REFERENDUM untuk memilih Republik Islam berlangsung di Iran
minggu lalu. Tidak jelas, tentunya, berapa persen wanita yang
menyatakan "ya" -- atau yang tidak. Tapi demonstrasi kaum wanita
kota menjelang referendum, yang menolak 'republik Islam' karena
ketakutan dibatasinya kembali hak-hak mereka, dari sudut
keagamaan mengingatkan orang akan satu soal yang masih tercecer.
Bahwa sementara kemauan politik dan keadilan sosial dari rakyat
muslimin mendapat muaranya yang luas sekarang, nampak tidak ada
pergulatan fikiran selama ini dalam hal ajaran Islam sehubungan
dengan hak-hak wanita -- untuk sebuah masyarakat modern. Dan
bagaimana pula dengan di Indonesia?
Syahdan di Iran, Mohammad Keza Syah, ayah Syah yang terguling,
sudah sejak 1927 mencanangkan emansipasi wanita -- sesuatu yang
lebih mengingatkan "Barat" daripada Islam. Di tahun 1935, cadar
dengan resmi dilarang. Lebih dari itu UU Perlindungan Keluarga
1967, di masa Syah terakhir, mengundangkan ketentuan bahwa tak
seorang lelaki berhak menceraikan isteri tanpa disetujui
pengadilan -- sementara isteri juga punya hak menuntut cerai
dari lembaga yang sama.
Kantor Notaris
Dengan demikian wanita Iran bukanlah, misalnya, wanita Arab
Saudi. Mereka telah cukup lama mengenal "Barat". Karena itu bisa
difaham reaksi yang timbul ketika baru-baru ini diserukan agar
UU 1967 dicabut. Tidak jelas memang siapa yang menginginkannya
-- sebab tak ada kalimat dari Khumnini dalam hal itu. Tapi
menjelang referendum itu, seakan untul mempengaruhi para calon
pemilih dari kaum wanita Iran, juga dilansir kewajiban untuk
memakai purdah kembali.
Yang bikin sial ialah, para mullah sendiri dengan segera aktif
dalam seruan purdah itu -- dan berhadapan dengan kaum wanita
yang "Barat". Dan dengan demikian maka kesan yang muncul ialah,
bahwa praktek yang berlaku dalam kehidupan wanita Iran, sampai
1967, tak lain praktek Islam yang resmi.
Padahal, seperti dituturkan bulanan The Middle East, yang
terbit di London sampai tahun tersebut kaum wanita Iran memang
tak punya hak menuntut cerai -- sementara kaum lelaki bisa
menjatuhkan talak sewaktu-waktu dan hanya harus mendaftarkannya
ke kantor notaris. Bila toh si wanita tak tahan hidup dengan
suaminya, satu-satunya jalan hanyalah membujuk sang suami --
tidak hanya dengan memberikan seluruh mas kawinnya, yang
rata-rata berjumlah besar, tapi juga seluruh harta yang
didapatnya selama hidup bersama.
Dan itu, seperti ditulis The Middle East, bertentangan dengan
Qur'an. Qur'an jelas-jelas memperbolehkan perceraian (yang oleh
Nabi disebut sebagai "tindak halal yang paling dibenci Allah")
hanya sebagai jalan terakhir setelah kedua pihak tak bisa
didamaikan, antara lain setelah dicoba dirukunkan oleh keluarga
kedua belah pihak. Karena itulah Mohammad Abduh reformer besar
Mesir, di tahun 1899 mengusulkan agar wewenang mempertimbangkan
perceraian diberikan semata-mata kepada hakim.
Memang ada kewajiban seorang isteri untuk mengembalikan mas
kawinnya bila ia menuntut cerai. Namun hal itu, melihat praktek
Nabi, semata-mata bila si suami tidak bisa dipersalahkan
--misalnya tidak sewenang-wenang, tidak meninggalkan isteri
(atau barangkali dipenjara) dalam jangka yang cukup lama, dan
tetap memberi nafkah lahir-batin.
Lebih dari itu seorang isteri ditetapkan Qur'an punya hak
terhadap hartanya sendiri, baik yang didapat sebagai maskawin
maupun harta wajib (di luar sandang pangan) yang diberikan suami
selama berumahtangga. Bila perceraian terjadi atas kehendak
suami, ia haruslah memberikan mut'ah -- misalnya, seluruh
perabot rumah biasanya milik isteri. Tambahan lagi, pemeliharaan
dan pendidikan anak-anak adalah tanggungan suami.
Meski begitu, jarang sekali hal-hal di atas itu dipraktekkan.
Tidak hanya di Iran -- tapi juga, seperti disebut Middl East,
di Mesir, Sudan, negeri-negeri TeIuk Arab. Kenyataan ini lalu
menjadi menarik bila kita bandingkan dengan apa yang terjadi di
Indonesia.
UU Perkawinan 1974 yang kita miliki, ternyata lebih maju dari UU
1967 Iran sepanjang diceritakan Middle East itu -- yang konon
diinginkan para mullah untuk dicabut. ama dengan di Iran UU
kita juga sudah mengges'erkan wewenang perceraian ke depan
hakim. Tapi lebih dari di Iran, dalam kasus perceraian Indonesia
seorang bekas Suami diwajibkan membiayai anak-anaknya (walaupun
ikut si bekas isteri) sampai si anak kawin atau bisa berdiri
sendiri. Bahkan Pasal 41 ayat c, yang menentukan wewenang
pengadilan untuk, kalau perlu, "mewajibkan kepada bekas suami
untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu
kewajiban (,) bagi bekas isteri," sudah merupakan penafsiran
lanjut dari maksud keadilan menurut Qur'an.
Tapi yang lebih menarik ialah: berlainan dengan di Iran, tidak
pernah terdengar tantangan dari kalangan ulama kita terhadap UU
Perkawinan setelah disahkan. Tentu bukan karena mereka terpaksa
menerima. Usaha memajukan harkat wanita sendiri disini sudah
lama dilakukan dari dalam. Dipraktekkannya ta'lik talak
misalnya. Dalam ta'lik ini ada beberapa pasal perjanjian yang
dibaca sang suami. Bila ia langgar, dan si isteri mengadukannya
ke pengadilan, talak pun jatuh sendirinya. Ini merupakan upaya
perlindungan yang memang terdapat sumbernya pada kitab-kitab
fiqh segala mazhab, besar.
Boleh Iri
Bahkan wanita muslim di seluruh negeri Islam boleh iri: hanya di
Indonesia -- selain di Malaysia, barangkali -- peranan wanita
dalam pengajaran agama begitu menonjol. Tak ada ulama di negeri
Timur Tengah yang manapun yang acan membiarkan seorang ustazah
berteriak dan menuding ini-itu lewat mikrofon seperti di
sekeliling kita -- sampai ke dusun terpencil sekalipun.
Bahkan tak ada suara wanita yang boleh direkam dalam kaset untuk
pengajian Qur'an di seluruh dunia Arab. Mustahillah kiranya bila
para muballighat itu akan membiarkan kaumnya menjadi
"bulan-bulanan lelaki" seperti konon di Timur Tengah. Mereka,
yang telah mengujudkan atau aktif misalnya dalam BP4 (Badan
Penasehat Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian), badan yang
menggantikan fungsi "wakil dari keluarga kedua pihak" seperti
dimaksud Qur'an, seakan bersaing dengan saudara-saudaranya di
luar kelompok agama dalam memajukan wanita -- tanpa orientasi
kepada ide Barat, seperti yang biasanya dilakukan kalangan
wanita Timur Tengah bila meneriakan hal yang sama.
Barangkali memang ada satu watak bangsa yang luwes. Pergaulan
laki-wanita di kampung-kampung kita misalnya -- termasuk yang
paling "fanatik Islam" -- tidaklah sekaku yang diberikan contoh
dalam kitab-kitab fiqh yang betapapun juga Timur-Tengah-sentris.
Dan tentu juga bukan karena "terpaksa", bila banyak kyai
mengizinkan puteri-puteri mereka sekarang pakai rok -- meski
kerudung tetap dianggap sebagai pakaian ideal. Bukankah sejak
zaman Belanda dulu tak pernah terdengar larangan, misalnya dari
gubernemen, terhadap pemakaian purdah -- yang memang tak pernah
populer dalam sejarah kita?
Sebab bahkan Qur'an sendiri tak pernah mengenal purdah itu.
Sejauh-jauh yang disebut dalam Qur'an hanyalah anjuran, agar
wanita "menutupkan kerudung mereka sampai ke dada." Dengan
alasan "agar mereka dikenal (sebagai wanita muslimat), dan tidak
diganggu" (Al Ahzab 59, An Nur 31).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini