Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Siraman sinar mentari terasa menyubit kulit. Meski berada di daerah perbukitan, cahaya hangat mulai berubah menjadi menyengat. Padahal, jarum jam baru menunjukkan pukul 07.30. Mungkin memang begitu lah pagi di Bumi Undru – nama lain dari Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Niat ingin segera menikmati keindahan Desa Wisata Mantar di Kecamatan Poto Tano, tampaknya harus tertunda beberapa saat. Saya harus tertahan di Dusun Tapir, kampung terdekat desa wisata tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Padahal sengaja pagi-pagi berangkat dari Taliwang, ibukota Kabupaten Sumbawa Barat, yang ditempuh dalam waktu 35 menit. Namun hingga pukul 09.00 tak kunjung juga bisa melaju ke desa wisata yang berada di ketinggian 630 meter di atas permukaan laut itu.
Jadilah pagi yang resah buat saya karena mobil 4 WD yang dinanti tak kunjung tiba. Padahal, menuju desa wisata yang kini secara administratif berada di Desa Tuananga itu, cuma bisa dicapai menggunakan jenis kendaraan tersebut.
Jarum jam terus bergeser. Kendaraan yang dinanti tak kunjung tiba. Akhirnya, tak ada pilihan selain menumpang sepeda motor warga yang hendak pulang. Ternyata, jalur lumayan terjal dengan salah satu sisi jurang. Rasa ngeri semakin terasa ketika si pengemudi mengatakan pernah ada kecelakaan maut karena pengendara tak cermat. Jalan berkelok, sempit, dan terjal memang perlu kehati-hatian. Lengah sedikit, kendaraan bisa terperosok ke jurang.
Seorang pengemudi sepeda motor melaju di punggung bukit Desa Wisata Mantar, Sumbawa Barat. Tak jauh dari lokasi para penggiat paralayang memulai aksinya. TEMPO/Rita Nariswari
Jalur kelok berbahaya pun lewat, saya memasuki perkampungan, dengan kekhasannya berupa rumah panggung kayu hingga bertemu tanah lapang di ketinggian. Inilah punggung Bukit Mantar, tempat para penyuka paralayang bisa mengudara dan penikmat keindahan bisa duduk termangu menatap Selat Alas, Pulau Panjang, dan delapan pulau kecil yang dikenal sebagai Gili Balu. Tentunya juga Pelabuhan Poto Tano yang berjarak sekitar 29 kilometer dari Desa Wisata Mantar.
Pagi yang cerah, Gunung Rinjani pun dari kejauhan kentara jelas. Desa-desa di bawah seperti Seteluk dan Senayan pun tertangkap mata dengan jelas. Saya datang bukan di hari libur, jadi suasana cukup sepi. Kios yang ada pun tutup. Namun tak lama ada sekelompok anak-anak yang datang mengagetkan menggunakan bersepeda motor.
Ahhh… saya sedikit ngeri karena di sisi lain punggung bukit ternganga jurang. Di sanalah biasanya para pegiat paralayang meluncur bebas.
Baca Juga:
Desa Wisata Mantar sebenarnya punya banyak keunikan. Kehadiran keturunan Portugis yang dulu terdampar di perairan di bawah Bukit Mantar yang akhirnya tinggal di sini dan rumah-rumah yang unik. Ada juga lokasi pengambilan gambar film Serdadu Kumbang. Dan satu tahun terakhir diramaikan juga spot selfie dengan papan kata-kata unik.
Sayang waktu untuk berkeliling tak terlalu banyak, seandainya dari pukul 07.00 sudah nangkring di desa wisata yang mendapat sebutan Negeri di Atas Awan ini mungkin saya bisa menyapa beberapa penduduk setempat.
Saya tak punya pilihan untuk kembali meliuk di jalanan menurun, dan perjalanan pulang lebih cepat, hanya 25 menit sudah tiba kembali di Desa Tapir.
RITA NARISWARI