Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Cadar, Cerai Dan Peranan Ustazah

Aneh juga, Islam memberi hak wanita untuk minta cerai tetapi di Timur Tengah lain. Soal memakai purdah/cadar qur'an sendiri tak pernah mewajibkan. Di Indonesia wanita dalam pengajaran agama menonjol. (ag)

7 April 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

REFERENDUM untuk memilih Republik Islam berlangsung di Iran minggu lalu. Tidak jelas, tentunya, berapa persen wanita yang menyatakan "ya" -- atau yang tidak. Tapi demonstrasi kaum wanita kota menjelang referendum, yang menolak 'republik Islam' karena ketakutan dibatasinya kembali hak-hak mereka, dari sudut keagamaan mengingatkan orang akan satu soal yang masih tercecer. Bahwa sementara kemauan politik dan keadilan sosial dari rakyat muslimin mendapat muaranya yang luas sekarang, nampak tidak ada pergulatan fikiran selama ini dalam hal ajaran Islam sehubungan dengan hak-hak wanita -- untuk sebuah masyarakat modern. Dan bagaimana pula dengan di Indonesia? Syahdan di Iran, Mohammad Keza Syah, ayah Syah yang terguling, sudah sejak 1927 mencanangkan emansipasi wanita -- sesuatu yang lebih mengingatkan "Barat" daripada Islam. Di tahun 1935, cadar dengan resmi dilarang. Lebih dari itu UU Perlindungan Keluarga 1967, di masa Syah terakhir, mengundangkan ketentuan bahwa tak seorang lelaki berhak menceraikan isteri tanpa disetujui pengadilan -- sementara isteri juga punya hak menuntut cerai dari lembaga yang sama. Kantor Notaris Dengan demikian wanita Iran bukanlah, misalnya, wanita Arab Saudi. Mereka telah cukup lama mengenal "Barat". Karena itu bisa difaham reaksi yang timbul ketika baru-baru ini diserukan agar UU 1967 dicabut. Tidak jelas memang siapa yang menginginkannya -- sebab tak ada kalimat dari Khumnini dalam hal itu. Tapi menjelang referendum itu, seakan untul mempengaruhi para calon pemilih dari kaum wanita Iran, juga dilansir kewajiban untuk memakai purdah kembali. Yang bikin sial ialah, para mullah sendiri dengan segera aktif dalam seruan purdah itu -- dan berhadapan dengan kaum wanita yang "Barat". Dan dengan demikian maka kesan yang muncul ialah, bahwa praktek yang berlaku dalam kehidupan wanita Iran, sampai 1967, tak lain praktek Islam yang resmi. Padahal, seperti dituturkan bulanan The Middle East, yang terbit di London sampai tahun tersebut kaum wanita Iran memang tak punya hak menuntut cerai -- sementara kaum lelaki bisa menjatuhkan talak sewaktu-waktu dan hanya harus mendaftarkannya ke kantor notaris. Bila toh si wanita tak tahan hidup dengan suaminya, satu-satunya jalan hanyalah membujuk sang suami -- tidak hanya dengan memberikan seluruh mas kawinnya, yang rata-rata berjumlah besar, tapi juga seluruh harta yang didapatnya selama hidup bersama. Dan itu, seperti ditulis The Middle East, bertentangan dengan Qur'an. Qur'an jelas-jelas memperbolehkan perceraian (yang oleh Nabi disebut sebagai "tindak halal yang paling dibenci Allah") hanya sebagai jalan terakhir setelah kedua pihak tak bisa didamaikan, antara lain setelah dicoba dirukunkan oleh keluarga kedua belah pihak. Karena itulah Mohammad Abduh reformer besar Mesir, di tahun 1899 mengusulkan agar wewenang mempertimbangkan perceraian diberikan semata-mata kepada hakim. Memang ada kewajiban seorang isteri untuk mengembalikan mas kawinnya bila ia menuntut cerai. Namun hal itu, melihat praktek Nabi, semata-mata bila si suami tidak bisa dipersalahkan --misalnya tidak sewenang-wenang, tidak meninggalkan isteri (atau barangkali dipenjara) dalam jangka yang cukup lama, dan tetap memberi nafkah lahir-batin. Lebih dari itu seorang isteri ditetapkan Qur'an punya hak terhadap hartanya sendiri, baik yang didapat sebagai maskawin maupun harta wajib (di luar sandang pangan) yang diberikan suami selama berumahtangga. Bila perceraian terjadi atas kehendak suami, ia haruslah memberikan mut'ah -- misalnya, seluruh perabot rumah biasanya milik isteri. Tambahan lagi, pemeliharaan dan pendidikan anak-anak adalah tanggungan suami. Meski begitu, jarang sekali hal-hal di atas itu dipraktekkan. Tidak hanya di Iran -- tapi juga, seperti disebut Middl East, di Mesir, Sudan, negeri-negeri TeIuk Arab. Kenyataan ini lalu menjadi menarik bila kita bandingkan dengan apa yang terjadi di Indonesia. UU Perkawinan 1974 yang kita miliki, ternyata lebih maju dari UU 1967 Iran sepanjang diceritakan Middle East itu -- yang konon diinginkan para mullah untuk dicabut. ama dengan di Iran UU kita juga sudah mengges'erkan wewenang perceraian ke depan hakim. Tapi lebih dari di Iran, dalam kasus perceraian Indonesia seorang bekas Suami diwajibkan membiayai anak-anaknya (walaupun ikut si bekas isteri) sampai si anak kawin atau bisa berdiri sendiri. Bahkan Pasal 41 ayat c, yang menentukan wewenang pengadilan untuk, kalau perlu, "mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban (,) bagi bekas isteri," sudah merupakan penafsiran lanjut dari maksud keadilan menurut Qur'an. Tapi yang lebih menarik ialah: berlainan dengan di Iran, tidak pernah terdengar tantangan dari kalangan ulama kita terhadap UU Perkawinan setelah disahkan. Tentu bukan karena mereka terpaksa menerima. Usaha memajukan harkat wanita sendiri disini sudah lama dilakukan dari dalam. Dipraktekkannya ta'lik talak misalnya. Dalam ta'lik ini ada beberapa pasal perjanjian yang dibaca sang suami. Bila ia langgar, dan si isteri mengadukannya ke pengadilan, talak pun jatuh sendirinya. Ini merupakan upaya perlindungan yang memang terdapat sumbernya pada kitab-kitab fiqh segala mazhab, besar. Boleh Iri Bahkan wanita muslim di seluruh negeri Islam boleh iri: hanya di Indonesia -- selain di Malaysia, barangkali -- peranan wanita dalam pengajaran agama begitu menonjol. Tak ada ulama di negeri Timur Tengah yang manapun yang acan membiarkan seorang ustazah berteriak dan menuding ini-itu lewat mikrofon seperti di sekeliling kita -- sampai ke dusun terpencil sekalipun. Bahkan tak ada suara wanita yang boleh direkam dalam kaset untuk pengajian Qur'an di seluruh dunia Arab. Mustahillah kiranya bila para muballighat itu akan membiarkan kaumnya menjadi "bulan-bulanan lelaki" seperti konon di Timur Tengah. Mereka, yang telah mengujudkan atau aktif misalnya dalam BP4 (Badan Penasehat Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian), badan yang menggantikan fungsi "wakil dari keluarga kedua pihak" seperti dimaksud Qur'an, seakan bersaing dengan saudara-saudaranya di luar kelompok agama dalam memajukan wanita -- tanpa orientasi kepada ide Barat, seperti yang biasanya dilakukan kalangan wanita Timur Tengah bila meneriakan hal yang sama. Barangkali memang ada satu watak bangsa yang luwes. Pergaulan laki-wanita di kampung-kampung kita misalnya -- termasuk yang paling "fanatik Islam" -- tidaklah sekaku yang diberikan contoh dalam kitab-kitab fiqh yang betapapun juga Timur-Tengah-sentris. Dan tentu juga bukan karena "terpaksa", bila banyak kyai mengizinkan puteri-puteri mereka sekarang pakai rok -- meski kerudung tetap dianggap sebagai pakaian ideal. Bukankah sejak zaman Belanda dulu tak pernah terdengar larangan, misalnya dari gubernemen, terhadap pemakaian purdah -- yang memang tak pernah populer dalam sejarah kita? Sebab bahkan Qur'an sendiri tak pernah mengenal purdah itu. Sejauh-jauh yang disebut dalam Qur'an hanyalah anjuran, agar wanita "menutupkan kerudung mereka sampai ke dada." Dengan alasan "agar mereka dikenal (sebagai wanita muslimat), dan tidak diganggu" (Al Ahzab 59, An Nur 31).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus