berarti bisa dihasilkan kayu
masak sekitar 7 juta m3/tahun. Padahal kebutuhan kayu masak
dalam negeri tahun ini diperkirakan hanya 5 juta m3.
Bagi pengusaha yang kreatif tentunya kelebihan produksi itu
bukan jadi masalah benar. Misalnya mereka kemudian mulai
menggalakkan ekspor kayu masak. Tapi mereka harus bisa
bersaing dengan pengusaha Jepang, Korea dan Taiwan yang telah
menguasai pasaran. Dan lucunya kayu gelondong pengusaha
Jepang, Korea dan Taiwan itu, asalnya dari Indonesia juga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini